Riko tersenyum kepada Arnon. Pertanyaan ini yang Riko tunggu dari Arnon. Pria yang gemar bermain wanita cantik itu mulai ingin tahu kenapa seorang pria hanya bisa bertahan dengan satu wanita dalam ikatan pernikahan. Sebab teman-teman Arnon yang ada di sekelilingnya, banyak juga yang tetap mencari wanita di luar rumah sekalipun sudah menikah. Lalu papanya yang punya tiga istri, membuat Arnon merasa aneh jika pria sanggup hidup hanya dengan satu wanita.
"Aku mungkin bisa kamu bilang kolot, kuno, jadul, atau terlalu konservatif, terserah. Tapi aku akan mulai dari paling dasar dan paling awal Arnon." Riko memandang Arnon. Arnon menyilangkan kaki, menatap pada Riko dengan serius. Riko masih memandang Arnon, memastikan temannya yang galau itu mau mendengarkan dia. "Oke. Lanjut. Aku ga akan komentar apa-apa." Arnon menyahut. "Kalau begitu baiklah. Aku akan mulai. Kamu harus tahan dengan temanmu yang satu ini. Siap?" ujar Riko. "Yup." Arnon mengangguk mantap. Riko menarik nafas dalam lalu tersenyum. "Aku memegang prinsip bahwa Tuhan yang menciptakan sebuah keluarga. Dia merancang itu untuk manusia, seorang pria dan seorang wanita mengekspresikan cinta terdalam mereka satu sama lain. Hanya mereka berdua, dalam ikatan janji suci sehidup semati." Riko memulai. Arnon mengerutkan kening. Dia merasa pernah mendengar kalimat itu. Tapi Arnon masih menunggu Riko melanjutkan. "Manusia pertama Adam, diberi satu wanita, Hawa. Dia diambil dari tulang rusuk Adam, untuk menjadi pendampingnya. Sejatinya Adam dan Hawa adalah satu. Karena Hawa tidak diciptakan dari debu tanah seperti Adam. Karena itu, Tuhan tidak pernah memaksudkan laki-laki akan memiliki banyak wanita. Dan itu pula sebabnya jika ada pria menduakan wanita, selalu ada yang terluka. Sekalipun tampaknya mereka oke, menerima, tapi hati terdalam siapa yang tahu." Arnon ingin sekali menjawab pernyataan Riko, tapi dia berusaha menahan diri. "Tuhan membuat demikian karena hubungan antara pria dan wanita itu sakral, suci. Maka dari itu harus dihargai. Dan bukti cinta tertinggi antara seorang pria dan seorang wanita adalah kesetiaan." Kembali Riko melanjutkan. "Ooh ..." Mulai Arnon bereaksi. Tapi dia urungkan membuka mulutnya. "Jangan kamu pikir hubunganku dengan istriku selalu aman, Tuan. Ada saja gangguan. Aku pria normal. Masih bisa melihat wanita lain lebih cantik dari istriku. Tapi keputusanku adalah mencintai dia sampai mati. Hanya dia. Dan itu janjiku di hadapan Tuhan. Aku harus membuktikannya. Ketika aku mampu melewatinya, menepis semua gangguan, aku sangat bangga, karena bisa menjaga hatiku murni. Hanya untuk wanita yang Tuhan berikan padaku sebagai penolongku." Riko tersenyum. Arnon menggembungkan pipinya. Ini semua seperti aneh buatnya. "Kamu ingin mengatakan sesuatu?" Riko bertanya. "Kamu percaya omong kosong soal seorang pria dan seorang wanita? Manusia diciptakan dari debu lalu yang satu dari tulang rusuk?" Kali ini Arnon punya kesempatan bertanya. "Ya. Itu yang aku yakini." Riko menjawab. "Kamu tahu dari mana?" Arnon bertanya lagi. "Kitab Suci.""Kitab Suci bukannya tulisan manusia?" Arnon menyahut. "Dia menulis dalam tuntunan Tuhan." Riko dengan sabar menjawab. "Aku balik tanya. Kamu yakin punya nyawa? Bisa lihat nyawa kamu?"Arnon diam. Dia ingin membantah, tapi sedikit bingung. Mana bisa melihat nyawa. "Banyak hal tak bisa kita jelaskan di dunia ini. Kita hanya perlu menerima dengan iman." Riko tak berharap banyak Arnon akan menerima yang dia katakan. Tapi itu yang bisa dia ucapkan untuk menjelaskan. Arnon hanya memandang Riko. "Telusuri hatimu. Kamu sungguh peduli Fea karena dia sahabat kamu, atau sebenarnya kamu cinta padanya. Jika kamu tidak punya cinta, ketika dia pergi dengan pria lain, harusnya kamu rela jika itu akan baik untuknya. Jika kamu marah dan ingin gadis itu hanya melihat kamu, itu sifat dasar alami manusia yang ingin bersama pasangannya dan tidak mau wanita itu dimiliki pria lain."Riko berdiri. Dia menepuk pundak Arnon lalu melangkah menuju pintu keluar kantor itu. Sampai di dekat pintu Riko menoleh. "Aku harus bekerja, Bos. Good luck today." Dan Riko meneruskan langkahnya. Sekarang Arnon termenung. Dia coba mencerna semua yang Riko katakan. Yang paling terakhir yang dia ingat. Apakah dia hanya ingin memiliki Fea untuk dirinya sendiri? Dia marah saat ada pria lain bersama gadis itu? Dan Arnon tak bisa mungkir, itu yang sebenarnya. Di dalam hatinya yang terdalam, Fea bercokol begitu kuat. Arnon sangat ingin menjaga Fea dan juga tidak ingin melukainya. Apakah Arnon harus melangkah ke pintu itu? Menikah dengan Fea? Bertahan dengan dia saja tanpa bermain dengan wanita lain? Arnon mendesah. Mulai muncul bayangan para wanita yang masih sesekali menikmati waktu bersamanya, memuaskan hasratnya sebagai laki-laki. Mereka menawan, mempesona, tapi Fea berbeda. Jika dengan para wanita itu Arnon hanya berpikir bersenang-senang, sedang jika ingat Fea, dia ingin gadis itu membuat hati dan hidupnya penuh. Sangat berbeda. "Entahlah, aku benar-benar bingung." Arnon menggaruk kepalanya dengan kasar. Andai dia bisa dengan mudah memutuskan ini. Karena memiliki Fea itu artinya pernikahan. Apa Fea akan bersedia? Yang Arnon bayangkan Fea akan tertawa keras dan menganggap Arnon hanya akan mempermainkan dia. *****"Arnon, Papa ingin bicara serius dengan kamu." Arnon yang baru masuk rumah cukup terkejut disambut hangat papanya tercinta. Arnon bisa menduga apa yang akan dibicarakan pria itu pada putranya yang tak pernah akur dengannya. Arnon melangkah duduk di depan papanya. Di samping Ardiansyah, Arnella duduk dengan manis. "Oke. Silakan dimulai." Arnon menatap kedua orang tuanya. Dia bersiap apapun yang akan mereka lontarkan padanya. "Waktu kamu semakin pendek, Arnon. Hanya tujuh bulan saja, atau kamu akan kehilangan perusahaan yang sudah aku siapkan buat kamu." Ardiansyah tegas bicara pada Arnon. Arnon menarik ujung bibirnya, tersenyum kecut. Rasanya urusan dengan dua orang ini tidak ada yang lain. Tetap sama yang mereka kejar, Arnon segera menikah. "Arnon, dengarkan Mama. Ini untuk kebaikan kamu. Bekal kamu di hari depan. Istri dan anak kamu. Pikirkan baik-baik." Arnella ikut membujuk. Arnon melipat kedua tangannya. Gerah juga lama-lama menghadapi desakan terus menerus begini. Yang paling kesal jika Arnella akan menyuruh Arnon menikahi siapa saja, salah satu dari wanita yang suka main dengannya. Gila. Mereka hanya butuh uang dan tubuh Arnon. Hidup macam apa yang akan dia lalui nanti jika menikah dengan salah satu dari mereka?! "Kalau kamu tidak bisa membawa satu wanita ke hadapan papa kamu minggu depan, aku yang akan membawa wanita itu. Jelas?" Arnella sedikit mengancam. Arnon ingin berteriak rasanya mendengar itu. Dia mengepalkan kedua tangan, menahan emosi. Wajahnya mulai memerah. "Oke. Aku akan segera membawa wanita ke hadapan mama dan papa. Tapi tanpa syarat. Aku akan bawa wanita sesuai standar yang aku pakai bukan standar papa atau mama." Arnon akhirnya setuju, tapi tentu dengan pertimbangan menurut pikirannya. "Arnon!" Arnella cukup kaget Arnon mengatakan itu. Jelas dia kuatir Arnon akan memilih Fea. Karena Arnella yakin Arnon memang cinta pada pelayan itu. "Karena pernikahan itu harus membuat aku bahagia. Jika asal, lalu aku hidup berantakan meski aku bisa beli planet sekalipun buat apa?" Arnon memberi alasan. "Tapi ...""Arnella, biarkan saja dia. Aku ingin tahu wanita seperti apa yang ingin dia bawa padaku." Tajam Ardiansyah memandang Arnon. "Oke. Kuanggap kita sepakat. Beri aku waktu sampai bulan depan. Itu masih cukup untuk mempersiapkan pernikahan." Arnon tidak mau ditekan juga soal waktu. "Terserah. Tapi jika bulan depan belum juga muncul wanita di depanku, aku akan urus semua pernikahan untukmu." Arnella juga tidak mau ditekan putranya. "Deal," ucap Arnon. Dia berdiri. "Kamu mau ke mana?" tanya Arnella. "Mau mandi. Di sini terlalu panas." Arnon segera melangkah menjauh. Dia enggan berlama-lama dengan kedua orang tuanya. "Kamu punya anak satu saja tidak bisa mendidik. Dasar!" geram Ardiansyah pada Arnella. Arnon masuk kamarnya. Dia mendekati jendela dan hendak menutup tirai, tepat dia melihat sebuah mobil masuk halaman. Fea pulang dengan Irvan. Arnon segera keluar dan berjalan menuju ke sana. Ternyata Irvan langsung pergi, tinggal Fea sendirian di sana. "Fea." Mendengar suara Arnon Fea menoleh. Wajah Arnon terlihat kesal. "Putuskan laki-laki itu. Kumohon." Arnon menatap Fea.Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t