Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit.
"Sayang, kenapa?" ulang Arnon.
"Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk.
Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa."
"Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang.
"Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka.
Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat.
"Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan.
Pulau itu tidak sepadat kota asa
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Fea menatap ke arah taman lewat jendela kaca. Dia lihat pria gagah dan tampan di sana, sedang memetik beberapa daun dari tanaman yang terdapat di taman itu. Terdengar desahan Fea, dia palingkan wajah, sekarang menoleh pada sahabatnya yang duduk di depannya. Rania, memandang kepada Fea dengan tatapan kesal. "Mau sampai kapan, Fea? Kamu masih mau bertahan dengan alasan kamu sudah janji?" Rania berkata tajam dan ketus pada gadis berambut kecoklatan dan hidung bangir yang bagus itu. "Ran, kamu juga tahu aku sayang Arnon." Fea bicara lirih, lesu, dan dengan mata mulai memerah. "Kamu beneran ga sadar, cuma jadi tempat sampah buat Arnon?" Lagi nada ketus itu terdengar dari mulut Rania yang memang tajam kalau bicara. "Keterlaluan kamu, Ran. Mana mungkin Arnon gitu. Dia memang begitu kan, kalau lagi baik dia pasti sibuk dengan dirinya. Kalau dia suntuk, atau butuh bantuan dia cari aku." Fea kembali melihat keluar jendela. Arnon, cowok keren itu sudah tak terlihat. Dia kembali ke dap
Arnon memandang pada Fea. Mata mereka bertemu, beradu, dan saling menatap. Fea paling sulit melihat Arnon begini dekat dan tajam. Jantungnya berdegup semakin cepat saja. "Apa maksud kamu?" Arnon yang semula tersenyum, berubah seketika. Senyum menghilang dari bibir tipis itu, berganti tatapan kesal. "Kamu sudah hidup dengan baik sekarang. Kamu punya usaha mulai besar, ada banyak yang bisa membantu kamu. Kamu tidak lagi sakit, tidak perlu aku temani minum obat. Kamu bisa lakukan semua sendiri. Jadi, aku sudah memenuhi janjiku, Arnon." Fea meneguhkan hatinya mengatakan ini. Meskipun tidak mudah. Dia juga tidak ingin jauh dari Arnon. Dia masih suka menatap cowok itu dari jauh, melihatnya memasak, tersenyum dan sesekali tertawa lebar. Tapi Fea juga tidak sanggup lagi terus melihat Arnon bersama wanita-wanita. Fea tidak pernah berhasil membuat Arnon berhenti bermain dengan mereka. Buat Arnon, dia menikmati hidupnya seperti itu. Fea tidak bisa lagi begini. Ddrrtt ... HP Arnon bergetar. A
Setelah Fea mendengar yang Arnon katakan, Fea ingin menangis. Tapi dia mencoba menahan saja agar butiran bening itu tidak menitik di kedua pipinya. Arnon tidak juga mengerti dirinya, tidak peduli yang Fea rasa. Fea kali ini harus bisa tegas, harus bisa membela dirinya di hadapan Arnon."Bisakah kita duduk dan bicara? Aku minta jangan dengan emosi." Fea membesarkan hatinya.Arnon memandang Fea. Lalu dia mengangguk. "Oke, kita bicara."Arnon melangkah meninggalkan kamar Fea. Fea mengikuti Arnon, menuju ke taman. Sisa pertemuan dengan Widya masih di sana. Meja yang ditata cantik dan romantis. Hanya peralatan makan sudah tidak ada lagi. Para pelayan sudah membereskan semuanya.Arnon duduk di kursi cantik, menunggu Fea. Fea maju beberapa langkah, dia duduk di depan Arnon. Meja di hadapan mereka dengan bunga hias di atas meja. Mawar merah dan putih, manis. Tapi tidak membuat hati Fea lebih baik."Apa yang kamu mau katakan?"
Malam makin larut. Sudah lewat jam sepuluh malam, Fea duduk menunggu di taman itu, sendiri. Dingin terasa sesekali menusuk kulitnya karena angin menerpa. Fea menangkupkan kedua tangannya seperti memeluk diri sendiri.Dia melihat ke arah ruangan Arnon, pria itu ada di sana memasak sesuatu buat Fea. Entah apa yang dia siapkan, Fea tidak ada bayangan. Setelah pembicaraan tadi, Fea masih sedikit resah. Pada akhirnya kembali dia mengalah, mengikuti apa yang Arnon mau.Arnon muncul dengan nampan di tangannya. Dua cangkir cantik dengan satu piring tertutup ada di atas nampan itu. Dengan senyum manisnya Arnon berjalan mendekati Fea."Oke ... It is ready for a beautiful lady. Please ..." Arnon meletakkan nampan di atas meja, tepat di depan Fea."Apa ini?" Fea memandang Arnon.Arnon menarik kursi agar lebih dekat duduk di sebelah Fea. "Bukalah."Fea tersenyum. Dia angkat penutup piring itu."Taarraaa!" ucap A
Fea melirik Rania yang asyik menggoda Fea karena dapat kiriman kotak cantik itu."Bingkisan cinta? Ngomong ngasal, kan?" tukas Fea. Tangan gadis itu membuka pita yang melilit manis di kotak merah marun. Lalu Fea membuka penutup kotak itu.Di dalamnya, jam tangan manis. Kecil, berwarna silver. Ada permata di beberapa titik, bagus sekali. Dan pasti sangat mahal."Astaga! Fea, ini berapa duit? Itu pasti dari Irvan. Beneran dia cinta kamu, Fe." Rania langsung yakin kalau kotak itu kiriman Irvan.Fea juga hampir yakin. Karena beberapa kali Irvan melakukan ini. Dia pernah mengirim bunga dan coklat. Lalu juga dia mengirim tas cantik dan elegan. Lain waktu datang kiriman bros dan jepitan rambut indah. Tapi kali ini, jam tangan itu, pasti sangat mahal.Fea melihat ada kertas putih terlipat di dalam kotak. Saat Fea mengangkatnya, harum terasa menyeruak ke hidung Fea dari kertas imut itu. Fea membuka kertas itu dan membacanya.&nb
Arnon ingin sekali memukul tembok atau melempar apa yang ada di depannya. Ini yang selalu menjadi masalah saat dia bicara dengan mamanya. Tak pernah sejalan. Mamanya memandang kemewahan dan pandangan orang tentang dirinya hal utama di dalam hidup."Mama! Kita punya segala kemewahan, tapi tidak martabat!!" Dengan mata menyala Arnon memandang wanita yang melahirkan dirinya itu."Arnon!" sentak Arnella kesal."Kalau Mama bilang agar aku punya martabat, aku belum lahir saat Mama menikah dengan Tuan Ardiansyah Hendrawan yang kaya raya dan sudah punya dua wanita dalam hidupnya. Aku bahkan belum ada di pikiran Mama." Arnon menatap tajam pada Arnella.Arnella kali ini tidak membantah. Arnon benar."Aku ini punya otak dan ingatan. Apa yang di luar sana beredar aku juga dengar. Aku harus menelan sakit jika ada bisikan yang menyebut, Arnon, anak wanita gila harta. Tidak malu jadi istri ketiga demi kemewahan. Mama pikir itu martabat? M
Pintu ruangan Arnon terbuka. Wanita tinggi langsing dengan pakaian minim berwarna merah menyala, masuk. Cantik, dengan polesan yang membuat dia terlihat lebih segar dan menawan. Gladys, Arnon mengenalnya saat menghadiri pembukaan sebuah perumahan milik rekan bisnisnya tiga tahun lalu. Gladys adalah sekretaris pengusaha ternama. Dia pecinta pria berduit dan tampan seperti Arnon. Dengan langkah aduhai dia mendekati Arnon, langsung memberi kecupan mesra pada Arnon yang duduk di kursinya. Arnon membalas perlakuan Gladys. Hingga beberapa menit kemudian Arnon melepasnya. "Kamu pasti merindukan aku, Sayang. Hampir sebulan aku sibuk dengan pekerjaan. Hari ini aku minta off dan aku sengaja ingin memakai waktu bersama kamu." Gladys berdiri di belakang kursi Arnon, melingkarkan tangan ke dada Arnon, sambil berbisik mesra di telinga pria itu. "Kamu datang di hari yang kurang bagus. Mood-ku sedang berantakan, Gladys. Aku hanya ingin menenan