Share

12. Galau dan Gamang

Lagi-lagi Fea terpana dengan sikap Arnon. Dia mendatangi Fea dan memohon? Fea tidak mengerti kenapa Arnon begini? Tapi yang Fea lihat Arnon gundah. Wajahnya campur aduk. Antara marah, sedih, dan kesal. 

"Arnon, kita sudah bicara soal itu. Aku tidak bisa mempermainkan Irvan. Apa alasan aku memutuskan dia?" Fea memandang Arnon. 

Arnon meraup rambutnya kasar. Dia tidak tahu bagaimana mengatakan apa yang berkecamuk di hatinya. Tuntutan orang tuanya, juga kemarahan Arnon karena cemburu. 

"Hei, kamu baik-baik saja?" Fea mencoba melunak. 

Mungkin saja Arnon ada masalah dengan pekerjaan, atau dia ribut dengan salah satu wanitanya? Fea maju dan menarik tangan Arnon. 

"Tidak. Aku ... Fea, kamu cinta sama Irvan?" Dan pertanyaan ini lagi yang Arnon ucapkan. 

Fea tersenyum. Jadi Arnon sangat kuatir jika Fea tidak bahagia dengan Irvan? Apa itu yang membuat dia kacau begini? 

"Hm, kurasa aku ingin menikmati sesuatu yang menyegarkan. Hari panas, suasana panas. Menurut kamu gimana?" Tangan Fea masih memegang lengan Arnon. Fea mencari cara agar rasa kesal Arnon mereda. 

Arnon melihat pada Fea yang tersenyum lepas. Ya, mungkin harus dengan cara lain dia bicara. Mungkin bagus jika dia rileks lebih dulu. 

"Alright. Kamu ingin kudapan atau minuman?" Arnon menekan resah yang masih berkecamuk. 

"Hmm ... Minuman spesial dari Chef Arnon kurasa sangat pas buatku saat ini. Apakah bisa, Chef?" Fea kembali melempar senyumnya. 

"Sure. Ayo." Arnon melepas pegangan Fea dan melangkah menuju dapurnya. Fea menarik nafas dalam. Lega, Arnon mau mendengar dia kali ini. 

Fea akan cari kesempatan untuk mencari tahu ada apa sebenarnya dengan Arnon. Apakah memikirkan dirinya dan Irvan sampai membuat sahabat tampannya itu begitu suntuk? Galau dan gamang? 

Di dapur luas itu, Arnon mulai mengutak-atik ini dan itu, membuat minuman segar dengan buah segar untuk Fea. Hanya beberapa menit Arnon sudah menyajikan dua gelas di depan Fea. Satu untuk Fea dan satu untuk dirinya sendiri. 

"Silakan, Nona Fea." Arnon mengangkat gelasnya. Fea pun sama. Mereka meneguk minuman itu beberapa kali. 

"Ah, teh leci. Thank you. Aku suka." Fea tersenyum. 

Arnon memandang Fea dalam-dalam. Dia akan meminta Fea menikah dengannya. Kira-kira apakah Fea akan menerimanya? Bukankah Fea berprinsip bahwa sebuah pernikahan harus didasari rasa cinta? Tapi, dengan Irvan, Arnon merasa Fea juga tidak cinta pria itu. Lalu kenapa Fea mau bersamanya? 

"Fea ... Aku tidak akan lupa, kamu pernah bilang, jika kamu menikah, harus dimulai dengan cinta pada pasangan kamu. Karena, tanpa itu pernikahan tidak akan bertahan." Arnon masih memandang Fea. 

Deg. Jantung Fea berdegup kencang. Kenapa Arnon mengatakan itu? 

"Dua kali aku tanya, kamu tidak menjawab, apakah kamu cinta pacarmu." Arnon menunggu Fea menjawab dengan jelas apa yang dia tanyakan. 

"Arnon ..."

"Apa karena usia kamu akan mengesampingkan prinsip kamu? Hanya karena target menikah di usia 25 tahun?" Pertanyaan ini seperti menghujam hati Fea. 

Benar! Apa karena target itu, menikah di usia 25 tahun, lalu Fea memaksa diri menerima Irvan? Atau karena dia putus asa menunggu Arnon hanya sia-sia, jadi memilih mencari cinta lain meskipun hatinya sebenarnya juga tidak rela? 

"Aku ..." Fea sekarang bingung. 

"Jika aku minta kita menikah ..."

Bunyi dering ponsel. Fea cepat membuka tas dan mengambil ponselnya. Irvan yang menelponnya. 

"Hai, Ir." Pelan Fea bicara. Dia merasa canggung juga bicara dengan kekasihnya di depan Arnon. 

"Sayang, sudah makan? Aku makan ikan ini jadi ingat kamu. Kamu bilang ingin makan gurami, ternyata menu makan malam di rumah gurami." Suara Irvan cukup keras, Arnon masih bisa menangkap walaupun lirih sampai di telinga Arnon. 

Arnon melirik Fea. Lirikannya membuat jantung Fea tidak karuan. Fea memutar badan, dia tidak mau melihat Arnon. 

"Sial. Ngapain tuh cowok nelpon segala? Lagi serius ini, jadi berantakan," gerutu Arnon. 

Arnon tidak terlalu memperhatikan lagi apa yang dibicarakan Irvan pada Fea. Pikiran Arnon kembali berputar, bagaimana bisa dia minta Fea menikah dengannya. Bayangan hubungan persahabatan mereka bisa jadi runyam lebih kuat dibanding keberanian Arnon terang-terangan mengatakan isi hatinya. 

Belum lagi jika Fea tahu, dia melakukan itu karena tidak mau menikah dengan wanita yang cuma suka dia gara-gara harta, atau karena dia akan kehilangan perusahaan dari papanya. Sekalipun yang mengincar itu sebenarnya adalah Arnella. 

Fea menyimpan lagi ponselnya. "Sorry ..." Fea merasa tidak enak bicara dengan Irvan saat dia bersama Arnon. 

"Kenapa?" tanya Arnon. "Merasa bersalah menerima telpon dari pacar?" Nada suaranya tidak enak didengar. 

"Arnon ... Jangan mulai. Aku mau banyak senyum kalau sama kamu. Belakangan ini kita marahan terus. Rasanya aku kehilangan sahabatku yang menyenangkan." Fea mencoba mencairkan suasana di antara mereka. 

"Hm, itu benar. aku sering kesal dan emosian. Kamu, jadi ikutan melow. Nangis nggak?" Arnon menatap Fea. Arnon paling tidak mau Fea menangis. 

"Ya, gitu, deh ..." Fea terseyum kecut.

Arnon meraih jemari Fea dan mengecupnya lembut. Oh, tidak. Arnon, apa yang dia lakukan? Jantung Fea jadi tidak karuan. Arnon melakukan ini seakan Fea wanita yang dia puja? 

Fea melotot, melihat tangannya, yang masih dalam genggaman Arnon. Dan Arnon tidak melepas jari tangan Fea yang lentik itu. 

"Hei, aku sudah janji akan mengajak kamu jalan, aku akan lebih peduli sama kamu. Hm, kenapa aku lupa? Atau karena kamu sekarang ada pacar, aku jadi kurang penting juga buat Gadis Cantik Kesayangan Arnon," tandas Arnon. 

"Aku terserah saja. Kamu ajak jalan, ya oke. Kamu ga bisa karena sibuk, gimana aku mau maksa. Tuan Muda selalu saja ada urusan." Fea tersenyum sambil melirik Arnon. 

"Oke. Kalau begitu dalam beberapa hari ini aku akan kasih kamu kejutan. Tunggu saja." Arnon menemukan ide untuk membuat sesuatu yang akan membuka jalan dia dan Fea bisa punya waktu bicara tanpa ada gangguan. 

"Apa? Kejutan?" Fea mengangkat kedua alisnya. Apa benar Arnon akan lakukan itu? Jika ya, itu seolah mengulang masa remaja mereka. Arnon selalu saja membuat kejutan kecil untuk Fea. Itu juga salah satu hal yang membuat hati Fea tertanam untuk Arnon. 

"Baiklah, Tuan Muda. Aku nurut saja. Pingin tahu kejutan kamu seperti apa?" Sedikit menantang ucapan Fea dan itu membuat Arnon makin niat melakukannya. 

*****

"Jadi, seperti itu? Kamu dan Arnon memang bertingkah seolah bukan majikan dan tuan sejak kalian kanak-kanak?" Irvan mendengar cerita Fea tentang hubungannya dengan Arnon. Betapa dalam dan kuat persahabatan mereka. Sekarang, meski Fea menjalin hubungan istimewa dengan Irvan, Fea tidak akan melepaskan Arnon. Dia akan tetap ada jika Arnon membutuhkan dia. 

Mendengar semua penuturan Fea, membuat gejolak di dalam hati Irvan. Itu artinya akan ada Arnon di antara dia dan Fea. Walaupun menurut Fea sebatas sahabat, Irvan merasa akan tetap beda. 

"Kumohon kamu maklum ya, kalau Arnon sesekali terkesan mengganggu hubungan kita, itu karena dia mau aku baik-baik saja." Fea menegaskan lagi mengenai hubungan dia dan Arnon. 

Irvan memandang Fea. Hatinya sedikit terganggu. Sejak Arnon mengantar Fea ke kantor pagi itu, Irvan tahu ada sesuatu. Awalnya dia bahkan sempat berpikir mungkinkah Fea juga salah satu wanita yang jadi tempat Arnon meluapkan hasrat. Dan dia harus siap karena itu. Ternyata Fea bukan wanita seperti itu. Dia murni seperti yang selama ini Irvan ketahui tentang Fea. 

"Fea, aku tentu mengerti, jika kamu dan Arnon punya persahabatan yang dalam, tidak akan berubah meskipun aku sekarang adalah kekasih kamu. Persahabatan kalian jauh lebih lama dari pertemanan kita. Apalagi hubungan kamu dan aku, baru seumur jagung." Irvan menguatkan hati mengatakan ini, memang itu kenyataannya. 

Senyum Fea kembali menggantung di bibirnya. Lega, itu yang mengalir di hati Fea. Karena Irvan mau mengerti situasi dia dan Arnon. 

Fea melirik arloji di tangannya, jam istirahat usai. Saatnya dia kembali bekerja. Maka dia pamit kembali ke tempatnya. Irvan dan Fea meninggalkan kantin, balik ke meja masing-masing. Sibuk lagi dengan pekerjaan yang berderet-deret menunggu. 

Rania senyum-senyum melihat Fea datang. Dia paling senang melihat Fea bersama Irvan. Setelah berhasil membujuk Fea menerima Irvan, Rania akan mendesak Fea agar segera menikah dengan pria baik hati itu. 

"Hmm ... hhmmm ..." Rania pura-pura batuk. 

Fea menoleh pada Rania. "Batuk? Minum obat,  Mbak." Fea tahu keusilan Rania muncul. 

"Hee ... hee ..." Makin lebar Rania tersenyum. 

"Kerja, lanjut." Fea sudah duduk sudah menghadap layar di depannya. 

Hingga jam empat tepat, ponsel Fea berdering. 

"Ih, pas jam empat banget ditelpon. Masa sudah kangen?" goda Rania. 

Fea hanya melirik temannya itu. Dia ambil ponsel. Ternyata Arnon, bukan Irvan. 

"Ya, Ar?" sapa Fea. 

"Ke depan. Aku jemput." Suara Arnon. Itu yang Fea dengar? 

"Hah?!" Mata Fea melebar mendengar ucapan Arnon. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status