Share

10. Bicara Pria dengan Pria

Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung. 

"Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi. 

Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu? 

"Masuk, Fea!" titah Arnon. 

Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon. 

"Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya. 

"Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya. 

"Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah. Aneh aja." Fea masih belum bisa mencerna mengapa Arnon tiba-tiba niat banget mengantarkan dia ke kantor. 

"Aku mau tahu cowok kamu macam apa. Meskipun kamu udah bilang, aku ga yakin kalau dia baik buat kamu." Arnon menjawab tanpa menoleh. 

"Ahh ... Itu alasannya?! Kamu pikir aku asal cari pacar?" Fea sedikit kesal sekarang. 

"Jika itu yang kamu pikir, terserah. Aku cuma ga mau kamu kenapa-napa, Fea. Paham?" Arnon berkata tegas. 

Fea hanya melirik Arnon. Ini salah satu keegoisan Arnon menurut Fea. Dia selalu tidak mau posisi Arnon jadi yang paling dekat dengan Fea digantikan siapapun. Sedang dia akan dengan seenak perutnya pergi jalan dengan cewek mana saja yang dia mau. 

Tapi sekarang Fea akan berjuang untuk mewujudkan impiannya. Jika dia menanti Arnon, itu hanya khayalan semata, sedangkan dengan Irvan semua sangat mungkin Fea raih. Kenapa harus dia tunda? Jika dia sedikit tegas, pasti Arnon akan bisa mengerti akhirnya. Itu yang Fea tanamkan di kepalanya sekarang. 

Lima belas menit berikut, mereka sampai di kantor Fea. Mobil berhenti di tempat parkir depan kantor. Arnon cepat-cepat turun dan membuka pintu mobil untuk Fea. Lagi, Fea terkejut dengan tingkah Arnon. Cowok itu memperlakukan dia beda. Ini seperti kalau Arnon jalan dengan salah satu wanitanya, dia akan berlaku begini. 

"Yuk, kamu tidak terlambat. Bekerjalah dengan baik." Arnon tersenyum. 

Fea hanya memandang pada Arnon dengan rasa aneh. 

Mobil Irvan datang. Seketika cowok itu melihat Fea baru turun dari mobil mewah yang tidak banyak dijumpai di kota ini. Irvan tahu siapa pemuda di dekat Fea. 

"Arnon Hendrawan? Dia mengantar Fea?" Cepat-cepat Irvan memarkir mobilnya. Lalu dia berjalan ke arah Fea dan Arnon yang masih bertatapan. 

"Selamat pagi," sapa Irvan. Suaranya ramah, seperti biasa. 

Arnon dan Fea menoleh, melihat Irvan yang tersenyum di ujung bibirnya. 

"Eh, Ir." Fea cukup terkejut. 

"Hai, pagi." Arnon menjawab, dia melihat Irvan. Lumayan juga cowok ini. Cukup keren dan gagah. Pantas juga Fea tidak menolaknya. Hanya Arnon belum yakin Fea cinta pada Irvan. 

"Wah, hari yang bagus aku bisa bertemu Tuan Arnon Hendrawan sepagi ini. Dia datang ke kantor ini ..."

"Aku mengantar Fea. Memastikan dia baik-baik saja." Arnon menatap lurus pada Irvan. 

Irvan tertegun. Apa maksud Arnon mengatakan itu? Irvan belum tahu banyak kehidupan Fea. Yang dia tahu, Fea bekerja sebagai pembantu di rumah Tuan Hendrawan, tetapi karena mereka baik dia bisa sekolah sampai kuliah. Bahkan setelah bisa bekerja juga Fea tetap diijinkan tinggal di rumah itu. 

Hari ini, melihat Arnon langsung mengantar Fea ke kantor, muncul tanda tanya besar di kepala Irvan. Dan Fea jelas melihat itu dari tatapan Irvan. 

"Oh, Tuan Hendrawan baik sekali. Jangan kuatir, Tuan, Fea berada di tangan yang tepat." Dengan sigap Irvan menjawab. 

Fea memandang dua pria di depannya ini bergantian. Mereka saling menatap, entah apa maksud mereka bertingkah seperti hendak berkelahi begitu. 

"Arnon, aku harus masuk. Terima kasih sudah antar hari ini." Fea berharap dengan ucapannya Arnon akan segera pergi. 

Ya, Arnon paham. Dia menoleh pada Fea. "Oke. Aku akan chat kamu nanti." 

Arnon melirik pada Irvan, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Segera cowok itu meninggalkan Fea dan Irvan yang sekarang berdiri berhadapan. 

"Bukannya dia majikan kamu?" Irvan bertanya. 

"Iya. Memang. Tapi kami sejak kecil tumbuh bersama, Ir. Kami seperti teman saja." Fea menjawab, berusaha tetap tenang. Rasa kuatir mulai muncul di hati Fea. Jangan sampai Irvan berpikir macam-macam tentang dia dan Arnon. 

"Teman? Aku merasa sedikit aneh," ucap Irvan. 

"Aku akan jelaskan kalau kita ada waktu bicara. Tentu tidak sekarang. Waktunya bekerja." Fea memandang Irvan yang benar-benar tidak mengerti ada apa dengan Fea dan Arnon. 

"Oke. Nanti kita cari waktu. Ayo, masuk." Irvan menekan rasa penasaran. Fea baru semalam resmi bersedia jadi kekasihnya, jangan sampai ini akan memicu situasi tidak baik lalu Fea memilih mundur. Lebih baik Irvan menunggu saat yang tepat dan mendapat jawaban. 

Hati Irvan tetap tidak tenang. Dia bisa merasa Arnon sebenarnya menaruh perhatian khusus pada Fea. Dia anak horang kaya, dikenal sebagai pria yang suka asyik dengan wanita-wanita berkelas, lalu kenapa dia memperlakukan Fea dengan istimewa? Irvan harus siap seandainya dia akan berhadapan dengan kenyataan yang tidak dia kira tentang Fea. Dan itu berhubungan dengan Arnon. 

*****

Arnon masuk ke resto, menuju langsung ke arah ruangannya. Chef Riko melihat Arnon datang. 

"Selamat pagi, Pak!" Ramah dengan senyum lebar Riko menyapa. Tapi Arnon terlihat tidak bersemangat. Senyum Riko pun menghilang. 

"Lagi suntuk, Pak?" tanya Riko. 

"Kamu bisa lihat, kan?" Arnon menunjuk ke mukanya. 

"Ada apa, Arnon?" Panggilan Pak disingkirkan dulu. Sekarang Riko menghadapi Arnon sebagai temannya. Riko menguntit Arnon ke ruangannya. 

Duduk berhadapan, Arnon masih sulit tersenyum. 

"Ada masalah persiapan resto baru? Aku dengar yang di utara ..."

"Tidak. Semua sudah bisa di-handle. Ini soal hati, Riko." Arnon bicara tanpa ekspresi. 

"Arnon bicara soal hati?" tanya Riko. Dia sedikit nyengir mendengar ucapan Arnon. 

"Sudah beberapa hari aku kesal terus." Arnon melihat gambar Fea yang tepat di mejanya. Gambar kesayangan Arnon. 

"Karena cewek-cewek atau cewek saja?" Riko ingin memastikan. 

"Fea." Pendek Arnon menjawab. 

"Gadis itu. Kamu apakan dia, Arnon?" Riko menatap Arnon. 

"Hei, hati-hati bicara!" Arnon melebarkan matanya, meski seperti sama saja. 

"Lalu?" Riko mengerutkan kening. 

"Dia ingin pergi dari rumah. Dia ingin segera menikah. Dia jadian sama teman kantornya." Arnon menjelaskan. 

"Kamu kesal karena itu? Kalau ga mau kehilangan dia, kamu saja yang menikah dengannya." Riko menjawab tenang, tapi serius. 

Arnon tidak menjawab. Riko juga tahu bagaimana Arnon menilai hubungan laki-laki dan perempuan. Dia tak akan mau menjalin hubungan terikat dalam pernikahan. Yang Riko lihat, Arnon trauma dengan keadaan pernikahan orang tuanya. Dia menolak menikah karena takut terluka dan takut melukai wanitanya. Apalagi jika itu Fea. 

Riko yakin Arnon cinta pada teman kecilnya itu. Dia hanya tidak mau mengakuinya. Dia menutup semua dengan alasan persahabatan. Malang, itu yang Riko lihat pada Arnon. Belum lagi tekanan orang tuanya, Arnon harus menikah dengan gadis berkelas dan ada batas usia sebagai syarat dia mendapat satu perusahaan yang disiapkan untuk dia teruskan. Benar-benar tidak masuk akal. 

"Apa kamu takut kehilangan warisan kamu? Takut dianggap pria bodoh karena menikahi gadis rendahan? Itu cuma pandangan manusia Arnon. Jika kamu bahagia dan bisa membahagiakan Fea kurasa itu cukup." Riko melanjutkan. 

"Aku tidak yakin. Bagaimana bisa menjalin hubungan hanya dengan satu orang seumur hidup? Apa rahasia kamu?" Kali ini Arnon yang bertanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status