Fea yakin tidak salah dengar. Tuan Muda mengajak dia pergi ke kantor bareng? Mata Fea memandang Arnon, bibirnya membulat, bingung.
"Kamu mau terlambat sampai kantor? Ayo, jalan sekarang." Arnon meraih tangan Fea dan menggandeng gadis itu hingga sampai di garasi.
Arnon membuka pintu mobilnya. Sebelum masuk dia menoleh pada Fea yang masih berdiri mematung. Fea benar-benar tidak mengerti Arnon. Apa yang terjadi dengan cowok itu?
"Masuk, Fea!" titah Arnon.
Fea sedikit tersentak. Dia nurut. Fea membuka pintu mobil, masuk, dan duduk di sisi Arnon.
"Kamu bukan sedang mabuk, kan?" Fea melihat Arnon yang mulai melakukan kendaraannya.
"Ini masih pagi. Belum jam delapan. Kamu pikir aku segila itu, mabuk di pagi hari?" Arnon menarik ujung bibirnya.
"Aku sudah bertahun-tahun ke mana-mana sendiri. Ke kantor juga punya langganan ojek. Kenapa kamu mau antar aku? Resto kamu dan kantor tempat aku bekerja itu beda arah. Aneh aja." Fea masih belum bisa mencerna mengapa Arnon tiba-tiba niat banget mengantarkan dia ke kantor.
"Aku mau tahu cowok kamu macam apa. Meskipun kamu udah bilang, aku ga yakin kalau dia baik buat kamu." Arnon menjawab tanpa menoleh.
"Ahh ... Itu alasannya?! Kamu pikir aku asal cari pacar?" Fea sedikit kesal sekarang.
"Jika itu yang kamu pikir, terserah. Aku cuma ga mau kamu kenapa-napa, Fea. Paham?" Arnon berkata tegas.
Fea hanya melirik Arnon. Ini salah satu keegoisan Arnon menurut Fea. Dia selalu tidak mau posisi Arnon jadi yang paling dekat dengan Fea digantikan siapapun. Sedang dia akan dengan seenak perutnya pergi jalan dengan cewek mana saja yang dia mau.
Tapi sekarang Fea akan berjuang untuk mewujudkan impiannya. Jika dia menanti Arnon, itu hanya khayalan semata, sedangkan dengan Irvan semua sangat mungkin Fea raih. Kenapa harus dia tunda? Jika dia sedikit tegas, pasti Arnon akan bisa mengerti akhirnya. Itu yang Fea tanamkan di kepalanya sekarang.
Lima belas menit berikut, mereka sampai di kantor Fea. Mobil berhenti di tempat parkir depan kantor. Arnon cepat-cepat turun dan membuka pintu mobil untuk Fea. Lagi, Fea terkejut dengan tingkah Arnon. Cowok itu memperlakukan dia beda. Ini seperti kalau Arnon jalan dengan salah satu wanitanya, dia akan berlaku begini.
"Yuk, kamu tidak terlambat. Bekerjalah dengan baik." Arnon tersenyum.
Fea hanya memandang pada Arnon dengan rasa aneh.
Mobil Irvan datang. Seketika cowok itu melihat Fea baru turun dari mobil mewah yang tidak banyak dijumpai di kota ini. Irvan tahu siapa pemuda di dekat Fea.
"Arnon Hendrawan? Dia mengantar Fea?" Cepat-cepat Irvan memarkir mobilnya. Lalu dia berjalan ke arah Fea dan Arnon yang masih bertatapan.
"Selamat pagi," sapa Irvan. Suaranya ramah, seperti biasa.
Arnon dan Fea menoleh, melihat Irvan yang tersenyum di ujung bibirnya.
"Eh, Ir." Fea cukup terkejut.
"Hai, pagi." Arnon menjawab, dia melihat Irvan. Lumayan juga cowok ini. Cukup keren dan gagah. Pantas juga Fea tidak menolaknya. Hanya Arnon belum yakin Fea cinta pada Irvan.
"Wah, hari yang bagus aku bisa bertemu Tuan Arnon Hendrawan sepagi ini. Dia datang ke kantor ini ..."
"Aku mengantar Fea. Memastikan dia baik-baik saja." Arnon menatap lurus pada Irvan.
Irvan tertegun. Apa maksud Arnon mengatakan itu? Irvan belum tahu banyak kehidupan Fea. Yang dia tahu, Fea bekerja sebagai pembantu di rumah Tuan Hendrawan, tetapi karena mereka baik dia bisa sekolah sampai kuliah. Bahkan setelah bisa bekerja juga Fea tetap diijinkan tinggal di rumah itu.
Hari ini, melihat Arnon langsung mengantar Fea ke kantor, muncul tanda tanya besar di kepala Irvan. Dan Fea jelas melihat itu dari tatapan Irvan.
"Oh, Tuan Hendrawan baik sekali. Jangan kuatir, Tuan, Fea berada di tangan yang tepat." Dengan sigap Irvan menjawab.
Fea memandang dua pria di depannya ini bergantian. Mereka saling menatap, entah apa maksud mereka bertingkah seperti hendak berkelahi begitu.
"Arnon, aku harus masuk. Terima kasih sudah antar hari ini." Fea berharap dengan ucapannya Arnon akan segera pergi.
Ya, Arnon paham. Dia menoleh pada Fea. "Oke. Aku akan chat kamu nanti."
Arnon melirik pada Irvan, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Segera cowok itu meninggalkan Fea dan Irvan yang sekarang berdiri berhadapan.
"Bukannya dia majikan kamu?" Irvan bertanya.
"Iya. Memang. Tapi kami sejak kecil tumbuh bersama, Ir. Kami seperti teman saja." Fea menjawab, berusaha tetap tenang. Rasa kuatir mulai muncul di hati Fea. Jangan sampai Irvan berpikir macam-macam tentang dia dan Arnon.
"Teman? Aku merasa sedikit aneh," ucap Irvan.
"Aku akan jelaskan kalau kita ada waktu bicara. Tentu tidak sekarang. Waktunya bekerja." Fea memandang Irvan yang benar-benar tidak mengerti ada apa dengan Fea dan Arnon.
"Oke. Nanti kita cari waktu. Ayo, masuk." Irvan menekan rasa penasaran. Fea baru semalam resmi bersedia jadi kekasihnya, jangan sampai ini akan memicu situasi tidak baik lalu Fea memilih mundur. Lebih baik Irvan menunggu saat yang tepat dan mendapat jawaban.
Hati Irvan tetap tidak tenang. Dia bisa merasa Arnon sebenarnya menaruh perhatian khusus pada Fea. Dia anak horang kaya, dikenal sebagai pria yang suka asyik dengan wanita-wanita berkelas, lalu kenapa dia memperlakukan Fea dengan istimewa? Irvan harus siap seandainya dia akan berhadapan dengan kenyataan yang tidak dia kira tentang Fea. Dan itu berhubungan dengan Arnon.
*****
Arnon masuk ke resto, menuju langsung ke arah ruangannya. Chef Riko melihat Arnon datang.
"Selamat pagi, Pak!" Ramah dengan senyum lebar Riko menyapa. Tapi Arnon terlihat tidak bersemangat. Senyum Riko pun menghilang.
"Lagi suntuk, Pak?" tanya Riko.
"Kamu bisa lihat, kan?" Arnon menunjuk ke mukanya.
"Ada apa, Arnon?" Panggilan Pak disingkirkan dulu. Sekarang Riko menghadapi Arnon sebagai temannya. Riko menguntit Arnon ke ruangannya.
Duduk berhadapan, Arnon masih sulit tersenyum.
"Ada masalah persiapan resto baru? Aku dengar yang di utara ..."
"Tidak. Semua sudah bisa di-handle. Ini soal hati, Riko." Arnon bicara tanpa ekspresi.
"Arnon bicara soal hati?" tanya Riko. Dia sedikit nyengir mendengar ucapan Arnon.
"Sudah beberapa hari aku kesal terus." Arnon melihat gambar Fea yang tepat di mejanya. Gambar kesayangan Arnon.
"Karena cewek-cewek atau cewek saja?" Riko ingin memastikan.
"Fea." Pendek Arnon menjawab.
"Gadis itu. Kamu apakan dia, Arnon?" Riko menatap Arnon.
"Hei, hati-hati bicara!" Arnon melebarkan matanya, meski seperti sama saja.
"Lalu?" Riko mengerutkan kening.
"Dia ingin pergi dari rumah. Dia ingin segera menikah. Dia jadian sama teman kantornya." Arnon menjelaskan.
"Kamu kesal karena itu? Kalau ga mau kehilangan dia, kamu saja yang menikah dengannya." Riko menjawab tenang, tapi serius.
Arnon tidak menjawab. Riko juga tahu bagaimana Arnon menilai hubungan laki-laki dan perempuan. Dia tak akan mau menjalin hubungan terikat dalam pernikahan. Yang Riko lihat, Arnon trauma dengan keadaan pernikahan orang tuanya. Dia menolak menikah karena takut terluka dan takut melukai wanitanya. Apalagi jika itu Fea.
Riko yakin Arnon cinta pada teman kecilnya itu. Dia hanya tidak mau mengakuinya. Dia menutup semua dengan alasan persahabatan. Malang, itu yang Riko lihat pada Arnon. Belum lagi tekanan orang tuanya, Arnon harus menikah dengan gadis berkelas dan ada batas usia sebagai syarat dia mendapat satu perusahaan yang disiapkan untuk dia teruskan. Benar-benar tidak masuk akal.
"Apa kamu takut kehilangan warisan kamu? Takut dianggap pria bodoh karena menikahi gadis rendahan? Itu cuma pandangan manusia Arnon. Jika kamu bahagia dan bisa membahagiakan Fea kurasa itu cukup." Riko melanjutkan.
"Aku tidak yakin. Bagaimana bisa menjalin hubungan hanya dengan satu orang seumur hidup? Apa rahasia kamu?" Kali ini Arnon yang bertanya.
Tawa lepas terdengar di tepi pantai. Dibarengi suara deburan ombak yang tak mau menunda hentakannya menerjang bibir pantai luas dan indah. Angin semakin kencang bertiup, seolah-olah memaksa awan-awan bergerak cepat dan segera berganti bentuk menghias biru langit.Pohon-pohon di tepi pantai berkejaran menggoyangkan dahan dan daun-daun yang memenuhi batangnya. Seakan-akan menari menikmati hari yang cerah. Sesekali terdengar desauan suara gesekan dedaunan itu."Sayang ... lihat apa?" Arnon memencet hidung Fea.Fea gelagapan. Dia pegang tangan Arnon, menoleh padanya."Memperhatikan anak-anak. Rasanya belum lama aku berjuang membawa mereka lahir, ternyata mereka sudah mulai gede." Senyum Fea mengembang manis. Dia lepaskan tangan Arnon dan merapikan helaian rambutnya yang menutupi wajah karena tiupan angin."Kamu benar. Arnon dan Fernan suaranya mulai berubah. Tingginya sudah melampaui kamu. Dan sudah mulai ngerti cewek cantik." Arnon ikut tersenyum leba
Arnon memegang lengan Fea, meminta dia menurunkan tangan. Fea menggeleng. Dia kesal karena perjalanan itu terganggu gara-gara dia sakit. "Sayang, kenapa?" ulang Arnon. "Kenapa aku sakit? Harusnya kita happy, menikmati semuanya." Fea sedikit merajuk. Arnon menggeser kursinya, merapat pada Fea dan memeluknya. "Jangan sedih. Sakit itu ga bisa ditolak. Sudah, ga apa-apa." "Hhmm, uuhhkkk ..." Fea kembali merasa mual. Sedang pusing yang mendera kembali datang. "Kita ke dokter saja. Ga bisa kayak gini. Ini sudah campur-campur sakitnya. Ayo!" Arnon tidak bisa menunggu. Lebih baik mencari obat yang benar, agar Fea segera pulih. Sebab masih dua hari lagi perjalanan mereka. Dengan tubuh sedikit oleng, Fea menurut. Arnon menuntunnya masuk ke dalam mobil. Arnon segera browsing mencari klinik terdekat. "Good, hanya sepuluh menit dari sini. Kita pergi." Arnon dengan cepat melaju di jalanan. Pulau itu tidak sepadat kota asa
Arnon memandang Fea. Dia tahu, Fea benar-benar lupa ada apa dengan salah satu kembar mereka."Pulang, bisakah ada adik di perut Mama?" Fea mengulang yang Fernan katakan.Fea memeluk Arnon seketika. Senyumnya melebar. "Iya, ingat. Tapi aku mau jalan-jalan. Rugi kalau jauh-jauh hanya untuk rebahan di kamar.""Hee ... hee ..." Arnon tersenyum lebar. "Oke, kita tidur. Besok kita berpetualang di luar pagi hingga siang. Malam, petualangan di atas kasur. Jangan menolak, Sayang ..."Fea tidak menyahut, tidak juga menolak. Yang terjadi terjadilah. Dia juga berharap jika Tuhan kehendaki, maka dia akan segera mengandung. Namun, jika tidak, dia pasrah. Tuhan yang lebih tahu, apakah baik buta dia dan Arnon, juga anak-anak, jika ada anggota keluarga baru.Malam dengan cepat berlalu, pagi pun menyapa lagi.Arnon dan Fea mulai berkelana di pulau cantik itu. Awal, mereka datang ke resto Hervina. Hervina sendiri yang menjemput dari hotel. Fea dan Arnon dijamu
Arnon pun tidak kalah terkejut saat mengenali wanita yang memanggilnya. Apa dia harus menemuinya? Tetapi langkah mereka memang terarah ke tempat di mana wanita cantik dengan postur tinggi dan langsing itu berada."Kamu akan menemuinya?" tanya Fea."Kenapa tidak? Aku bersama kamu. Kita temui sama-sama." Arnon memegang erat tangan Fea.Mereka melangkah mendekat pada wanita itu."Selamat datang di pulau cantik ini. Selamat berpetualang." Senyum manisnya, masih sama seperti dulu, itu yang Arnon lihat."Maaf, Kak Hervi ga bisa jemput. Hari ini restonya ada acara wedding, jadi dia pastikan semua berjalan lancar." Suaranya ceria dan terdengar ramah."Kamu dan Hervina?" Arnon menatap wanita itu."Namaku Widya Sukma Adijaya. Kamu teman kuliah Kak Hervi, pasti ingat namanya." Widya berkata sambil tersenyum lebar.Arnon mengerutkan kening. "Aku tidak ingat lengkapnya, tapi ya ... Hervina ... belakangnya Adijaya. Jadi dia kakakmu?"
Fea menatap Arnon lekat-lekat. Seketika suasana riuh dan meriha itu tidak manis lagi. Kenapa Arnon mengatakan itu? Wajahnya tegas, membalas tatapan Fea. Apakah Arnon sebenarnya terpaksa datang ke panti? "Kamu kenapa?" tanya Fea. "Tidak bisa menikmati acara ini." Arnon mengatakan lebih tegas. "Kamu tidak ingin datang? Aku sudah bertanya lebih dulu, Ar, kamu bisa atau tidak. Kamu iyakan, kamu bilang Sabtu ini kosong, ga ada urusan mendesak. Makanya aku siapkan semua, bukan, kamu bahkan membantu menyiapkan ..." "Bagaimana bisa menikmati acara, kalau di sisiku ada bidadari cantik membuat aku tak bisa berkedip?" Arnon berkata dengan mata menghujam dua bola mata Fea, tanpa berkedip. "Ahh ..." Fea seketika menghela nafas panjang. "Arnon ..." Arnon tersenyum. Dia raih tangan Fea dan menggenggamnya. "Thank you." Fea ikut tersenyum. "Thank you buat apa?" "Aku mungkin akan bilang berulang-ulang, tapi akan tetap mengatakannya lagi.
"Itulah, memang tidak mudah menyelami hati seseorang. Boleh dibilang, aku setuju dengan pepatah yang mengatakan, dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu," ujar Fea."Jawab saja, pakai melantunkan peribahasa segala. Hee ... hee ..." Sherlita merasa lucu dengan jawaban Fea."Pak Rido, dia terjebak banyak hutang. Karena diam-diam dia suka berjudi. Awalnya dia dapat uang dari pinjaman online. Kamu bisa bayangkan seperti apa jeratan pinjaman online apalagi yang asal begitu." Fea memulai penjelasannya."Waduh, kok ngeri aku," ujar Sherlita. Tak dia bayangkan itu yang terjadi. "Karena judi Rido nekad memperjualbelikan anak-anak?""Awalnya dia ga bermaksud begitu. Hanya dia melihat ada peluang dapat uang gede. Tanpa pikir panjang, dia iya saja. Dan sudah terlanjur ada perjanjian untuk menyerahkan anak itu." Fea menambahkan."Lalu, setelah tahu kenyataannya?" Sherlita makin penasaran."Menurut yang aku dengar, dia menyesal, t