Home / Romansa / Angin di Antara Kita / Bab 19 Janji Dalam Diam

Share

Bab 19 Janji Dalam Diam

Author: Elis Z. Faida
last update Last Updated: 2025-09-29 21:35:16

Ruang tamu itu sunyi, tapi bukan keheningan yang menenangkan—melainkan keheningan yang menyesakkan. Jam dinding berdetak lambat, seolah ingin memperpanjang setiap detik yang terasa bagai ujian. Sofa berbalut kain cokelat muda tampak kaku, sama kaku seperti tatapan Mama Elhan yang tertuju pada Nayla.

Nayla duduk dengan kedua tangan terlipat di pangkuannya, jari-jarinya saling meremas hingga pucat. Ia mencoba menundukkan pandangan, berusaha menghormati, tapi juga tak mampu sepenuhnya menyembunyikan kegelisahan yang membakar dadanya. Elhan ada di sampingnya, duduk tegak, bahunya tegang, seperti tengah menahan badai yang sebentar lagi meledak.

“Aku sudah bilang, Han.” Suara Mama Elhan memecah sunyi. Datar, tapi penuh penekanan. “Aku tidak pernah bisa menerima anak itu masuk ke keluarga kita.”

Kalimat itu bagai palu yang menghantam dada Nayla. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan yang bergolak. Namun tubuhnya tetap gemetar. Ia ingin berbicara, membela diri, tapi napa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Angin di Antara Kita    Bab 25 Perpisahan Kecil

    Matahari tampak enggan bersinar. Cahaya yang menembus jendela kamar Nayla begitu redup, seakan tahu ada hati yang masih berat menanggung luka. Nayla duduk di tepi ranjang dengan wajah kusut. Semalam ia hampir tidak tidur setelah pertemuannya dengan Elhan di tengah hujan. Setiap detail peristiwa itu terus berulang di kepalanya—tatapan mata Elhan, kata-katanya yang singkat, hingga panggilan telepon dari ibunya yang kembali merenggut kesempatan mereka. Hari ini kampus mengadakan kegiatan farewell gathering untuk beberapa dosen senior yang akan pensiun. Semua mahasiswa diwajibkan hadir. Dan itu artinya, Nayla tidak bisa menghindar dari keramaian… dan mungkin dari tatapan Elhan. Dengan langkah berat, ia bersiap. Memilih kerudung berwarna lembut, menutupi wajah pucatnya dengan sedikit bedak, meski sorot matanya tetap menyimpan kepedihan. Lapangan utama kampus ramai sekali siang itu. Spanduk besar terbentang: “Farewell & Appreciation Day.” Kursi-kursi berjajar rapi, dihiasi pita warna em

  • Angin di Antara Kita    Bab 24 Tangisan yang Disembunyikan

    Langit dini hari masih kelabu ketika suara azan subuh berkumandang dari kejauhan. Di dalam kamar kecilnya, Nayla duduk di tepi ranjang dengan wajah sembab. Matanya merah, bekas tangisan semalaman masih jelas terlihat. Bantalnya basah, dan seprai sedikit kusut, saksi bisu dari pertarungan batin yang tak kunjung usai. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi setiap kali mengingat kata-kata Elhan semalam—“kita harus berhenti berjuang sekarang”—dadanya kembali sesak, matanya perih. Seakan luka itu belum cukup dalam, pikirannya terus memutar ulang adegan perpisahan itu. Tangannya meraih ponsel di meja kecil samping ranjang. Ada banyak notifikasi masuk: pesan grup kuliah, obrolan teman, bahkan pesan dari Rara yang sejak semalam menanyakan kabar. Tapi Nayla tak membuka satu pun. Ia terlalu lelah untuk menjelaskan, terlalu sakit untuk menuliskan kebenaran. Hanya ada satu nama yang ia cari di layar: Elhan. Namun, kotak obrolan itu kosong sejak semalam. Tak ada pesan baru. Ta

  • Angin di Antara Kita    Bab 23 Cinta yang Ditolak

    Hening pagi di rumah Nayla pecah oleh suara kursi yang digeser kasar. Ruang makan yang biasanya jadi tempat tenang untuk sarapan, hari itu berubah jadi ruang interogasi. Aroma kopi hitam Ayah bercampur dengan hawa tegang yang menusuk. Ayah duduk di ujung meja, wajahnya keras, tatapan matanya menusuk ke arah Nayla. Sementara itu, Ibu hanya menunduk, jarinya sibuk mengutak-atik sendok di piring, jelas tak berani ikut bicara. “Nayla,” suara Ayah terdengar berat. “Kamu bisa jelasin siapa sebenarnya anak itu? Elhan?” Nayla menggenggam erat roti yang tak disentuh di piringnya. Tenggorokannya kering. Suara Ayah terlalu tegas, menusuk langsung ke jantungnya. “Dia… dia temanku, Yah,” jawab Nayla pelan. Ayah mengetuk meja dengan jarinya, ekspresi dingin. “Teman? Teman apa yang malam-malam datang ke rumah, basah kuyup, lalu bicara seolah-olah kalian… lebih dari itu?” Nayla terdiam. Hatinya berdegup kencang, tapi lidahnya kelu. Semua alasan yang ingin ia ucapkan terasa lumpuh di hadap

  • Angin di Antara Kita    Bab 22 Pertarungan Sunyi

    Langit sore itu seperti lukisan yang retak. Cahaya jingga menyusup di sela-sela awan kelabu, seakan sedang berjuang untuk tetap bersinar sebelum akhirnya ditelan gelap malam. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa hujan yang turun siang tadi. Nayla berdiri di tepi jendela kamarnya, menatap keluar dengan mata kosong. Dari jauh ia bisa melihat anak-anak kecil berlarian di gang sempit, tertawa riang, seolah dunia mereka tak pernah mengenal luka. Kontras sekali dengan dirinya. Senyum terasa begitu asing, bahkan sekadar untuk pura-pura pun terasa berat. Di genggamannya, ada secarik kertas kecil yang sudah berulang kali ia baca. Tulisan tangan itu tak asing: milik Elhan. Hanya beberapa kata sederhana, tapi setiap hurufnya menusuk hatinya. “Maafkan aku, La. Kalau jalan kita harus berpisah, itu bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Aku hanya ingin kamu tetap utuh, meski tanpaku.” Napas Nayla tercekat. Ia meremas kertas itu, lalu menempelkannya ke dada, tepat di atas jantun

  • Angin di Antara Kita    Bab 21 Jalan yang Menyimpang

    Tumpukan buku di meja perpustakaan sudah seperti benteng kecil di hadapan Nayla. Jari-jarinya sibuk membuka halaman, tapi tatapannya kosong, melayang entah ke mana. Sejak semalam, pikirannya terus mengulang-ulang pesan singkat yang ia kirim—pesan yang sampai sekarang tak kunjung dibalas. Layar ponselnya tetap hening, seolah kehabisan kata. Kalau memang tak ingin lagi, kenapa harus diam? batinnya merintih. Sementara itu, di rumah besar dengan dinding berlapis marmer dingin, Elhan duduk di kursi kerjanya. Kedua tangannya menutupi wajah, menahan resah. Kata-kata sang ibu terus menggema “Cinta itu bukan cuma soal perasaan, Han. Kamu harus pilih yang bisa membawa kamu naik, bukan yang menyeretmu jatuh.” Ia meremas ponselnya erat, membuka pesan Nayla yang masih menggantung di layar. Satu kalimat sederhana yang menusuk: ‘Kamu masih di sisiku, kan?’ Elhan menutup mata. Rahangnya menegang. Ia ingin membalas dengan seribu janji, tapi jemarinya beku. Diam adalah satu-satunya jawa

  • Angin di Antara Kita    Bab 20 Antara Rindu dan Air Mata

    Langkah-langkah kecil terdengar bergaung di dalam ruang kosong itu. Nayla berdiri mematung di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya yang tampak begitu asing. Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya pucat tanpa riasan, dan matanya… mata itu tampak letih, seperti kehilangan cahaya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh permukaan dingin cermin. “Kamu siapa, Nayla?” bisiknya lirih. “Kenapa kamu kelihatan kayak orang asing buat dirimu sendiri?” Sinta, yang sejak tadi duduk di ranjang, memperhatikan sahabatnya dalam diam. Ada rasa khawatir yang kian menumpuk, tapi ia tahu Nayla tidak suka digurui. Jadi ia hanya berkata pelan, “Kalau kamu capek, istirahatlah. Jangan terus nyalahin diri sendiri.” Nayla tersenyum kecut. “Capek itu udah jadi bagian dari aku, Sin.” Ucapan itu menyesakkan dada Sinta. Ia bangkit, menghampiri Nayla, lalu memeluk bahu sahabatnya erat-erat. “Kamu nggak sendirian. Kalau kamu masih butuh nangis, nangis aja. Kalau kamu masih butuh cerita, aku dengerin. Tapi j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status