Hari-hari setelah pertemuan terakhir di lorong terasa seperti bayangan panjang yang enggan pergi dari hidup Nayla. Pagi datang, matahari terbit, orang-orang lalu lalang dengan rutinitas mereka, tapi bagi Nayla, semuanya hanya bergerak seperti film bisu. Ia tetap hadir di kelas, duduk di bangku tengah, membuka buku catatan, menatap papan tulis. Namun pikirannya tak pernah benar-benar di sana. Kata-kata dosen terdengar seperti gema jauh, tak pernah masuk ke kepalanya. Yang selalu muncul justru suara lain—suara Elhan. “Aku harus pergi, Nayla.” “Mamaku nggak akan pernah merestui kita.” Setiap kali mengingatnya, hatinya seperti digenggam erat hingga sulit bernapas. Pulpen yang dipegangnya berkali-kali patah karena ditekan terlalu keras, kertas catatannya penuh coretan tak berarti. Dina, teman sebangkunya, sudah beberapa kali mencoba bertanya, tapi Nayla selalu menjawab singkat. “Aku baik-baik aja.” Padahal, jelas-jelas ia tidak baik-baik saja. Matanya sembab, wajahnya pucat, dan tubuh
Last Updated : 2025-09-17 Read more