Aku kembali ke Rumah Pohon sebelum gelap.
Dan tidak ada siapa pun. Kosong, seperti tidak ditinggali seseorang.
Jadi, aku mengetuk dinding kayu. “Aku tahu kita butuh kode khusus agar kau tahu kalau yang masuk itu aku. Tapi pertama, kau bisa melihat ke luar dengan kamera pengawas. Nyalakan layar, kau bisa melihat apa pun. Kedua, Rumah Pohon punya kode akses. Kau harus tahu kode akses untuk masuk atau sengatan listrik bisa membunuhmu.”
Terdengar seruan dari ruang kerja. “Kenapa. Kau. Tidak. Mengatakan. Itu. Dari. Kemarin?” Suaranya terdengar semakin dekat, dan dia muncul dari balik pintu ruang kerja. “Idiot!”
“Sambutan yang baik.”
“Aku bosan!”
“Kecilkan suaramu.” Aku melempar tas—hampir ke ruang kerja, tetapi aku sadar kalau itu sudah jadi kamar Rena, jadi aku membuangnya ke sudut ruang tengah, membuatnya menabrak keras dinding kayu.
Rena menatapku. &ldqu
Akhir pekan, aku mengisi jam kerja yang kujanjikan pada Kakek.Lebih tepatnya, tengah malam, aku ke toko kelontong dan mendapati Louist berdiri di luar toko menatap bintang. Tidak biasanya tengah malam begini dia ada di toko kelontong, tetapi kupikirkan kalau aku juga begitu.“Mau menangis?” sapaku. “Lebih baik di pundak Laura.”Dia menoleh, mendapatiku. Dalam detik itu juga, dia menyipitkan matanya. “Orang idiot macam apa yang keluar hutan tengah malam?”“Tidak bisa tidur.” Aku berdiri di sampingnya. “Rindu masa lalu?”“Apa urusannya?”“Tumben sekali kau tidak di gudang kontainer bau asam itu. Jadi, mungkin kau mengingat masa lalu karena kita pernah melakukan ini. Melihat langit dan tidak bicara apa pun.”Dia terdiam selama beberapa saat, sampai akhirnya berkata, “Aku benci melankolis sepertimu.” Dia beranjak masuk ke toko, tet
Begitu malam tiba, aku kelupaan satu hal yang harus kulakukan.Rena mengetuk dinding kayu berulang kali, bahkan hampir meninjunya. Aku bersimpuh di depannya, tidak bisa berkata apa-apa.“Tidak bisakah kau memberitahuku kalau ingin pergi?” Nada suaranya seperti ingin meremasku habis-habisan. “Kau pernah membayangkan bagaimana aku tidak menemukanmu di mana-mana sementara tempat ini tidak punya sesuatu yang bisa membuatku terhubung denganmu? Kamera pengawas—”“Maaf.”“Kalau saja aku tidak melihat kamera pengawas,” sergahnya, tidak peduli ucapanku, “orang idiot macam apa yang tengah malam pergi ke hutan?”Itu persis seperti yang dikatakan Louist. “Maaf.”“Dengar, aku yakin kau sudah terbiasa melakukan itu, keluar tengah malam atau semacamnya, tapi tidak bisakah kau memikirkanku? Tidak bisakah kau sedikit berpikir ada yang mencemaskanmu karena dia tidak ingin terj
Hari Minggu. Lagi-lagi mengisi jam kerja yang kujanjikan pada Kakek.Namun, hari itu tidak seindah kemarin.Baru aku duduk di meja konter, Kakek muncul dari belakangku dengan aura mengerikan. Dia menatapku tajam, dengan sorot mata berkilat seperti akan membuatku remuk. Dan benar, dia menggeram.“Nak, di mana Rena Lockwood sekarang?”Aku langsung beranjak—tentu saja terkejut—tetapi masih bisa memasang sikap defensif dan natural. “Maksudnya?”“Kecelakaan di Distrik Lockwood hampir membunuhmu dan Louist. Orang yang kalian ikuti di sana. Rena Lockwood.”“Rena Lockwood tewas di tempat,” tegasku.“Tidak ada gunanya berbohong, Nak.” Dalam momen itu, dia terlihat begitu mengerikan seolah aku melihat wujudnya yang pernah menjadi penguasa Kawasan Normal—alasan mengapa dia disegani penduduk Kawasan Normal.“Siapa yang di Rumah Pohon sekarang?”
Butuh beberapa lama untuk menenangkan Rena. Aku tidak pernah melihat orang mengalami gangguan kecemasan, tetapi mungkin dulu aku terlihat seperti itu—ketika mengetahui kakakku benar-benar tak lagi di sampingku dan menyadari bahwa dirinya berubah menjadi hantu masa lalu yang menyuruhku balas dendam.Begitu bisa mengendalikan diri, Rena tertidur di kursi depan sehingga tidak perlu mendengar suara-suara yang membangkitkan kenangan buruknya. Perjalanan kami sebenarnya tidak mencapai tiga puluh menit. Hanya sekitar lima belas menit karena aku harus mencari jalur yang setidaknya mulus agar tidak membangunkan Rena. Belum lagi, dengan mobil, kau tidak bisa menembus jalan pintas.Jadi, kami tiba di toko kelontong jauh lebih lama dari yang kupikirkan.Dan begitu sampai, kesialan langsung menghampiri kami.Aku menutup mata Rena, lalu entah bagaimana caranya—yang kuingat, aku segera menariknya melewati pintu kasa, langsung membawanya ke rak alat man
Sebenarnya aku sudah curiga ketika Kakek dan Rena tidak keluar dari ruang belakang hampir satu jam penuh, tetapi aku terus meladeni Louist tentang siapa yang paling cepat mendapatkan satu ember penuh untuk pertandingan adu pancing minggu depan dan tidak terasa dua jam sudah berlalu.Aku terkejut, dengan segera berpikir kalau Rena akan membenci sekaligus menghilangkan kepercayaannya padaku. Aku mendobrak masuk (sebenarnya aku membuka pintu secara perlahan) dan langsung mendapati ruangan sangat gelap.Ruang belakang memang gelap, hanya ada cahaya remang-remang karena semua aliran listrik mengarah ke bagian depan—tetapi itu tidak cukup membutakan mataku yang melihat Kakek duduk di sisi ranjang gantung, tepat memandang Rena yang berbaring. Dari sudut ini, aku melihat Kakek seperti bersimpati.“Apa yang terjadi?” tuntutku.Kakek menoleh. Aku tidak mampu melihat ekspresinya karena gelap, tetapi telingaku cukup jelas mendengar: “Dia butuh
Begitu jam istirahat makan siang tiba, Regan Reeves muncul di kelasku. Dia berdiri di depan pintu, menghalangi jalan semua orang, lalu menemukanku dengan segera yang masih berada di tempat duduk. Jadi, dia menabrak orang-orang di pintu, berjalan dengan gaya penantang.Dan tiba-tiba dia sudah berdiri di depanku.Dia tidak terlihat akan menonjok karena kedua tangannya di saku. Dia justru mengedikkan kepala, seperti memerintah agar aku mengikutinya. Kalau dia pikir aku mau, maka dia benar. Aku perlu mengamankan posisi, dan cara tercepat adalah dengan melawan semua yang berniat melawan.Aku mengikuti langkahnya dari belakang, ketika dia menghalau sorot mata orang-orang yang menatap kami. Dia cukup tenang. Jalan dengan meletakkan sorot mengancam pada semua orang—yang cukup ampuh memberi jalan untuk kami. Dia mengajakku berjalan sampai Gedung Olahraga, tempat yang kupikir akan menjadi ring tinju baru untuk kami. Kami masuk, dan itu pertama kali aku melihat bagia
Saat itu aku sibuk menyiapkan daging panggang yang diberi Kakek, katanya tidak suka daging terbuang begitu saja. Jadi, aku membuat sejenis daging panggang dengan saus, dan hanya dengan itu, Rena menganga.“Kau bisa masak ini?”“Mungkin.”“Menyebalkan. Ini resepku!”“Stop. Buka mulutmu, dan coba saus ini.” Dia menggeleng. Katanya, “Pasti pedas. Kau suka jail.” Dan kubilang, “Kubuat tidak pedas. Makanya coba dulu.”Jadi, dia mencicipinya.Dan mengangguk-angguk. “Berikan padaku. Biar aku yang buat.” Selang sedetik, dia kesal. “Aku cuma memberitahumu sekali, tapi enak.”“Aku benci masak,” aku membela. “Tidak praktis.”“Dari mana kau tahu aku tidak suka pedas?” Dia menyodorkan sausnya, dan enak. “Dasar penguntit,” katanya.“Apa?” kataku. “Kau yang bilang sendiri.&rdq
Jam tiga pagi.Aku masuk ruang kerja, melihat Rena tertidur di balik selimut. Dia pernah mengomel karena mendapatiku tidak tertidur, jadi aku berusaha agar dia tidak tahu aku berada di ruang kerja selarut ini. Mungkin dia akan mengomel karena aku bisa masuk semudah itu, tetapi rasanya dia tidak akan semarah itu.Aku membuka laci meja kerja, lalu duduk. Cahaya remang-remang lampu sebenarnya tidak terlalu membantu untuk membaca, tetapi aku masih memahami beberapa baris kata. Hanya saja, ini berkas tiga tahun lalu, jadi tidak mengherankan kalau tulisannya sudah kabur atau kertasnya sendiri sudah sangat lecek.Sebenarnya hanya beberapa surat kabar.Soal kecelakaan Redie Lockwood.Beberapa jam terakhir, tentunya setelah Rena tidur, aku memutar rekaman kecelakaan Rena dan—entahlah, aku tidak bisa memikirkan apa pun dari rekaman itu. Diambil tepat di persimpangan yang jelas merekam adegan tumbukan lenting sempurna dari kedua mobil. Mobil Bu Hiroko j