"Sudah kau antar pulang, Yud?"
Yudha yang baru saja turun dari mobil hanya tersenyum dan mengangguk, melangkah masuk ke dalam rumah, menghampiri Ningsih yang berdiri menantinya di depan pintu."Aman, kan? Nggak kamu apa-apain anak orang, kan, Yud?" Tanya Ningsih penuh selidik pada pada anak lelakinya itu.Mata Yudha sontak terbelalak. Apa ibunya bilang? Memang Yudha hendak mengapakan Karina? Kalau mau sih Yudha ingin membawanya masuk ke dalam kamar dan .... Ah! Jangan, Yud! Jangan! Tidak boleh dia lakukan tindakan nekat itu.Yudha menghela napas panjang, "Memangnya mau Yudha apain sih, Bu? Kalau mau sudah dari dulu-dulu Yudha apa-apain." Jawab Yudha santai lalu meraih tangan ibunya, mencium punggung telapak tangan itu dengan penuh hormat.Tangan yang Yudha cium tiba-tiba melayang menarik telinga Yudha dengan gemas. Hal yang langsung membuat Yudha berteriak-teriak kesakitan."Apa? Disuruh kawin dari kemaren-kemaren katanya noKarina menggeliat, tubuh kekar itu menindihnya di atas ranjang. Tangan itu mengunci kedua tangan Karina di atas kepala, sementara bibir lelaki itu ... Karina hampir gila dibuatnya! Bibir Yudha dengan begitu sensual menyusuri telinga, leher hingga dada Karin. Beberapa kali bibir itu memagut bibir Karina dengan begitu liar. Seperti saat ini, bibir Yudha melumat bibirnya dengan sangat lembut. Membuat napas Karina terengah karena ciuman itu begitu posesif dan seolah tidak mau melepaskan Karina. Karina menghela napas panjang ketika bibir itu akhirnya terlepas. Mata mereka beradu, tatapan berkabut penuh gairah itu terpancar dari masing-masing mereka. "Sekarang, Rin?" Suara itu begitu lembut, seksi dan entah apa lagi, suara yang membuat Karina terpukau dan hanya mengangguk perlahan. Tampak olehnya senyum itu mengembang dia melepaskan tangannya yang mengunci tangan Karina, satu tangannya terulur ke bawa tubuh dan tidak perlu waktu lama benda hangat dan besar itu menyapa
Suasana kedai itu tidak terlalu ramai pagi ini. Kedai dimsum dan bubur ayam yang terkenal enak seantero kota. Kedai itu begitu bersih, rapi dan terletak tepat di tepi jalan yang aksesnya cukup mudah meskipun agak sulit mendapatkan tempat parkir, terlebih untuk yang membawa mobil macam Yudha begini. Dan di kedai itulah Yudha duduk saling berhadapan dengan Karina di salah satu meja. Sibuk dengan semangkuk bubur masing-masing. Bubur yang entah mengapa mereka bisa begitu kompak mengaduk rata bubur mereka. "Kamu begadang? Matamu berkantung macam itu." Tanya Yudha sambil memperhatikan wajah itu dengan seksama. Karina menghentikan tangannya yang hendak menyuap bubur ke dalam mulut. Ia mengangkat wajah, membalas tatapan Yudha yang memperhatikan wajahnya sejak tadi. "Nggak bisa tidur!" Jawab Karina singkat lalu kembali menyuapkan buburnya. "Nonton drakor?" Tuduh Yudha yang masih menatap wajah itu lekat-lekat. Dia tidak suka dengan kantung mata itu! Mer
"Heeehh!" Yudha menarik tangan Karina ketika ia selesai menurunkan koper dan gadis itu melenggang pergi tanpa sepatah kata apapun. "Apaan lagi sih, Dok?" Terlihat sangat sosok itu begitu kesal kepadanya, wajah menggemaskan itu mencebik, membuat Yudha gemas setengah mati. "Salim dulu!" Yudha melepaskan cengkeraman tangannya, menaikkan tangan itu sampai ke depan muka Karina. Gadis itu melongo, menatap Yudha dengan mata membulat dan bibir setengah terbuka. Bibir merona yang membuat Yudha rasanya ingin meraup bibir itu dan melumatnya dengan ganas. Karina lantas meraih tangan Yudha dengan kasar, mengecup punggung telapak tangan Yudha secepat kilat lalu membalikkan badan melangkah masuk ke bandara tanpa berkata-kata lagi. Tawa Yudha sontak pecah, ia tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala melihat punggung yang lambat laun melangkah pergi. Sejenak Yudha menatap punggung telapak tangan yang tadi Karina cium, kenapa rasanya bibir karena seperti menja
Karina menatap nanar bangunan rumah mewah yang sudah lama sekali tidak Karina kunjungi. Setelah resmi lolos seleksi dan menjadi seorang medical student, Karina hanya pulang ke rumah ini ketika liburan semester tiba, lainnya akan dia habiskan di kamar kost nyaman yang Karina sewa selama menjalani pre-klinik. Karina menghela napas panjang. Jam segini bisa dipastikan di rumah hanya ada asisten rumah tangga dan security rumah. Mama dan papa tentu masih sibuk bergelut dengan penyakit-penyakit dan pasien mereka. Karina menyeret kopernya, bahkan sebelum dia buka suara meminta di bukakan pintu gerbang, sosok itu sudah berlari dan membuka gerbang rumah untuknya. "Astaga, Non! Kok udah main sampai saja? Kenapa nggak nelpon Mang Asep? Kan tadi bisa Mang Asep jemput atuh!"Karina hanya tersenyum, "Nggak usah repot-repot, Mang. Sepi ya?" Karina masuk ke dalam, membiarkan Mang Asep menutup gerbang, Karina sontak menarik kopernya menjauh dari Kekaisaran paruh baya itu. Trauma ak
"Rin ... Sayang, bangun dong! Kamu sampai jam berapa tadi, kenapa nggak kabarin Mama, Rin?"Panggilan dan guncangan itu membuat Karina mengerjapkan matanya, berusaha membuka matanya yang masih saja terasa berat. Tidurnya benar-benar tidak nyaman semenjak mimpi 'panas' itu terus menerus menganggu dirinya. Karina tahu betul itu suara sang mama dan Karina sudah begitu rindu, ia lantas segera bangkit dengan mata yang masih setengah terpejam itu Karina menjatuhkan diri ke dalam pelukan sang mama. Ia benar-benar sudah sangat rindu! "Kangen!" Desis Karina lirih dengan suara tertahan. Dewi tersenyum, mengelus lembut kepala Karina yang dia sandarkan di dadanya. Mata Dewi memerah, bukan hanya Karina, dia sendiri juga sudah begitu rindu pada anak bungsunya ini. "Mama juga kangen banget sama kamu, Sayang! Selamatnya akhirnya bulan depan sudah sah S. Ked!" Dewi mempererat pelukannya. Air mata Dewi menitik, begitu bangga dan bahagia dengan kelulusan sang pu
"Loh! Kok jadi gara-gara aku sih, Rin?"Suara itu memekik di tengah tawa yang terdengar begitu menyebalkan di telinga Karina itu. Dasar temen nggak ada akhlak! Pasti dia tengah terbahak-bahak di kasur sambil guling-guling saat ini. Karina memutar bola mata dengan gemas, gara-gara Heni, Karina bisa jadi seperti ini! "Ya iyalah! Sejak kamu mulai nyerempet bahas mesum-mesum, aku ngimpi jelek terus, Hen! Bayangin kalo aku tiap merem, bayangan itu terus datang dan bikin aku nggak bisa tidur!" Kembali Karina mengomel, heran dia! Darimana Heni punya pikiran macam itu? Dia tampak polos dan tidak neko-neko! Karina sama sekali tidak menyangka bahwa di balik wajah polos itu tersimpan pikiran mesum yang tidak terkira! "Loh, aku ngomong apa adanya, Rin! Orang kalo habis nikah pasti gituan, kan? Kita belajar teori dari mana perempuan bisa hamil. Bagaimana pembuahan itu bisa terjadi? Oogenesis, spermatogenesis, ovulasi, mereka nggak bakalan bisa jadi zygot kalau nggak
"Pa ... Ma, Karina pengen ngomong penting nih." Sendok dan garpu itu sudah Karina letakkan di piringnya yang kosong, matanya menatap bergantian sang mama dan sang papa yang juga sudah selesai makan. Nampak Dewi dan Ahmad kompak menatap Karina dari kursi mereka duduk. Ahmad menarik selembar tisu, menyeka mulutnya lalu menatap Karina dengan begitu serius. "Nah, katakan kalau begitu, Rin!" Titahnya lalu meraih gelas berisi air putih. Karina menghirup napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak lalu mulai bersuara. "Karin ... Karin pengen nikah, Ma ... Pah!""Uhuukk ... Uhuk!" Ahmad tersedak air yang memenuhi mulutnya, sementara Dewi terdekat dengan mulut setengah terbuka menatap Karina yang nampak takut-takut itu. Mereka kemudian kompak menatap Karina dengan tatapan terkejut, membuat Karina nyengir dengan jantung berdegup dua kali lebih cepat. "NIKAH, RIN? KAMU PENGEN NIKAH?" Dewi dan Ahmad kompak berteriak, wajah mereka masih syok, membu
"Kalian sudah lama kenal?" Ahmad membuka pembicaraan, dia duduk di sebelah Dewi sementara Karina duduk di hadapan mereka seorang diri. Karina menelan ludah, sudah lama kenal? Tentu Karina sudah mengenal sosok Yudha Anggara Yudhistira sejak dia masuk pre-klinik. Menjadi mahasiswi lelaki menyebalkan itu bagaimana bisa Karina tidak mengenal Yudha?Jadi tentu jawaban dari pertanyaan itu adalah 'iya', bukan? Karina nyengir, berusaha mengusir semua perasaan takutnya, kepalanya mengangguk perlahan, menjawab pertanyaan yang Ahmad tanyakan. "Sejak kapan sih, Rin, kamu sukanya sama om-om begitu? Kamu sama Bang Kefas aja cuma selisih sepuluh tahun. Sama Bang Kelvin selisih lima tahun, ini kamu sama pacar kamu selisihnya tiga belas tahun?" Dewi masih belum terima, sementara Ahmad masih begitu tenang. "Nggak masalah sih sebenernya selisih usia yang jauh, Ma." Jawab Ahmad yang kini mulai memberi tanda-tanda hendak mengambil alih semua pembicaraan. "Dia ini duda atau--.""Masih lajang, Pa! Bukan d