Menikahi Karina adalah sebuah keputusan kepepet yang Yudha ambil karena dia tidak mau jika harus dijodohkan dengan wanita pilihan sang ibu. Menikahi Yudha yang merupakan dosen killer yang selalu ribut dengan dirinya, adalah sebuah kesialan buah sumpah yang Karina ucapkan hari itu. "Siapapun yang menemukan flashdisk dan kasih balik ke aku, kalau perempuan aku jadikan dia saudara, kalau laki-laki bakal aku jadikan dia suami!" -Karina Destinna Pertiwi- "Setelah sidang, saya tunggu diruangan saya untuk membahas kapan saya bisa kerumah mu untuk melamar. Kebetulan saya sedang butuh isteri!" -dr. Yudha Anggara Yudhistira, Sp. B- Cover by : @reistyaa
view more“Mau sampai kapan sih, Yud? Kamu sudah tiga puluh lima tahun.”
Yudha yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya itu sontak menghela napas panjang, meletakkan kembali sendok berisi nasi ke atas piring dan menatap ibunya dengan saksama. Ningsih yang ditatap sedemikian serius oleh sang anak pun membalas tatapan itu, netra mereka beradu untuk sepersekian detik, hingga kemudian Yudha yang mengalah dan menundukkan kepalanya.
“Kariermu sudah oke banget. Dokter iya, dosen iya, terus kamu mau cari apa lagi sih?”
Yudha membisu, dia tahu betul sia-sia berdebat melawan ibunya dalam kondisi seperti ini. Semuanya akan dilibas wanita paruh baya itu dengan begitu mudah dan Yudha? Tentu akan kalah telak!
“Mau cari calon yang kayak siapa? Maudy Ayunda? Atau Mikha Tambayong? Apa malah yang kayak Cinta Laura?” Ningsih melirik Yudha yang tampak jemu itu. “Kalau yang kamu bidik mereka, harusnya kamu jadi pengusaha saja, jangan jadi dokter.”
“Bu ....” Yudha akhirnya bersuara. “Tujuan Ibu kesini cuma buat terus nekan Yudha biar nikah?”
Ningsih meletakkan pisau rotinya, ditatapnya anak bungsunya itu dengan saksama. “Ya jelaslah! Kamu itu ya, kenapa sih nggak das-des cari jodoh? Masih mau cari apa lagi sih, Yud? Rumah segede gini, mobil ada dua di garasi, karier cemerlang, pasien banyak. Lantas kamu masih mau cari apa?” Suara Ningsih mulai melengking, membuat Yudha auto sakit kepala.
“Nggak malu sama anak-anak kemarin sore pada udah nikah, punya anak? Kamu yang sudah mau kepala empat malah pacar aja nggak punya. Kamu nggak punya penyimpangan seksual, kan Yud?”
Sontak Yudha melotot, ia menatap gemas pada sang ibu. Penyimpangan seksual? Yang benar saja! Dia masih doyan wanita! Yudha meneguk isi gelasnya, lalu memijit keningnya perlahan-lahan. Selalu begini, tiap ibunya mengunjungi dirinya di Solo, selalu keributan macam ini yang terjadi. Membuat Yudha selalu sakit kepala berkepanjangan.
“Yudha normal, Bu. Masih doyan cewek.”
“Nah, makanya itu! Kamu emang nggak kebelet kawin apa? Nggak pengen ngerasain kawin itu kayak gimana rasanya? Heran Ibu sama kamu, Yud!” Kembali Ningsih mengoceh, membuat Yudha rasanya ingin kabur melarikan diri dari meja makan saat ini juga.
“Nggak sayang apa dulu yang sunat? Sampai sekarang burungnya malah kamu anggurin nggak dipakai.”
Yudha yang mencoba kembali fokus sarapan sontak tersedak nasi yang memenuhi mulutnya. Sebuah insiden yang makin membuat Ningsih mengomel panjang-lebar.
“Nah, gitu aja keselek. Makanya cari bini biar kamu ada yang ngurusin. Kelamaan jomblo sih,” omel Ningsih sambil menyodorkan gelas miliknya yang masih penuh.
Yudha meneguk gelas itu hingga isinya kandas. Ia segera meletakkan gelas itu dan menatap sang ibu dengan mata membulat.
“Bu, korelasinya keselek, jomblo sama punya istri itu apa sih, Bu? Emang orang keselek itu tanda kalau dia sudah harus nikah?” Yudha benar-benar tidak mengerti.
Sebagai anak, ia tentu akan sangat merindukan sang ibu, terlebih sekarang mereka tinggal di beda kota. Tetapi kalau tiap datang ke sini mengunjungi dirinya selalu hal ini yang dipermasalahkan dan diributkan oleh Ningsih, rasanya Yudha tidak sanggup.
“Lagian Yudha sunat itu wajib, kan, Bu, sesuai ajaran agama? Di dunia medis juga dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Nggak melulu orang sunat itu terus cuma buat kawin aja tujuannya.” Gerutu Yudha dengan wajah memerah.
“Ya rugi sakit-sakit sunat kalau burungnya nggak dipakai kawin.”
Yudha menggelengkan kepalanya dengan gemas, rasanya ia sudah menyerah menghadapi ibunya ini.
“Bu, tapi kan--.”
“Dah begini aja,” potong Ningsih cepat. “Ibu kasih kamu waktu satu bulan buat bawa calon istri kamu ke Ibu. Kalau sampai satu bulan kamu nggak bawain calon ke rumah, ibu nikahin kamu sama Tere.”
Kembali mata Yudha terbelalak, Tere? Tere siapa? Jangan bilang kalau ....
“Tere anaknya Pak Kadus itu? Yang suka ingusan sampai ingusnya seijo lumut?” Hampir Yudha berteriak. Gila aja!
“Sekarang dia cantik, udah nggak ingusan lagi,” tukas Ningsih sambil tersenyum jahil.
“DIA UMUR BERAPA, BU?” Kini Yudha berteriak. Pasalnya bocah itu lahir ketika Yudha lulus SMA.
“Tujuh belas tahun.” jawab Ningsih santai.
“TUJUH BELAS TAHUN?” Yudha sontak lemas. Pria matang dan mapan seperti dia harus menikahi bocah 17 tahun? Astaga, apakah tidak ada calon lain yang lebih potensial untuk menyandang gelar sebagai nyonya Yudha Anggara Yudhistira?
“Pokoknya Ibu nggak mau tahu! Bulan depan bawa calonmu ke rumah! Bulan berikutnya biar Ibu lamarkan dia dan bulan depannya lagi kamu sudah harus nikah. TITIK.”
Yudha kembali membelalakkan matanya, “APA?”
***
Yudha membawa mobilnya dengan sedikit gusar. Menikahi Tere? Mimpi apa Yudha semalam sampai dia harus menikahi bocah kemarin sore macam Tere itu? Yudha bukan hanya seorang dokter bedah, melainkan juga seorang dosen di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri yang ada di kota ini. Dan dia harus menikahi gadis macam Tere itu? Ya ampun!
“Dikira cari istri itu cuma tinggal comot doang? Ya ampun, Bu ... Bu ...,” Yudha mendesis kesal, dia dalam perjalanan ke kampus, ada kuliah pagi sebelum dia harus praktik di rumah sakit.
Menikah.
Siapa sih yang tidak ingin menikah? Hanya saja berkali-kali gagal menjalin hubungan membuat Yudha menyerah dan tidak ingin membuang waktunya dengan percuma. Hal yang kemudian membuat Yudha lebih asyik kembali sekolah dan fokus pada karier.
Dan tahun ini, dia sudah genap 35 tahun. Sebuah angka yang membuat Ningsih, sang ibu, kelabakan karena sampai detik ini tidak pernah Yudha menceritakan jika ia tengah dekat dengan wanita, suka terhadap wanita.
“Cari bini di mana, ya Allah?” desisnya frustrasi.
Sebenarnya banyak kok yang mau dengan sosok dokter bedah satu itu. Postur tinggi-tegap dengan rahang kokoh, hidung mancung dan kulit putih membuat pesona Yudha hampir mirip aktor-aktor Korea yang bermain di Hospital Playlist. Para mahasiswi baik di kampus maupun di rumah sakit selalu bersemangat ketika sosok ini mengajar, tidak peduli Yudha begitu killer dan judes, di mata para mahasiswi itu Yudha bagaikan perwujudan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani dan Arjuna dalam mitologi Mahabharata.
Namun Yudha cenderung cuek dan abai pada setiap mata yang memandang dan berharap bisa lebih dekat dengan dirinya. Ia sudah kehilangan gairahnya menjalin hubungan dengan lawan jenis. Fokusnya hanya pada karier, pasien dan penelitian-penelitiannya.
“Sama dokter internship ... nggak ada yang cocok.”
“Dokter definitif ... sudah punya anak semua yang cewek.”
“Dokter residen ... nggak ada yang menarik.”
Yudha baru sadar, selama ini dia bahkan tidak punya waktu untuk sekadar menatap dan memperhatikan wanita-wanita di sekelilingnya.
“Ya Allah ... jodohnya Yudha kemana sih ya Allah?”
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments