Karina sudah duduk di jok yang ada tepat di sebelah sosok itu. Nampak Yudha yang kini memakai hem lengan panjang warna abu dan celana bahan, membawa mobilnya melintasi jalanan Jakarta yang cukup padat. Papanya sudah memberi titah, meminta agar Yudha diantar menemui dirinya di rumah sakit untuk kemudian bicara banyak hal sekalian makan siang.
Firasat Karina tidak enak, jangan-jangan sang papa akan setuju dan memberi ACC mereka menikah? Tidak! Karina tidak mau!Tapi daripada nanti dihamili dulu, bukankah lebih baik mereka memang menikah? Toh mereka sudah buat perjanjian, Karina akan aman sampai nanti waktunya dia meminta cerai."Tumben diem, sariawan?"Karina menoleh, mengerucutkan bibirnya sambil bersandar malas di mobil. Katanya Yudha selalu pusing yang berujung hipertensi kalau dengar dia ngoceh, kenapa sekarang Karina diam, Yudha bingung?"Ntar kalo saya ngomong Dokter sakit kepala lagi!" Jawab Karina apa adanya.Dari suduKarina menatap nanar lelaki yang tengah nyengir lebar ke arahnya itu. Nampak gigi putih dan rapi miliknya terlihat begitu indah berpadu dengan senyumannya. Apa tadi dia bilang? Seret? Ah ... sedetik kemudian Karina menyesal sudah menyentuh dan menarik tangan lelaki menyebalkan ini! Karina bergidik, segera lari masuk ke dalam lift begitu pintu lfit terbuka. Yudha melangkah masuk, berdiri tepat di sisi Karina dengan jarak yang begitu dekat, membuat perpaduan aroma lavender, jeruk dan lemon kembali memanjakan indra penciuman Karina. Karina sendiri heran, parfum apa yang lelaki ini pakai? Kenapa baunya bisa seenak ini? Mungkin kalau tidak ilfeel setengah mati dengan si pemakai parfum, Karina ingin berada terus di dekatnya. Tapi masalahnya, tiap dekat dengan Yudha, kepala Karina bisa dipastikan auto pusing! Tidak peduli seenak ini bau parfum yang menguar dari tubuhnya. Tidak ada percakapan yang terjadi sampai kemudian pintu lift kembali terbuka. Secepat kilat Karina melan
Yudha tidak peduli dengan penolakan keras Karina dan bagaimana masamnya wajah gadis itu ketika dia menggenggam dan menarik Karina keluar dari ruangan. Yang jelas, entah mengapa ketika tangannya mengenggam tangan Karina seperti ini, rasanya begitu lain dan damai.Tangan itu cukup mungil, sangat kecil malah jika dibandingkan dengan telapak tangannya yang besar. Ya ... sepadanlah dengan postur tubuh Karina yang mungil menggemaskan. Yudha mencengkeram tangan itu dengan sedikit kuat, tidak mau buruannya lepas begitu saja.Dengan langkah santai ia melewati antrian pasien, tidak dia hiraukan tatapan mereka yang nampak dia dan Karina dengan tatapan menyelidik. Langkah Yudha terus menuju sosok itu, lelaki paruh baya dengan snelli lengan panjang yang nampak tengah berbincang dengan sesama sejawatnya.“Nah ini anak gadisku, Gung. Alhamdulilah sudah beres skripsi tinggal nunggu wisuda lalu lanjut koas.”Yudha segera melepaskan tangan Karina, tidak s
Suasana resto itu cukup sepi, memang restoran yang Karina datangi sekarang bersama dua lelaki ini termasuk dalam restoran ekslusif dan mewah. Tidak heran suasananya tidak begitu ramai. Begitu privasi dan itu makin membuat Karina tidak karu-karuan. Meja itu begitu besar, cukup untuk sepuluh orang tetapi hanya terisi tiga. Sebuah setting tempat yang cukup biasa untuk restoran ini karena dia memang di desain untuk acara pernikahan. Restoran yang mencangkup convention privat bagi beberapa orang yang ingin pestanya begitu privasi dan intim. "Nak Yudha serius mau ngajak Karina nikah?" Tanya Ahmad yang hampir saja membuat Karina tersedak nasi dalam mulutnya. Yudha yang tengah mengaduk nasi di atas piring sontak menengadahkan wajah, menatap Ahmad dengan tatapan serius. "Tentu, Prof. Saya sangat serius." Jawabnya mantap yang mampu membuat Karina tertegun di tempatnya duduk. "Karina itu manja setengah mati loh! Maklum anak bungsu mana cewek se
“Dok, serius!” Karina kini merengek, memohon agar Yudha mau berbaik hati menceritakan kepadanya perihal apa-apa saja yang akan dia lakukan bersama sang papa.“Iya saya juga serius, Karin.” Yudha tersenyum, ia membawa mobil milik kakak nomor 2 Karina itu kembali menuju rumah.Karina mencebik, kenapa sulit sekali mengajak lelaki ini bekerja sama? Apa susahnya sih menceritakan kemana mereka akan pergi? Apa yang hendak mereka lakukan? Tinggal mengirim pesan pada Karina, semua beres, bukan?Yudha nampak begitu tenang, masih sangat tenang setelah mengantarkan ayah Karina kembali ke rumah sakit. Setelah mereka selesai bicara panjang lebar dan makan siang. Sementara, Karina sendiri risau dan sangat penasaran dengan apa yang hendak papanya lakukan.“Pengen banget sih tahu? Saya dapat kompensasi apa kalau mau berkerja sama dengan kamu, Rin?” tanya Yudha ketika Karina hanya diam membisu.Karina melotot. Kompensasi? Bisa-bis
“Paaa ... Karin mau ikut!” rengek Karina saat sang papa ketika mereka sudah bersiap hendak ke bandara.Setelah makan malam berempat, Ahmad segera bersiap-siap untuk pergi berdua dengan Yudha, semuanya sudah disiapkan termasuk mobil. Mereka tinggal membawanya ke bandara dan take off bersama pesawat yang sudah Ahmad siapkan tiketnya. Ahmad tersenyum, mengacak rambut Karina dengan begitu gemas. “Kau mau duduk di mana kalau ikut? Di sayap pesawat?” goda Ahmad sambil tersenyum, membuat Karina mengerucutkan bibirnya dengan kesal. “Aaaa Papa!” tentu Karina tidak ingin diam saja dengan rasa penasaran yang menyiksanya.“Sudah, kan tadi papa sudah bilang kamu di rumah aja, kangen-kangenan sama mama. Oke?” kembali Ahmad tersenyum, menoleh ke arah Yudha yang langsung paham apa maksud dari tatapan itu.Yudha melangkah mendekati Dewi mengulurkan tangan guna berpamitan pada nyonya rumah yang sudah menyambut kedatangannya dengan begitu hangat dan ramah.“Dokter Dewi, saya mo
Gunung Lawu yang memiliki ketinggian 3.265 mdpl masuk dalam 100 gunung tertinggi di dunia, menempati posisi 76 dunia. Dia terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjulang tinggi dengan segala macam pemandangan hijau khas pegunungan yang begitu sejuk dan asri di kakinya. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam lamanya, kini Yudha dan Ahmad sudah berdiri di depan gerbang Cemoro Sewu dengan carrier super besar yang sudah bertengger di pundak. Jaket tebal lengkap dengan segala perlengkapan lain tidak ketinggalan. Ahmad benar-benar sudah mempersiapkan semuanya dengan baik dan terencana. "Kita akan naik lewat sini, Yud. Ini jalur terpendek dan termudah." Gumam Ahmad dengan senyum merekah. "Nggak salah saya pilih Lawu, meskipun tinggi, jalur pendakiannya mudah. Cukup aman dan membantu untuk yang baru pertama kali naik kayak kamu."Yudha hanya nyengir lebar, tidak salah, kan, kalau dia belum pernah naik gunung? Ini benar-benar akan
Yudha terus melangkahkan kaki, beberapa kali ia tampak asyik mengobrol baik dengan Ahmad atau beberapa teman baru yang mereka dapatkan ketika di pos 1. Hati Yudha entah mengapa terasa begitu tenang semenjak ia mulai terbiasa terus melangkah menaiki jalur pendakian tidak peduli sebenarnya ini adalah kali pertama Yudha melakukan kegiatan se ekstrim ini. Tidak ada telepon yang menganggu, tidak ada operasi yang terkadang membuat saraf otaknya tegang ... Yudha seperti berada di dunia lain yang begitu menenangkan jiwanya. Mereka sudah hampir sampai! Kata Ahmad, Sendang Drajat sudah tinggal di depan. Sendang atau mata air yang banyak orang percaya dapat mengabulkan semua keinginan, memberikan mukjizat bagi siapapun yang meminum airnya. Air yang meskipun terus menerus diambil, tetapi tidak pernah kering bahkan di musim kemarau. Ada lagi danau gunung di kawah tua menjelang pos terakhir menuju puncak. Konon siapapun yang mandi berendam di tempat ini dan
"Ketika kita hiking, kita bakalan dapat teman baru di sepanjang perjalanan, Yud. Sama dengan berkeluarga, kamu akan dapat keluarga baru dari pihak istri. Tugas kalian tentu membuat mereka tetap harus kompak apapun perbedaan dan apapun yg terjadi. Kalau naik gunung, semua harus kompak demi bisa sampai di puncak. Kalau orang berumah tangga, semua demi hidup damai dan bahagia. Penting itu, Yud."Yudha kembali menyimak dengan serius, agaknya wejangan dari papa Karina tidak bisa dilewatkan dan diabaikan begitu saja. "Orang naik gunung itu harus dengan hati yang yakin, Yud! Sama seperti kuat mental tadi, kalau dia sendiri tidak yakin, maka sampai kapanpun mereka tidak akan bisa sampai pucak. Begitu pula dengan menikah, harus dengan hati yang yakin, tidak hanya setengah hati."Ahmad kembali menoleh, membuat Yudha pun balas menoleh dan menatap mata bersorot terduh itu. Bisa Yudha rasakan, aura positif menguar begitu kuat dari diri Ahmad. Sungguh sosok yang begitu luar biasa me