Karina menatap gelisah pintu ruangan itu. Beberapa mahasiswa menatapnya sambil berbisik-bisik. Tentu tanpa perlu mendengarkan apa yang tengah mereka bisikkan, Karina sudah tahu mereka tengah membicarakan dirinya perihal nasib sial yang harus dia terima akibat sembarangan mengucap sumpah beberapa jam yang lalu.
Ia sudah selesai sidang skripsi, dan sesuai yang sudah tadi sosok itu bicarakan, Karina hendak membicarakan hal itu. Membicarakan sumpahnya, ah tidak ... Lebih tepatnya hendak memohon sosok itu agar tidak menganggap semua tadi serius.
Karina hendak melangkah masuk ketika suara langkah kaki itu memaksanya menoleh. Sosok itu -dokter Yudha- tampak melangkah dengan penuh percaya diri dan begitu gagah. Membuat Karina tertegun sesaat karena baru menyadari bahwa sosok itu luar biasa mempesona.
"Cari saya?" Tanya sosok itu sambil tersenyum.
'Iya lah cari kamu, memang siapa lagi?' Karina mengumpat dalam hati, hanya berani di dalam hati karena jujur sekarang ia sama sekali tidak bisa berkutik untuk melawan sosok itu seperti apa yang selama ini dia lakukan.
"Iya, Dokter."
Kembali senyum itu merekah, "Sudah selesai sidang?"
"Sudah, Dokter."
Kini wajah tampan dengan rahang kokoh itu mengangguk, "Mari ikut saya!"
Pintu ruangan itu dia buka, tampak dokter Yudha menahan pintu itu sesaat, sebuah tindakan sederhana yang mampu membuat Karina terkejut. Ia bergegas melangkah masuk melewati pintu, diikuti sosok itu yang lantas melangkah mendahuluinya.
"Silahkan duduk!" Ujar sosok itu sambil meletakkan beberapa buku tebal itu di meja. "Jadi kapan saya bisa ke rumah?"
Karina menelan ludahnya dengan susah payah. "Dokter serius mau ke rumah?"
"Kamu pikir laki-laki hampir kepala empat seperti saya ini masih suka main-main apa?" Yudha menatap mata itu dengan seksama, menampilkan wajah datar namun serius, yang mana makin membuat Kirana makin tidak berkutik.
"Ta-tapi Dok, sa-saya tadi cum--."
"Kamu tadi bawa-bawa nama Tuhan dan sekarang mau bilang kalau kamu tadi cuma bercanda?" Potong sosok itu cepat, "Saya tidak mau tahu! Saya akan kerumah melamar mu bulan depan itu juga!"
Mata Karina terbelalak, bulan depan? Dosen killer menyebalkan itu hendak melamarnya bulan depan? Yang benar saja!
"Dok, menikah itu, kan, nggak main-main, Dokter. Dan masa iya Dokter mau asal nikahin saya begitu saja?" Karina memprotes, masih mencoba melepaskan diri dari jerat sumpah yang tadi meluncur begitu kurang ajar dari mulutnya sendiri.
"Saya tahu. Siapa yang bilang saya main-main? Saya mau seriusan nikahin kamu. Mau resepsi model apa besok? Bilang saja!" Tukas Yudha tidak menyerah.
Keringat dingin mengucur dari dahi Karina, dia benar-benar sudah terjepit! Laki-laki di depannya ini sama sekali tidak menampakkan tanda bahwa dia main-main. Dia serius, dan itu langsung membuat Karina sakit kepala.
"Dok ... tapi, kan, orang menikah itu nggak bisa asal nikah, Dok. Harus ada cinta, kan?" Karina terus berusaha, punya suami macam dokter Yudha gini? Jadi mahasiswinya saja sudah bikin Karina sakit kepala, apalagi jadi istrinya?
"Gampang! Kamu tinggal jatuh cinta aja sama saya, selesai!"
Kembali mata Karina melotot, rasanya ia ingin melempar Sobotta yang tergeletak di meja miliknya. Tinggal jatuh cinta saja sama saya? Sumpah ini orang otaknya sudah geser!
Karina melongo, rasanya ia ingin kabur dengan jurus menghilang saat ini juga, namun sayang dia tidak mempelajari ilmu shunshin no jutsu dari desa Konoha. Membuat Karina menyesal setengah mati tidak belajar jurus itu!
"Dok ... Dokter sehat?" Entah setan dari mana, yang jelas malah kalimat itu yang keluar dari mulut Karina, membuat sosok itu kontan mendelik dan mendekatkan wajahnya ke Karina.
"Atas dasar apa kamu memvonis saya tidak sehat, Rin?" Wajah mereka meskipun masih dalam jarak lumayan jauh tetapi kali ini merupakan rekor dimana Karina bisa menatap wajah itu begitu dekat.
Ah ... Kenapa Karina mendadak jadi takikardi? Wajah itu ... Sialan! Kenapa ganteng banget sih?
"Ma-maaf, Dok!" Karina menundukkan wajahnya, tidak berani dan tidak kuat menatap wajah itu terlalu lama. Takut meleleh dia.
Sosok itu menarik wajahnya, merogoh saku dan menyodorkan ponsel itu ke arah Karina.
"Saya butuh nomor kamu, buat bahas rencana baik kita selanjutnya, Rin."
Dengan tangan bergetar, Karina menerima ponsel itu, mengetik nomor ponsel nya di sana. Apes! Jadi dia sama sekali tidak bisa berkelit lagi? Jadi Karina harus pasrah dinikahi oleh sosok itu?
Kenapa juga tadi dia pakai mengucapkan sumpah gila macam tadi? Sekarang dia dengan begitu sialnya harus merealisasikan buah dari sumpah sembarangan yang keluar dari mulutnya. Sungguh sialan!
"Ini bukan nomor tukang sedot WC, kan?" Tatap dokter Yudha dengan tatapan menyelidik.
Sontak mata Karina membuat. Nomor tukang sedot WC? Itu nomor ponsel Karina, dan seenaknya saja dikira nomor tukang sedot WC? Rasanya tangan Karina ingin melayang guna menampar pipi laki-laki yang hendak melamarnya itu.
"Itu nomor saya, Dokter!" Jelas Karin dengan wajah cemberut.
"Ok, saya miscall. Tolong diangkat!" Tampak sosok itu menekan layar ponsel, mendekatkan benda itu ke telinga.
Selang beberapa detik, panggilan masuk itu berdering, membuat Karina sontak membuka tas dan meraih ponselnya. Ia menerima panggilan itu dan menyodorkan ponselnya pada sosok dosen jutek musuh bebuyutan Karina di kampus.
"Tunggu!" Benda itu direbut dari tangan Karina, lantas dokter bedah itu memperlihatkan apa yang ada di layar. "Kontak saya kamu beri nama Dosen Rese? Serese apa saya di matamu?"
Kembali Karin memucat! Ia baru ingat bahwa dia sudah menyimpan kontak sosok jauh-jauh hari. Bukan apa-apa, hanya untuk kepentingan kalau sewaktu-waktu Karin butuh untuk mengumpulkan tugas.
Karina menundukkan wajahnya, sial sekali dia ini? Kenapa dia harus selalu berurusan dengan laki-laki menyebalkan ini? Kenapa harus dia yang tadi menemukan flashdisk milik Karina? Kenapa harus ...
"Nih, jangan diganti-ganti!"
Karina menerima ponsel itu dari tangan dokter Yudha, matanya terbelalak membaca nama kontak yang sudah diganti itu.
'My Lovely Husband?'
Karin menatap nanar sosok itu. Kepalanya tampak baik-baik saja, tapi tidak menutup kemungkinan dia habis terbentur, bukan? Benturan apa yang lantas membuat dia berubah macam ini? Dia masih waras, kan?
"Saya tunggu kabar kapan saya bisa ke rumah, saya mau ketemu papamu." Tampak ia memasukkan ponsel ke dalam saku, masih menatap Karina dengan seksama. "Siapa papamu kalau boleh tahu?"
"Ahmad Suwardi, Dok." Jawab Karina putus asa, teringat ayahnya, ia jadi makin down. Apa tanggapan sang papa dengan rencana dokter bedah itu yang hendak melamarnya?
"Ahmad Suwardi?" Kening laki-laki itu tampak berkerut. "Professor Ahmad Suwardi ahli patologi klinis itu?" Wajah itu tampak terkejut, matanya membelalak dengan mulut terbuka.
"Iya, itu papa saya." Rasanya Karina hendak tertawa terbahak-bahak melihat betapa terkejutnya sosok itu mengetahui siapa ayahnya.
"APA?"
***
Yudha melangkah dengan gusar menuju mobilnya. Pantas saja selama ini dia begitu vokal menyuarakan ketidak setujuan terhadap hukuman yang Yudha berikan tanpa takut-takut, rupanya bapaknya adalah salah seorang guru besar."Gila! Kau dengan lantang hendak melamar anak seorang guru besar?" Desis Yudha pada dirinya sendiri.
Tapi daripada dia harus menikah dengan anak Pak Kadus, tidak ada salahnya dia mencoba terlebih dahulu mengutarakan niat baiknya terhadap anak Profesor Ahmad, bukan? Toh Yudha sudah spesialis, salah satu nilai plus yang bisa Yudha ajukan sebagai calon menantu guru besar itu.
"Semoga dipermudah, ya Allah!"
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b