Share

-8

Nayaka dikejutkan akan sebuah hal yang diberitahu oleh Mario kepadanya, yaitu menggantikan Axel mengurus perusahaan atas persetujuan dari Damian. Bukannya tidak senang tapi, bukankah hal ini yang selalu dilarang keras oleh lelaki itu?

Apa jangan-jangan, sikap Damian kemarin karena hal ini? Jika benar, kenapa Damian mengizinkannya?

Naya memegang dokumen penting yang diberikan oleh Mario tadi, lalu keluar menghampiri Damian yang masih berbicara dengan Gio di ruang tamu.

Bukan hanya keduanya yang ada di sana, sosok anak kecil juga seorang gadis berkumpul bersama keduanya. Naya tahu, hal yang mereka bicarakan adalah hal yang sangat penting.

"Aku pengen bicara sama kamu."

Damian melirik sekilas ke arah Naya, lalu beranjak dari sana tanpa berpamitan pada Gio. Keduanya berdiri agak jauh dari Gio, juga anak-anak itu.

"Katakan!"

"Kamu setuju aku gantiin, Axel?" tanya Nayaka menunjuk dokumen yang ada di tangannya memamerkan pada Axel.

"Yah, apa ada masalah?"

"Kenapa? Bukannya kamu paling benci kalau aku gabung sama dunia pekerjaan?"

Jika dibilang Naya terkejut, yah, saking terkejutnya dia bahkan tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Mario tadi kepadanya.

"Saya memberikan kamu kesempatan, bukankah kamu harus senang?"

Naya terdiam, benar juga apa yang dikatakan Damian padanya. Seharusnya dia senang, lalu kenapa harus mempertanyakan hal ini kepada Damian lagi? Dia saja sepertinya tidak memikirkannya terlalu berlebihan seperti dirinya.

Pulang dari rumah Gio, Nayaka yang kini kembali membisu seperti Damian kemarin. Pikirannya tertuju kepada lelaki itu, dia seperti merasa bersalah kepada seseorang. Padahal, dia hanya menggantikan Axel untuk sementara.

Sedangkan Damian, di kantor kurang fokus pada pekerjaannya. Beberapa kali Rudi sekertarisnya menegur saat Damian kembali melamun.

"Pak, ada masalah?" seolah tidak tahan dengan tingkah bosnya, Rudi pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Rudi, kamu punya istri?" tanya Damian tiba-tiba.

Rudi mengerutkan keningnya dengan mulut setengah terbuka saking herannya dengan pertanyaan Damian. Dia menggeleng sembari mengatakan, "Saya belum punya Pak, kalau pacar ada."

"Kamu pacaran?" tanya Damian tidak menyangka.

"Iya pak, kan mau seleksi dulu siapa yang jadi calon istri saya nanti, bapak pasti pacaran juga kan, sama nyonya Nayaka," jawab Rudi.

"Kami tidak seperti itu," balas Damian jujur.

"Hah? Dijodohin dong?" tebak Rudi lagi.

Damian mengangguk, membenarkan. Lalu bertanya kembali, "Menurut kamu istri saya itu seperti apa orangnya?"

"Nyonya Nayaka? Istri bapak cantik banget, ramah, pintar tapi, kalau dilihat-lihat nyonya ada aura seramnya."

"Seram gimana?"

"Galak, pak."

Kini, Damian yang bingung dengan jawaban Rudi. Jika cantik, ramah, dan pintar Damian akui hal itu. Namun, Naya takut kepadanya dan sikap galaknya itu tidak terlihat di mata Damian selama ini.

Sudahlah, Damian tidak mau berpikir panjang lagi. Dia kembali melanjutkan pertanyaanya kepada Rudi karena masih penasaran.

"Kamu pernah marahan sama pacar kamu?"

"Sering pak, palingan dia tuh yang ngambek duluan sampai berminggu-minggu."

"Kok bisa gitu?"

Rudi ingin sekali memukul kepalanya saking kesal dengan pertanyaan Damian, dia yang belum menikah paham betul kenapa para wanita selalu ngambek duluan, kenapa yang sudah beristri malah balik bertanya kepadanya.

"Yah kalau ada konflik bertengkar dong pak, nggak mungkin kan keluarga bapak adem terus."

"Saya tahu kalau pertengkaran pasti ada konflik tapi, kenapa ngambeknya sampai segitu lamanya?"

"Lah, itu mah terserah perempuan aja pak. Namanya juga kaum hawa."

"Kok istri saya nggak gitu yah?" tanya Damian kebingungan.

"Maksud Bapak?"

"Istri saya kalau marah, tidak ngambek sampai segitu. Cuman beberapa jam saja, sudah membaik."

Rudi tersenyum kecut, lalu mendekat pada Damian berbisik, "Pak, boleh saya jujur yah? Biasanya, perempuan yang kayak gitu, udah capek sama sikap suaminya atau bahkan ... nggak ada cinta lagi sama pasangannya. Jadi, dia nggak mau banyak nambah beban pikirannya dengan bertengkar, jadi kalau marah damainya bentar doang."

"Kalau perempuan yang marahnya lama, itu artinya dia butuh perhatian. Makanya, saya suka ngebujuk pacar saya sambil meluk buat minta maaf."

Damian menatap horor pada Rudi menjauhkan tubuhnya dari sekertarisnya itu, lalu mengingat ucapan Naya yang bertahan kepadanya karena adanya Aslan. Bukankah, ucapan Rudi ada benarnya?

Jika tidak ada Aslan, hubungannya dengan Naya telah berakhir.

"Atur pertemuan saya dengan Bapak Robi, cepat!"

Rudi tertawa melihat reaksi tidak terduga dari Damian, dia menggeleng kan kepalanya pelan tidak menyangka, dan lelaki itu pun bergegas pergi ke ruangannya sendiri meninggalkan Bosnya.

"Besok hari pertama dia kerja, anak buah Gio sudah siap menjaga Nayaka dari jauh. Gua harap semuanya berjalan lancar," ucap Damian.

Tiba-tiba ponsel Damian berbunyi, panggilan dari Shana dijawab oleh Damian dengan cepat. "Bagaimana?" tanya Damian spontan.

"Aduh! Kamu itu nggak sabaran amat sih, capek tahu nyari baju buat istri kamu. Toko aku tuh besar."

"BACOD ah," balas Damian kesal dengan suara Shana yang dibuat-buat.

"Ihhh, kok kamu jadi mirip Gio sih kurang ajarnya."

"Ambil aja yang semua yang menurut lo bagus untuk dia pakai, total semuanya nanti kasih tahu gua."

"Dasar yah orang kaya, seenaknya aja."

"Suka-suka gua, pokoknya harus sampai ini hari."

Panggilan pun dimatikan, Damian bisa geger otak jika berbicara terus dengan teman SMAnya itu yang bergelut di bidang desainer.

Ini pertama kalinya dia memesan pakaian secara langsung untuk Nayaka, biasanya, dia hanya memberikan kartunya saja kepada wanita itu dan biarkan Naya menggunakannya sesukan hati.

                                    *****

Sedari tadi, Nayaka bingung dengan paper bag yang dibawa oleh Damian di kamar. Satu bagasi penuh dengan barang yang di bawah olehnya, entah apa isi di dalamnya tersebut. Nayaka sendiri, jadi bingung dibuatnya.

Aslan yang ikut memperhatikan kegiatan Papanya, menoleh pada Naya dengan tanda tanya, siap mengeluarkan bertubi-tubi pertanyaan yang wajib Naya jawab.

"Papa ngapain Ma?"

"Bawa paper bag sayang."

"Kalau itu Aslan tahu, tapi isinya Ma."

Nayaka juga menggeleng, lalu menjawab, "Mama malah nggak tahu."

Aslan menepuk jidatnya karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, terpaksa dia turun dari sofa menarik tangan Naya pada kamar mereka.

"Aslan penasaran, apa sih barang di dalam kamar Mama dan Papa," ucap Aslan.

Di kamar, Damian terlihat kelelahan sehingga merebahkan dirinya di King size. Aslan dan Nayaka mengintip isi dalam paper bag tersebut dan isinya yaitu pakaian.

"Pakaian siapa, Pa?" tanya Aslan menunjuk paper bag yang ada di tangannya.

"Mama kamu," ucap Damian enteng.

"Aku nggak pernah nyuruh kamu beli baju-baju aku," ucap Naya.

"Inisiatif saya, lagian kamu nggak punya pakaian kantor. Nggak mungkin ke sana pakai gaun," ucap Damian yang membuat Nayaka tidak berkutik.

"Mana pakaian aku?" tanya Naya bingung karena banyak sekali paper bag yang ada di lantai.

"Semuanya pakaian kamu."

"Hah? Maksud kamu, semua ini pakaian aku gitu?"

"Yah."

"Kamu ini lagi belanja apa mau ngeborong isi tokonya sih? Banyak banget, tahu," oceh Naya.

"Lagi pengen borong aja," balas Damian tidak mau kalah.

"Lemari aku udah nggak muat, isi pakaian sebanyak ini."

"Yaudah, taruh di lemari kamar sebelah. Beres."

Nayaka rasanya ingin mencabik-cabik Damian karena berubah cerewet, entah jin mana yang masuk ke dalam tubuhnya hingga menjadi aneh seperti ini.

Lagian, biasanya pria itu tidak pernah membelikannya pakaian. Inisiatif dari mana sehingga dia punya niat sebaik ini?

"Uhm, kamu bisa bantuin aku bawa pakaiannya?"

Damian bangkit dari pembaringannya dan berjalan mengambil paper bag itu kembali dan membawanya di kamar sebelah. Aslan yang melihat tingkah baru Papa dan Mamanya hanya menggaruk kepalanya bingung, tiba-tiba dia menyadari kedua sikap orang tuanya agak aneh dan harus diperbaiki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status