Share

-7

Naya telah usai menjenguk Axel, di depan ICU ada Mamanya yang sedang duduk bersama Aslan, sedangkan papanya dan Damian entah kemana karena sosok keduanya tidak terlihat sedikit pun di sini.

"Papanya Aslan, kemana?" tanya Naya pada Tiara.

"Sama Papa kamu, di luar."

"Sedang apa?"

"Katanya mau ngomong penting ma," imbuh Aslan yang tadi sedikit mendengar ucapan Opanya.

Di taman depan rumah sakit, Mario mengajak Damian untuk berbicara sebentar disebuah kursi putih panjang yang ada di sana, entah apa yang ingin dibicarakan Mario, Damian sendiri pun masih merasa bingung.

"Damian, kamu bahagia menikah dengan Naya?" tanya Mario membuka pembicaraan.

"Yah ... saya bahagia Pa."

Mario tersenyum, lalu mengangguk dan menoleh pada menantunya. "Karena sekarang, kalian sudah lama menikah, papa akan ceritain ke kamu tentang Naya sebelum kalian menikah."

Damian mengangguk, dia juga penasaran bagaiamana Naya dulu sebelum menikah. Dia hanya tahu, anak itu selalu menghindarinya ketika dia datang bersama Axel. "Silahka, Pa."

"Saat Naya tahu, yang ngelamar dia adalah keluarga kamu, dia sangat marah kepada Papa. Saat itu, dia berniat untuk kabur dari rumah tapi, papa benar-benar terlalu keras hingga membuatnya tidak berkutik. Impiannya menjadi wanita berkarier telah pupus saat itu juga, dan papa menyadari anak itu sangat tidak suka padamu."

"Saat kalian tunangan, malamnya Naya menangis hingga tidak ingin makan. Bahkan, Ibunya membujuk untuk mengunyah sesendok nasi sembari menangis tidak dihiraukan  Naya. Hingga, datanglah Mahes, sepupunya yang berhasil membujuk. Akhirnya, Naya mau juga makan."

"Papa pikir, pernikahan kalian tidak akan betahan. Rupanya, dengan kehadiran Aslan merubah semua pikiran buruk juga bersalah yang menghantui Papa pada Naya. Sepertinya, kalian bisa saling jatuh cinta."

Bibir Damian rapat, dia tidak berani memotong bahkan dia menyimpan setiap kata yang diucapakan oleh Mario dalam ingatannya. Untuk jatuh cinta dan bahagia? Jika Nayaka ada, dia pasti akan tertawa terbahak-bahak mendengar ini.

Jelas, pernikahan selama tujuh tahun ini tidak ada kemajuan pada perasaan mereka. Meski selama ini dia tidak pernah jatuh cinta tetapi, dia tertarik pada Naya bahkan sebelum keduanya menikah. Itulah, mengapa saat orang tuanya ingin menjodohkan dia dan Naya, Damian tidak pernah menolak.

Damian punya impian sendiri saat muda, hidup bersama istri yang patuh dan cukup setia kepada pasanganmu hingga tua, adalah mimpinya sejak dulu mengikuti jejak kakek dan neneknya. Sayangnya, Damian tidak menyadari bahwa, hubungan kakek dan neneknya berdasarkan dari cinta keduanya.

"Sekarang, perusahaan Axel tidak ada yang mengurusnya. Papa meminta kepadamu, untuk mengijinkan Naya, menggantikan Axel untuk sementara."

"Papa sangat berharap kamu mengijinkan, Naya."

Tidak ada jawaban dari Damian, dia hanya bisa memegang pelipisnya berpikir untuk memutuskan hal ini. Jika dia menolak, perusahaan Axel bisa terbengkalai dan mereka sedang waspada sekarang dikarenakan ada mata-mata di perusahaan itu. Jadi, orang yang mereka percayai untuk menghandle tugas ini adalah Naya.

Namun, bagaimana dengan Aslan? Jika dirinya dan Naya sama-sama bekerja, putra mereka kurang mendapat perhatian bukan hanya itu, Naya akan fokus pada pekerjaannya ketimbang mengurus mereka. Ini, membuat Damian kalang kabut untuk memutuskan hal yang menurutnya sangat sulit untuk dia lakukan.

Meski begitu, ini impian Nayaka yang belum pernah terwujud. Semua yang ingin dilakukan Naya selalau dibatasi olehnya, jadi istrinya itu hanya fokus kepada dia dan Aslan. Tiba-tiba dia teringat pertengkaran mereka yang terjadi pada rumah mertuanya.

Waktu itu, Naya berkata jika dia membencinya lantaran karena keegoisannya sendiri. Bukan hanya itu, Naya dianggap sebagai pajangan dan sepert mayat hidup yang diatur dan diperintah Damian. Mengetahui fakta ini, sangat membuat dirinya kesal.

Meski seperti itu, Damian baru bisa menyadari kesetiaan Naya tadi malam. Wanita itu tidak rela jika memisahkan Aslan dengan dirinya hanya karena kepentingannya. Jika tidak ada Aslan, entah apa yang terjadi dengan hubungan mereka.

"Damian setuju, Pa."

Mario tersenyum mendengarkan persetujuan dari Damian, menantunya jika telah memutuskan hal ini, pastinya dia telah memikirkannya secara matang. Dia tidak lagi khawatir, siapa yang akan menangani pekerjaan Axel.

Sepulangnya dari rumah sakit, Naya memperhatikan Damian yang kembali semula berwujud kulkas sepuluh pintu. Usai bertemu Papanya tadi, dia lebih banyak diam dan tidak sama sekali bertanya apa pun dan bukan hanya itu ... dia malah semakin penasaran tentang papanya dan Damian bicarakan.

Usai menidurkan Aslan, Naya pun masuk ke kamar untuk segera tidur. Untungnya, dia telah memberikan Papa dan anak itu segelas susu, Aslan pasti langsung terlelap tapi, tidak dengan Damian yang masih stay di ruang kerjanya.

Naya mungkin penasaran tapi, dia takut bertanya. Meski seperti itu, Damian lah yang selalu bertanya kepadanya. Tentang keadaanya, kegiatan Aslan, dan itu cukup membuat mereka menjadi tidak secanggung dulu.

"Haruskah, aku bertanya tentang apa yang terjadi padanya hari ini?"

"Aduh, lagian dia emang nggak banyak omong sih, kok aku yang gelisah."

"Mereka ngomong apa yah tadi."

Saat bertanya sendiri di kamar, Naya dikejutkan dengan pintu yang terbuka. Rupanya itu, Damian. Pria itu naik di atas king size dan menutup mata seolah tidak tertarik berbicara kepadanya.

Naya menghembuskan napasnya kesal, lalu memperbaiki selimut menutup tubuh Damian. Namun, tangannya tiba-tiba ditarik oleh lelaki itu, hingga tubuhnya jatuh di atas dada Damian yang bidang. Tepat pada saat itu, netra keduanya bertemu.

"Nayaka."

"Iyah?"

"Kamu tidak penasaran tentang pembicaraan saya sama Papa?" tanya Damian.

Naya mengalihkan pandangannya pada Damian, mungkin wajahnya telah memerah sedekat ini dengan suaminya, jujur, dia tidak berharap lebih kepada pria ini jika mengingat wataknya saja.

"Lihat saya, Nayaka!"

Bukannya menatap Damian, Naya malah membuang muka.

Hal ini, membuat Damian menjadi kesal. Tubuh Naya dihempaskan pada king size dengan posisi yang telah diganti, yaitu Damian yang kini berada di atasnya dan Naya yang ada dibawah. Kaget akan hal ini, barulah matanya menatap lurus pada Damian.

"Kenapa kamu tidak bertanya tentang apa yang terjadi pada saya? Apa kegiatan saya? Kenapa saya yang harus memulai semuanya, Nayaka? Apa setiap pria harus seperti itu? Lalu bagaimana jika saya menuntut kamu untuk bertanya seperti yang saya lakukan selama ini?"

"Ak-- aku, tidak berani?"

"Why?" tanya Damian setengah berbisik.

"Aku ... takut."

Damian menempelkan keningnya pada kening Naya sembari menutup mata lelah, lalu berkata, "Yah ... saya lupa. Kamu memang membenci saya."

"Semua yang kamu lakukan selama ini hanya untuk Aslan, bukan? I know."

"Besok kamu akan bertemu, Papa. Ada hal penting yang ingin dia bicarakan, dan juga ...  tolong selalu perduli kepada Aslan."

Setelah mengatakan itu, Damian pun melepaskan Naya yang mematung. Entah apa makud dari perkataan Damian, Naya masih belum memahami hal itu. Lalu, haruskah dia juga memulai semuanya kembali pada awal mereka menikah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status