Setelah hari itu, semuanya terasa berbeda. Aku dan Dafa mulai menjalani hubungan yang lebih dari sekadar sahabat. Tapi anehnya, tidak ada kecanggungan di antara kami. Mungkin karena sejak awal, kami memang sudah saling memahami. Dafa tetap menjadi dirinya yang selalu sabar dan perhatian. Dan aku? Aku merasa lebih bebas dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dicintai dengan cara yang tidak menyakitkan. --- Hari-hari berlalu dengan lebih ringan. Aku mulai bisa menikmati hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Suatu hari, saat kami duduk di kantin kampus, Dafa menatapku dengan ekspresi serius. "Alya, ada sesuatu yang mau aku tanyakan." Aku menoleh. "Apa?" Dafa tersenyum kecil sebelum berkata, "Apa kamu bahagia bersamaku?" Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Iya," jawabku mantap. "Aku bahagia, Dafa." Dia menghela napas lega. "Aku cuma ingin memastikan. Aku nggak mau jadi orang yang menahan kamu." Aku menggeleng. "Kamu bukan penghalang, Dafa. Justru
Setelah pertemuan dengan Karin, aku merasa ada beban yang terangkat dari hatiku. Dendam, kebencian, dan rasa sakit yang dulu membebaniku perlahan menghilang. Aku tidak lagi merasa perlu membandingkan diriku dengannya atau menyesali apa yang sudah terjadi. Aku akhirnya bisa benar-benar melangkah maju. --- Hari-hariku bersama Dafa semakin terasa menyenangkan. Kami mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, entah sekadar belajar di perpustakaan, makan siang di kantin, atau berjalan-jalan di taman kampus. Dafa selalu tahu bagaimana membuatku tersenyum, bahkan di hari-hari sulit. "Aku nggak nyangka kita bakal sejauh ini," kataku suatu sore saat kami duduk di pinggir danau kecil di dekat kampus. Dafa menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" Aku mengangkat bahu. "Aku pikir dulu aku nggak akan bisa jatuh cinta lagi setelah semua yang terjadi." Dafa tertawa kecil. "Hati manusia itu unik, Alya. Kadang kita pikir sudah hancur, tapi ternyata bisa sembuh dengan cara yang nggak kita duga."
Aku menatap layar ponselku, melihat notifikasi pesan dari Dafa yang baru saja masuk. Dafa: Aku sudah sampai, Alya. Perjalanan panjang, tapi aku baik-baik saja. Aku tersenyum dan segera membalas. Aku: Syukurlah. Aku senang kamu sampai dengan selamat. Dafa: Gimana harimu? Aku: Sibuk seperti biasa. Kampus semakin padat, tugas juga makin banyak. Tapi aku baik-baik saja. Dafa: Bagus. Jangan lupa jaga kesehatan, ya. Aku menatap layar ponselku beberapa detik sebelum mengetik balasan. Aku: Kamu juga, Dafa. Aku rindu kamu. Pesanku terkirim, tapi butuh beberapa menit sebelum dia membalas. Dafa: Aku juga rindu kamu, Alya. Lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Aku menghela napas pelan. Jarak di antara kami terasa nyata, tapi aku berusaha untuk tetap kuat. --- Hari-hari berlalu tanpa kehadiran Dafa di sisiku. Aku sibuk dengan kuliah, tugas, dan organisasi kampus, mencoba mengalihkan pikiranku dari rasa rindu yang semakin hari semakin besar. Awalnya, semuanya terasa baik-baik saja. K
Aku duduk di atas tempat tidur, menatap layar ponselku yang masih menampilkan percakapanku dengan Dafa. Sejak terakhir kali aku menanyakan tentang perempuan itu, komunikasi kami semakin terasa canggung. Dafa masih menghubungiku, tapi aku bisa merasakan perbedaannya. Dulu, setiap kali kami berbicara, aku bisa merasakan ketulusannya. Tapi sekarang, seolah ada jarak yang semakin membentang di antara kami. Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan pikiranku. Jangan langsung berpikir buruk, Alya. Tapi bagaimana bisa aku tidak berpikiran seperti itu? Dafa sudah mulai berubah, dan aku bisa merasakannya. --- Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Aku menghubungi salah satu teman yang tinggal di kota tempat Dafa berkuliah. Namanya Rina. Aku mengenalnya lewat acara kampus beberapa bulan lalu, dan kebetulan dia juga sering bertemu dengan mahasiswa dari kampus Dafa. Aku mengirim pesan singkat padanya. Aku: Rina, aku mau tanya sesuatu. Kamu kenal seseorang ber
Hari-hari setelah perpisahan dengan Dafa terasa berat. Aku masih bangun pagi dengan kebiasaan lama—mengecek ponsel untuk melihat apakah ada pesan darinya. Tapi kini, layar ponselku kosong. Tidak ada "selamat pagi" darinya. Tidak ada pesan yang menanyakan bagaimana hariku. Hanya kesunyian. Aku tahu ini akan sulit. Bagaimanapun, Dafa adalah seseorang yang dulu menjadi bagian besar dalam hidupku. Tapi aku juga tahu… aku harus belajar melepaskannya. --- Aku mencoba mengisi hariku dengan berbagai aktivitas. Aku lebih sering pergi ke perpustakaan, bergabung dalam diskusi kampus, bahkan mulai rutin berolahraga. Aku pikir, semakin aku sibuk, semakin sedikit waktu yang kuhabiskan untuk memikirkannya. Tapi tetap saja, ada momen-momen di mana pikiranku kembali kepadanya. Saat aku melewati tempat favorit kami, saat aku mendengar lagu yang biasa kami dengarkan bersama. Atau saat tanpa sadar, aku hampir mengirim pesan padanya… lalu teringat bahwa aku tidak bisa lagi melakukannya. --
Sudah dua bulan berlalu sejak aku terakhir kali berbicara dengan Dafa. Sejak saat itu, aku benar-benar berusaha menjalani hidupku tanpa bayang-bayang masa lalu. Awalnya sulit. Ada hari-hari di mana aku masih merindukannya, meski aku tahu dia bukan lagi seseorang yang seharusnya ada dalam hidupku. Tapi setiap kali aku merasa ingin menyerah, aku mengingat kembali rasa sakit yang dia berikan. Dan itu cukup untuk membuatku tetap melangkah ke depan. --- Hari ini adalah hari yang spesial. Aku baru saja menyelesaikan presentasi penting di kelas, dan rasanya seperti beban besar terangkat dari pundakku. "Alya, kamu luar biasa!" Nadia menepuk punggungku dengan semangat. Rina mengangguk setuju. "Iya, aku sampai kagum lihat kamu tadi. Kamu terlihat percaya diri banget!" Aku tertawa kecil. "Kalian terlalu berlebihan." "Tapi bener, kamu udah jauh berubah," kata Nadia. "Dulu, kamu selalu ragu-ragu. Sekarang, kamu lebih berani dan kuat." Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-kata mereka
Sudah beberapa minggu sejak pertemuanku dengan Damar di kafe, dan aku menyadari sesuatu—aku mulai benar-benar menikmati hidupku sendiri. Bukan berarti aku sudah sepenuhnya melupakan Dafa atau luka yang dia tinggalkan. Tapi setidaknya, aku tidak lagi terjebak dalam rasa sakit yang sama. Aku mulai melihat masa lalu sebagai pelajaran, bukan sebagai beban. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… aku merasa lebih ringan. --- Pagi ini, aku bangun dengan semangat baru. Aku mengenakan pakaian olahraga dan pergi jogging di taman dekat kosku. Udara pagi terasa segar, dan langkah-langkahku terasa ringan. Dulu, aku tidak pernah punya kebiasaan ini. Tapi sejak aku mencoba untuk fokus pada diriku sendiri, aku mulai menemukan banyak hal yang kusukai. Olahraga adalah salah satunya. Membuatku merasa lebih sehat, lebih kuat. Seperti cara tubuhku berterima kasih karena akhirnya aku merawatnya dengan baik. --- Saat aku berhenti untuk beristirahat, aku melihat seseorang mendekat.
Pagi ini, aku kembali ke taman untuk jogging bersama Damar. Sejak pertama kali kami bertemu di sini, jogging menjadi rutinitas yang menyenangkan. Bukan hanya karena olahraga membuatku lebih sehat, tapi juga karena percakapan dengan Damar selalu terasa ringan dan penuh energi positif. Hari ini, dia sudah menungguku di dekat bangku taman. "Telat dua menit," katanya sambil tersenyum jahil. Aku tertawa kecil. "Maaf, tadi sempat malas bangun." Dia menggeleng. "Yah, kalau malas bangun, harus ada hukumannya." Aku mengangkat alis. "Hukuman apa?" Dia menunjuk jalur jogging. "Dua putaran ekstra." Aku mendesah pura-pura kesal. "Baiklah, baiklah. Ayo mulai." --- Kami berlari dalam diam selama beberapa menit, menikmati udara pagi yang segar. Aku mulai menyadari sesuatu—aku tidak lagi merasa sesak setiap kali berada di tempat yang mengingatkanku pada masa lalu. Jogging dulu adalah kegiatan yang sering aku lakukan dengan Dafa, tapi sekarang… rasanya berbeda. Rasanya lebih ringan. Leb
Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-
Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan
Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l
Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo
Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…
Alya pikir semuanya sudah berakhir. Tapi kenapa hatinya masih terasa berat?---Alya menatap layar ponselnya, membaca kembali percakapan terakhirnya dengan Reza.Reza: Aku masih mencintaimu.Alya: Aku tidak.Ia menutup mata, membiarkan napasnya keluar perlahan. Harusnya itu cukup untuk mengakhiri semuanya, tapi kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di dadanya?Suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya. Alya bangkit dan membuka pintu.Dafa berdiri di sana, membawa dua gelas kopi dingin. “Kamu butuh ini.”Alya tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu, ya?”Dafa mengangkat bahu. “Karena aku memperhatikan.”Mereka duduk di balkon kosan Alya, menikmati udara malam. Hening sesaat, sebelum akhirnya Dafa berbicara.“Apa yang kamu rasakan sekarang?”Alya mengaduk kopinya. “Marah. Kecewa. Tapi… lebih ke diri sendiri.”Dafa menoleh. “Kenapa ke diri sendiri?”Alya tertawa kecil, tapi tanpa keceriaan. “Karena aku terlalu bodoh untuk percaya dia.”Dafa menghela napas. “Percaya seseorang bukan kebodoh
Alya berpikir semuanya sudah selesai, tapi kenangan lama selalu menemukan cara untuk kembali.---Malam itu, Alya duduk di balkon kosannya, menatap langit yang dipenuhi bintang. Angin malam menyentuh kulitnya, membawa rasa dingin yang samar, tapi hatinya terasa jauh lebih dingin.Suara Reza masih terngiang di kepalanya."Tapi… aku masih mencintaimu."Alya menghela napas panjang. Ia menatap layar ponselnya, jari-jarinya ragu mengetik pesan untuk Dafa.Alya: Kamu masih bangun?Tak butuh waktu lama, balasan itu muncul.Dafa: Selalu ada buat kamu. Kenapa?Alya tersenyum tipis. Meski dunia terasa seperti berbalik melawannya, Dafa selalu ada di sisinya.Alya: Aku ketemu Reza tadi.Pesannya terkirim, dan beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dafa menelepon.“Kenapa nggak cerita dari tadi?” Suara Dafa terdengar khawatir.Alya menggigit bibir. “Nggak ada yang perlu diceritain. Dia cuma bilang kalau dia masih mencintaiku.”Dafa terdiam sejenak. “Dan kamu percaya?”Alya tersenyum miris. “
Alya mengira semuanya sudah selesai. Tapi ternyata, ada luka yang belum benar-benar sembuh.---Hening. Itu yang pertama kali Alya rasakan saat memasuki kelas pagi ini. Rasanya aneh, karena biasanya kelas ini selalu riuh dengan suara obrolan teman-temannya. Tapi hari ini, mereka hanya meliriknya sekilas lalu berbisik-bisik di belakangnya.Alya duduk di kursinya dan membuka buku catatan. Ia mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang mulai menggelayut di dadanya. Namun, ketika ia melihat layar ponselnya, matanya membelalak.Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk:"Kasihan banget ya, dikhianati sahabat sendiri? Mungkin kamu harus introspeksi diri, kenapa dia lebih pilih sahabatmu daripada kamu."Jantung Alya berdegup kencang. Tangannya sedikit gemetar saat membaca pesan itu. Siapa yang mengirim ini?"Alya…"Alya menoleh dan melihat Dafa berdiri di sampingnya. Wajahnya serius, seakan ada sesuatu yang penting yang ingin dia katakan.“Kamu udah lihat?” tanya Dafa pelan."Lihat apa?"
Alya berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya sendiri. Sudah lama ia tidak melihat dirinya dengan begitu tenang. Dulu, setiap kali ia bercermin, yang ia lihat hanyalah seorang gadis yang terluka, yang merasa dikhianati oleh orang-orang yang ia percaya. Tapi hari ini, ia melihat sesuatu yang berbeda—seorang Alya yang lebih kuat, yang siap menghadapi hari esok tanpa rasa takut.Namun, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikirannya—Reza dan Karin. Setelah pertemuannya dengan Reza kemarin, Alya tahu bahwa hubungannya dengan Karin juga harus segera diselesaikan. Ia tidak bisa selamanya menghindari kenyataan.Dengan napas panjang, ia mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan untuk Karin.Alya: Bisa ketemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.Tak lama kemudian, sebuah balasan muncul.Karin: Oke, di kafe biasa?Alya menggigit bibirnya. Kafe tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama dulu. Sekarang, tempat itu terasa penuh dengan kenangan yang tidak lagi membuatnya nya