Beranda / Romansa / Antara Aku, Dia dan, Penghianat / Mencari Jawaban dalam Hati

Share

Mencari Jawaban dalam Hati

Penulis: Asma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 04:21:17

Sejak Dafa mengungkapkan perasaannya, pikiranku tidak pernah benar-benar tenang. Aku terus memikirkannya.

Dafa selalu ada untukku. Dia yang menghiburku saat aku terpuruk, yang mendukungku saat aku kehilangan arah, yang selalu percaya padaku ketika aku sendiri meragukan diriku.

Tapi apakah aku menyukainya?

Ataukah aku hanya merasa nyaman karena dia selalu ada?

---

Hari-hari berlalu, dan aku semakin gelisah.

Aku berusaha bertindak biasa saat bersama Dafa, tapi aku tahu dia bisa merasakannya.

"Kamu kelihatan banyak pikiran," katanya suatu sore saat kami duduk di bangku taman kampus.

Aku menghela napas. "Aku cuma… lagi mikirin sesuatu."

Dafa tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang lembut, seolah memahami segalanya tanpa aku harus menjelaskan.

"Jangan terlalu membebani diri sendiri, Alya," katanya pelan. "Aku nggak ingin kamu merasa tertekan karena perasaanku."

Aku menatapnya. "Tapi ini bukan hal sepele, Dafa. Aku nggak mau mengambil keputusan yang nantinya aku sesali."

Dafa tersenyum kecil. "Aku tahu. Itu sebabnya aku ingin kamu mengambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan."

Aku mengangguk pelan.

Tapi sejujurnya, aku tidak tahu berapa lama waktu yang kubutuhkan.

---

Malam itu, aku memutuskan untuk menulis di jurnal pribadiku.

Aku selalu merasa lebih mudah menuangkan perasaanku dalam tulisan.

"Dafa bilang dia suka sama aku. Tapi aku masih belum tahu bagaimana perasaanku sendiri. Aku nyaman bersamanya, aku senang saat dia ada, tapi apakah itu cinta?"

Aku menutup jurnal itu dengan perasaan yang masih tidak menentu.

Aku tahu aku harus menemukan jawabannya.

---

Beberapa hari kemudian, aku pergi ke perpustakaan sendirian.

Aku butuh waktu untuk berpikir tanpa gangguan.

Saat aku sedang membaca di sudut ruangan, seseorang duduk di kursi seberangku.

Aku mendongak dan terkejut melihat siapa yang ada di depanku.

Reza.

---

Aku menegang. Aku pikir aku sudah tidak akan pernah berurusan lagi dengannya.

"Alya," katanya pelan. "Boleh aku bicara sebentar?"

Aku menghela napas, menimbang apakah aku harus pergi atau tetap di sini. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk mendengarnya.

"Aku tahu ini mungkin sudah nggak ada artinya buat kamu," katanya. "Tapi aku benar-benar minta maaf."

Aku diam. Aku sudah pernah mendengar permintaan maafnya sebelumnya.

"Aku sadar kalau aku kehilangan seseorang yang sangat berharga," lanjutnya. "Aku bodoh, Alya. Aku baru menyadari itu setelah semuanya terlambat."

Aku menatapnya tanpa ekspresi. "Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang?"

Reza menghela napas. "Karena aku pikir aku bisa bahagia tanpa kamu. Tapi ternyata aku salah."

Aku menggeleng. "Reza, kamu yang memilih untuk meninggalkan aku. Sekarang aku sudah melangkah maju. Aku sudah selesai dengan semua ini."

"Alya…"

"Aku nggak mau kembali ke masa lalu," potongku tegas. "Jadi kalau kamu ingin aku kembali, jawabannya tidak."

Reza menunduk, terlihat menyesal. Tapi aku tidak merasa kasihan.

"Aku harap kamu bisa bahagia dengan pilihanmu," kataku sebelum berdiri dan pergi.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar bebas.

---

Malam itu, aku mengirim pesan ke Dafa.

Aku: Aku ketemu Reza tadi.

Dafa membalas dengan cepat.

Dafa: Dan gimana?

Aku tersenyum saat mengetik balasanku.

Aku: Aku menolaknya. Aku nggak mau kembali ke masa lalu.

Dafa tidak langsung membalas. Tapi beberapa menit kemudian, sebuah pesan masuk.

Dafa: Aku bangga sama kamu, Alya.

Aku menatap layar ponselku lama.

Dan saat itu juga, aku menemukan jawabanku.

---

Keesokan harinya, aku menemui Dafa di taman kampus.

Dia terlihat sedikit terkejut melihatku datang dengan wajah yang penuh keyakinan.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku menghela napas, menatap matanya dalam-dalam.

"Dafa, aku udah menemukan jawabanku."

Dia terdiam, menunggu.

Aku tersenyum kecil. "Aku juga suka sama kamu."

Mata Dafa melebar. "Alya…"

"Aku mungkin butuh waktu untuk menyadarinya," lanjutku. "Tapi sekarang aku yakin. Aku ingin melangkah maju, dan aku ingin melakukannya bersamamu."

Dafa menatapku lama, lalu tersenyum lebar.

"Aku janji aku nggak akan menyia-nyiakan kamu," katanya pelan.

Aku mengangguk.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa benar-benar bahagia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status