Beranda / Romansa / Antara Aku, Dia dan, Penghianat / Perlahan, Aku Mulai Bahagia

Share

Perlahan, Aku Mulai Bahagia

Penulis: Asma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 04:21:11

Hari-hari berlalu lebih ringan. Aku tidak lagi dihantui oleh bayang-bayang masa lalu. Luka itu masih ada, tapi kini aku sudah bisa berjalan tanpa terbebani olehnya.

Aku mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan orang-orang baru. Aku bergabung dengan beberapa komunitas di kampus, mencoba hal-hal yang dulu tidak pernah kupikirkan.

Dan tentu saja, Dafa masih tetap ada di sampingku.

---

Suatu sore, aku dan Dafa duduk di taman kampus.

"Aku lihat kamu makin sibuk akhir-akhir ini," kata Dafa sambil menyeruput kopi kalengnya.

Aku mengangguk. "Iya, aku mau cari kesibukan baru. Biar hidupku nggak cuma tentang kuliah dan masalah lama."

Dafa tersenyum. "Bagus. Kamu udah berkembang jauh, Alya."

Aku tertawa kecil. "Aku cuma nggak mau tenggelam di masa lalu terus. Aku mau hidupku lebih berarti."

Dafa menatapku lama sebelum akhirnya berkata, "Aku senang melihat kamu seperti ini."

Aku tersenyum. "Terima kasih, Dafa. Kamu juga punya peran besar dalam ini semua."

Dafa menggeleng. "Kamu yang membuat perubahan, Alya. Aku cuma mendukung dari samping."

Aku menatapnya, merasa sesuatu yang hangat menjalar di dadaku. Aku benar-benar bersyukur memiliki seseorang seperti Dafa.

---

Namun, kehidupan tidak pernah benar-benar bebas dari masalah.

Beberapa hari kemudian, aku melihat sesuatu yang membuat dadaku sedikit berdesir.

Aku sedang berjalan menuju kelas ketika tanpa sengaja melihat Reza dan Karin duduk bersama di taman kampus.

Mereka terlihat bahagia.

Dulu, pemandangan seperti ini pasti akan menghancurkan hatiku.

Tapi kali ini, aku hanya merasa… hampa.

Tidak ada sakit hati. Tidak ada amarah. Hanya perasaan kosong yang sulit dijelaskan.

Aku menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahku.

Mereka bukan lagi bagian dari hidupku. Aku harus terus maju.

---

Malam itu, aku berbicara dengan Dafa melalui telepon.

"Aku lihat Reza dan Karin hari ini," kataku pelan.

Dafa terdiam sesaat sebelum bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

Aku mengangguk, meskipun dia tidak bisa melihatku. "Aku baik-baik saja. Aku pikir aku akan merasa sakit hati lagi, tapi ternyata… aku nggak merasakan apa-apa."

Dafa tersenyum di seberang telepon. "Itu tanda kalau kamu udah benar-benar sembuh, Alya."

Aku tersenyum kecil. "Mungkin kamu benar."

"Aku selalu benar," candanya.

Aku tertawa. "Sombong banget."

Kami mengobrol lama malam itu, membicarakan banyak hal. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa benar-benar bahagia.

---

Beberapa minggu kemudian, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Dafa mengajakku bertemu di taman kampus. Dia bilang ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

Aku datang lebih awal, merasa sedikit penasaran.

Beberapa menit kemudian, Dafa muncul dengan wajah yang terlihat lebih serius dari biasanya.

"Ada apa?" tanyaku.

Dia menghela napas sebelum menatapku dengan mata yang penuh ketulusan.

"Alya, aku udah lama ingin bilang sesuatu."

Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa gugup.

"Aku suka sama kamu."

Duniaku terasa berhenti sesaat.

"Aku nggak butuh jawaban sekarang," lanjutnya cepat. "Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku. Aku nggak mau ada penyesalan karena aku nggak pernah bilang."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya.

Dafa selalu ada di sampingku. Dia yang mendukungku saat aku terpuruk. Dia yang membuatku merasa dihargai.

Tapi apakah aku juga memiliki perasaan yang sama?

Aku tidak tahu.

"Aku…" Aku membuka mulut, tapi kata-kataku terhenti.

Dafa tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Alya. Aku nggak ingin kamu merasa tertekan. Aku cuma ingin kamu tahu."

Aku menatapnya lama, lalu akhirnya tersenyum. "Terima kasih sudah jujur, Dafa."

Dia mengangguk.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tapi satu hal yang pasti, hidupku mulai terasa lebih baik.

Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan jawaban atas perasaanku sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Rahasia yang Terkubur

    Langkah Alya terasa berat saat ia berjalan keluar dari kafe. Kata-kata Karin terus bergema di kepalanya."Ada seseorang yang lebih tertarik padamu daripada Reza… dan dia lebih berbahaya dari yang kamu kira."Siapa? Siapa yang bisa lebih berbahaya dari Karin sendiri? Alya ingin memaksa Karin bicara lebih banyak tadi, tapi tatapan mata itu—dingin dan penuh peringatan—membuatnya ragu. Sesuatu dalam diri Karin berubah, dan Alya bisa merasakannya. Ada luka lama yang belum sembuh, dan mungkin juga dendam yang belum padam.Sesampainya di apartemen, Alya langsung mendapati Dafa berdiri di dekat pintu, wajahnya tegang.“Kamu dari mana aja? Aku panik,” katanya segera begitu melihat Alya datang.“Aku ketemu Karin,” jawab Alya sambil melepas jaket. “Dan… dia bilang hal yang aneh.”Dafa menghela napas, lalu menunjukkan layar ponselnya. “Kamu harus lihat ini dulu.”Rekaman CCTV.Alya menatap layar. Tampak balkon unit mereka, direkam dari sudut atas. Jam menunjukkan pukul 00:43 malam tadi. Awalnya k

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Jejak di Ujung Malam

    Pagi datang dengan langit kelabu. Awan menggantung berat di atas kota, seolah menahan sesuatu yang akan jatuh kapan saja. Alya duduk diam di ujung tempat tidur, masih mengenakan kaus tidur, matanya sembab karena kurang tidur.Dafa sedang menelepon pihak keamanan apartemen. Sejak pesan aneh itu datang malam tadi, mereka sepakat untuk tidak mengabaikannya lagi. Sesuatu yang jahat sedang mengintai Alya—itu sudah jelas.“Pak, tolong cek rekaman CCTV yang mengarah ke unit kami, terutama balkon. Malam tadi sekitar pukul sebelas sampai jam satu pagi,” suara Dafa terdengar serius. “Kami curiga ada seseorang yang mencoba mengakses balkon dari luar.”Alya memejamkan mata. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk, tapi rasa takut itu begitu nyata, menghantui tiap helaan napasnya.“Gimana?” tanyanya pelan saat Dafa menutup telepon.“Mereka bilang akan cek, tapi katanya balkon lantai enam nggak ada akses dari luar. Kecuali… orang itu punya alat panjat atau semacamnya.”Alya meremas jari-

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Nafas Dalam Kegelapan

    Alya baru saja menutup tirai balkon ketika ia merasa seseorang sedang mengawasinya dari luar. Tapi siapa? Ia tinggal di lantai enam. Tak mungkin ada orang di luar sana, kecuali mereka bisa terbang."Alya?" Dafa memanggil dari kamar mandi. Suara air masih mengalir deras. "Kamu ngomong sesuatu?"Alya menoleh, masih menahan tirai dengan satu tangan. Matanya tak lepas dari jendela. Kilasan bayangan tadi terlalu nyata. Terlalu cepat, tapi bukan halusinasi."Enggak, enggak apa-apa," sahutnya cepat. Tapi suaranya bergetar.Dafa keluar, rambutnya basah, hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Ia mengerutkan kening saat melihat ekspresi Alya. “Kamu pucat. Ada apa?”"Aku… tadi lihat sesuatu di balkon," katanya lirih. "Seperti bayangan hitam. Aku nggak yakin itu cuma ilusi."Dafa langsung berjalan ke jendela, menarik tirai, lalu memandang ke luar. Tidak ada apa-apa. Hanya jalan, lampu, dan kegelapan malam.“Kamu yakin itu bukan bayangan pohon atau bayangan kamu sendiri?” Dafa mencoba meredakan

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Mata yang Mengintai

    Alya merinding. Bayangan di seberang jalan tidak bergerak. Ia tahu, siapapun itu… sedang mengawasinya.---Dafa langsung menangkap perubahan ekspresi Alya. “Kenapa?”Alya menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Dafa… lihat.”Dafa bergegas ke jendela. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, seseorang berdiri diam di seberang jalan, mengenakan hoodie hitam dengan wajah tersembunyi dalam bayang-bayang.Orang itu tidak melakukan apa pun. Tidak mendekat. Tidak bergerak. Hanya berdiri di sana, menatap ke arah mereka.Dafa menggeram. “Aku keluar.”Alya langsung menarik lengannya. “Jangan! Itu yang dia mau. Kita nggak tahu siapa dia dan seberapa berbahayanya.”Dafa mengepalkan tangan. Jelas, ia tidak suka merasa tidak berdaya seperti ini. Tapi ia mengangguk. “Baik. Kita foto dulu orang itu.”Alya buru-buru mengangkat ponselnya, tapi sebelum sempat menekan tombol kamera…Bayangan itu berbalik dan berjalan pergi.Alya hampir menjatuhkan ponselnya. “Dia pergi.”Dafa menatap tajam ke l

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Bayangan di Kegelapan

    Alya menahan napas. Lampu mati. Kosan sunyi. Tapi ia tahu… ia tidak sendirian.---Alya berdiri terpaku di depan pintu kamarnya, amplop berisi foto masih tergenggam di tangannya. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya sendiri.Matanya menatap ke sekeliling. Koridor kos yang tadi terang, kini berubah gelap gulita. Cahaya bulan dari jendela di ujung lorong menjadi satu-satunya sumber penerangan.Lalu… ia mendengar sesuatu.Tap. Tap.Langkah kaki.Seseorang ada di sana.Alya menelan ludah. Ia mencoba berpikir jernih, tapi rasa takut mengunci tubuhnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar dalam genggamannya. Ia hampir menjatuhkannya saking terkejutnya.Layar ponsel menyala, menampilkan nama Dafa.Dengan cepat, ia mengangkatnya. “Dafa—”“Sstt.” Suara di ujung telepon bukan suara Dafa. Suara itu pelan, dingin, dan membuat bulu kuduknya berdiri.Alya langsung menutup telepon, tangannya gemetar. Ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang bisa menelepo

  • Antara Aku, Dia dan, Penghianat   Ancaman yang Datang

    Alya mengira semuanya sudah berakhir, tapi satu pesan misterius mengubah segalanya.---Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan tak nyaman. Pesan dari nomor tak dikenal tadi masih terpampang di sana.Nomor Tak Dikenal: Kamu pikir sudah menang, Alya? Jangan senang dulu. Aku akan pastikan kamu menyesal.Siapa yang mengirim pesan ini? Reza? Atau orang lain yang ingin membalas dendam?Tangannya gemetar saat ia meletakkan ponsel di meja. Rasa gelisah merayap di hatinya. Sejak tadi ia mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi sekarang firasat buruk semakin kuat.Tiba-tiba, ponselnya kembali bergetar.Nomor Tak Dikenal: Hati-hati saat sendirian. Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam gelap.Alya menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang.Ia langsung menelepon Dafa.“Halo?” Suara Dafa terdengar serak, mungkin baru saja tidur.“Dafa…” Suara Alya terdengar lemah.Dafa langsung sadar ada yang tidak beres. “Alya? Kenapa? Kamu nangis?”Alya menggeleng meskipun Dafa tidak bisa melihatnya. “Aku…

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status