Share

Sifat dan Karakter Alysa

AKU DAN MADUKU – 8

“Bagaimana? Mudah bekerja sebagai sekretaris bagi suamimu ini, hem?” seru Bram yang sengaja menyindir Alysa sembari menertawakan cara bekerja Alysa yang berantakan.

“Terus saja seperti itu! Kau sendiri yang memintaku untuk mencari kesibukan, Mas. kamu pikir aku mau bekerja seperti ini! ini hanya pekerjaan – pekerjaan yang hanya cocok dilakukan oleh Mbak Esha!” tukasnya dengan wajah yang kusut.

“Itu lah kenapa kamu tidak akan bisa bersaing dengan Esha. Kamu tahu dia bahkan bisa mengurus satu perusahaan yang telah papa berikan padanya. Sementara kamu sudah terbiasa dengan kehidupan mewahmu. Bagaimana mungkin kamu bisa menyesuaikan dengan semua pekerjaan yang ada?”

“Halaah … Esha lagi, Esha lagi. Muak rasanya aku selalu kamu bandingkan dengan dia, Mas. Tidakkah aku bahkan lebih cantik dan lebih menawan darinya bukan?”

Alysa lantas berdiri dan berjalan ke arah Bram yang masih duduk bersila di atas sofa putihdi ruangannya. Ia masih menatap Alysa dengan tawanya yang meremehkan. Namun kini Bram lantas terkejut dan merubah posisinya sesaat setelah Alysa mulai bangkit dan berjalan perlahan – lahan ke arahnya.

Kedua bola mata Alysa benar – benar menggoda seolah ia akan menerkam Bram saat ini juga. dan benar saja, Alysa lantas duduk berjongkok tepat di hadapan Bram dan mulai melakukan hal – hal yang seharusnya tidak ia lakukan di kantor.

Alysa memulai gerakannya dari kedua telapak tangannya yang mulai memberikan service pada kepemilikan sang suami. Sontak saja Bram ingin menolak. Ia khawatir jika nantinya akan ada pegawai lain yang kemudian masuk ke ruangannya dan mendapati atasannya melakukan hal intim di kantor.

Namun apalah daya. Alysa memang terlihat sangat lihai dan sungguh berpengalaman dalam hal ini. ia mengunci rapat kaki Bram dan memberikan kemampuan – kemampuan terbaiknya dalam melayani sang suami.

“Alysa, toloong …. Jangan di sini!! Argh!” ujar Bram dengan suara yang sangat lirih. Bram berusaha semaksimal mungkin untuk menahan suaranya agar tidak menimbulkan desahan atau kecurigaan.

Alysa sudah tidak peduli dengan ucapan Bram. Ia merasa kesal sebab Bram seringkali membandingkan dirinya dengan istri tua Bram yakni Esha. Bagi Alysa, meski setidaknya ia tidak sepandai dan tidak begitu cekatan seperti Esha, ia juga mampu menunjukkan bahwa Alysa memiliki kelebihan dalam urusan ranjang dan kepuasan.

Sebuah ungkapan tentang kalimat bahwa tua yang berpengalaman sama sekali tidak berlaku bagi Alysa dan Esha. Justru, karena latar belakang pergaulan dan lingkungan Esha dan Alysa yang kemudian membuat keduanya sangat jauh berbeda dalam urusan asmara dan ranjang.

“Alyyssaa ….”

Bram tak punya kuasa lebih untuk menahan dan melarang Alysa. Rasanya, seluruh kekuatan dalam dirinya hilang seketika kala Alysa menyentuh dan memberikan perhatian lebih pada adik kecil Bram.

Bukan lagi menggunakan kedua tangannya, melainkan dengan bantuan bibir Alysa yang mungil dan merona itu. Secara pasti, Bram lantas hanyut dalam permainan yang telah Alysa berikan padanya.

“Kamu gimana sih, Mas? aku sudah berikan seluruh kemampuanku, tapi adikmu tak juga bangun dari tadi? Lima belas menit berlalu, mulutku bahkan sampai pegal tau. Kamu aneh banget sih, Mas!” pekik Alysa yang seperti merasa kecewa. Hal itu nampak jelas dari wajahnya yang masam.

Padahal, seharusnya Bram lah yang merasa kecewa. Namun ia juga menyadari bahwa itu lah yang selama ini menjadi kelemahannya. Bram sangat sulit mencapai ketegangan meski sebenarnya seluruh aliran darahnya mendesir, dan jantungnya juga sudah memompa lebih cepat dari yang sebelumnya.

“Lagi pula siapa suruh kamu melakukannya di sini?”

“Sudah lah, Mas. Jangan terlalu berbelit – belit. Cepat periksakan sana kelainanmu itu!” ujar Alysa sembari membersihkan diri dan wajahnya.

“Huh! Pantas saja mbak Esha tidak bisa hamil. Kalau begini caranya, sampai kapan pun kami tidak akan bisa hamil, Mas! kamu pikirkan saja bagaimana dengan penerus perusahaan yang selalu dibangga – banggakan oleh ayah dan ibumu itu!” imbuhnya lagi.

Dan ucapan Alysa benar – benar menyayat hati Bram. Usai memaki dan menyakiti hati Bram, Alysa pergi begitu saja membawa tas jinjing miliknya. Ia berjalan dengan sifat egoisnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Sepeninggal Alysa, Bram merasa sangat terpukul dengan ucapan istri keduanya yang sangat arrogant itu. Ia tidak menyangka bahwa Alysa akan sejahat itu terhadapnya.

“Dasar istri tidak tahu diri! Aku bahkan menyelamatkannya dari aib hina keluarga besarnya. Kalau saja mama dan papa tidak memintaku untuk menikah lagi, mana mungkin aku mau menikah dengan perempuan kejam seperti itu!” ujar Bram yang kini memaki Alysa sembari mengiringi kepergian Alysa yang perlahan – lahan mulai hilang dari jarak pandangnya.

Sejak kejadian ini yang terasa menyakitkan bagi Bram, hari – hari Bram seperti sangat menjijikkan. Setiap kali ia bertemu dengan Raline atau Alysa, ada perasaan malu di benaknya. Tidak ada harga diri sebagai lelaki normal sebagaimana harusnya.

Bertahun – tahun Bram memang tidak pernah berhasil untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Selama bertahun – tahun pula ia sembunyikan keanehan pada dirinya ini dari istri yang sangat ia cintai.

Bukan hal yang tidak mungkin, Bram bahkan sering merasa sedih dan menyesal karena tak bisa berkata jujur dan berterus terang dengan Esha. Ia bahkan tega menjadi penyebab Esha tak kunjung hamil dan terus – menerus di teror oleh keluarga besar Bram dengan dalih tuntutan kehamilan tanpa Bram memberikan penjelasan dan pembelaan sedikit pun.

Bram tahu dirinya salah. Tapi ia tak bisa berbuat banyak. Ia takut, jika Esha tahu akan hal ini, maka wanita itu akan pergi meninggalkan Bram seorang diri lalu mencari laki – laki lain. Bram tidak ingin itu. Ia tidak akan pernah melepaskan Esha apapun yang terjadi.

‘Bisa gila aku karena ucapan Alyssa! Oh Tuhan, kenapa dulu aku harus menikahinya ... seharusnya sudah ku persiapkan rumah yang terpisah, agar ia tidak bisa menyentuhku seperti hari itu! Aku hanya berharap agar ia tidak menceritakan hal ini pada Esha.’ Bram bergumam dalam benaknya sendiri. Ia merasa semenjak ada Alysa, ia tak lagi bisa berdalih dalam urusan kepuasan batin. Alysa benar - benar liar. Sampai - sampai, belakangan ini, Bram sering sekali melakukan aktivitas dan segala pekerjaannya sembari melamun.

“Mas! kamu melamun? Papa telfon itu!” suara lembut dari Esha sukses membuat Bram terkanjat, terkejutnya bukan main. Sampai – sampai, Esha sendiri tak habis pikir mengapa Bram sampai setakut itu.

“Kamu dari mana sih? jangan kebiasaan membuatku terkejut, bisa?” ujar Bram yang kemudian lantas berdiri menjauh dari Esha dan dengan cepat meraih ponselnya yang berdering.

Ekspresi wajah Esha pun kian berubah, “Dih, kenapa harus sensitif seperti itu sih Mas … aku kan hanya memberitahu. Ada apa sebenarnya dengan dia? Kenapa harus marah – marah seperti itu? Hmmm….”

Esha masih memandang punggung sang suami yang perlahan – lahan semakin jauh. Hanya suara Bram yang samar – samar masih terdengar pembicaraannya dengan ayahandanya.

‘Apa ini ada kaitannya dengan Alysa? Dia pasti tahu sesuatu, aku harus memastikannya,’ pukas Esha dengan mantap di dalam batinnya.

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status