Raffael terganggu dengan suara ketukan di pintu kamarnya. Dengan cepat ia mengenakan celana setelah melepas handuk yang semula melilit di pinggangnya. Dia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan mulut menganga.
Raffael mengernyit. Ia seperti tak asing dengan wajah perempuan itu? Tapi, yang cukup membuatnya terganggu adalah ekspresi perempuan itu yang kelewat kampungan.
Raffael menjentikkan jari di depan wajahnya hingga perempuan itu mengerjap dan segera tersadar.
"Mulut," tegur Raffael mengingatkan.
Tangan perempuan itu menyentuh bibirnya yang terbuka. Tampak jelas ekspresi malu di wajah perempuan ketika menyadari sedari tadi dia memasang ekspresi memalukan. Dan parahnya, dia juga meneteskan air liur di mulutnya itu.
Raffael bergidik.
"Maaf," ucap perempuan itu. Dia berdehem sesaat, sebelum akhirnya kembali berani menatapnya dengan sikap biasa. "Itu ... mama menyuruhmu turun. Makan malam sudah siap."
"Mama?" Raffael menaikkan satu alisnya. Dia merasa sedikit heran.
"Iya. Mama." Perempuan itu tampak bingung. "Mama Utari. Kau tidak mungkin lupa padanya, kan?"
Raffael tidak mengerti untuk beberapa saat. Dia pasti mengetahui wanita yang menjadi ibunya itu. Tapi yang mengherankan di sini adalah perempuan di depannya yang memanggil dengan panggilan yang sama.
Raffael tidak bisa menahan pertanyaan yang bersarang di benaknya sejak tadi.
"Kau siapa?" tanya Raffael menyipit curiga.
****
Bolehkah Syaqila mengamuk sekarang? Sial! Apa maksud pertanyaan Raffael padanya? Apakah enam tahun tidak bertemu membuat pria itu lupa jika ia memiliki seorang kakak?
Baiklah. Syaqila akui, ia juga sempat lupa. Tapi, dia segera mengingatnya setelah ibunya dengan senang hati menjabarkan setiap keburukan yang pernah ia lakukan dulu. Syaqila tidak mungkin melupakannya.
"Kamu lupa?" tanya Syaqila memastikan sekali lagi.
"Pergi!" Bukannya menjawab, Raffael justru mengusir Syaqila dengan pandangan dingin. Dia tampak tak peduli siapa Syaqila. Karena kenyataannya memang tidak penting baginya.
"Tunggu dulu!" Syaqila segera menahan saat Raffael hendak menutup pintu kamarnya. Pria itu tampak menatapnya tajam. Tapi, bukan Syaqila namanya jika dia takut hanya dengan tatapan seperti itu. "Kita kenalan saja jika kamu memang lupa padaku."
"Tidak butuh!" balas Raffael menohok. Dia mendorong Syaqila dan menutup pintu dengan keras.
Syaqila terdiam dengan wajah mengeras. Berani sekali adiknya itu memperlakukannya seperti ini. Niat untuk meminta maaf pada pria itu seketika sirna. Syaqila lebih berhasrat untuk membalas sikap Raffael yang kurang ajar padanya.
"Dasar gendut! Cebol! Jelek!" sungut Syaqila. Dia berjalan pergi dari sana dengan menggerutu kecil.
Sementara Raffael di dalam kamarnya bergeming. Pria itu tercenung mendengar lontaran kata Syaqila yang memang ditunjukkan untuk mengejeknya habis-habisan. Raffael seolah baru menyadari sesuatu sejak tadi. Pria itu menoleh ke pintu, satu sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringai.
"Syaqila." Dia akhirnya bertemu dengan perempuan yang ia sebut sebagai medusa di masa lalu. Raffael tidak akan pernah melupakan masa kecilnya yang kelam akibat perlakuan Syaqila yang sering menindasnya tanpa alasan. Tidak sekali dua kali Raffael terkena masalah akibat Syaqila. Bahkan Raffael kerap kali dihukum atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua karena perempuan itu. Perempuan siluman itu.
"Sepertinya akan semakin menarik setelah ini."
****
Raffael turun dari kamarnya. Dilihatnya, semua keluarganya sudah berkumpul di meja makan, begitu pula Syaqila yang kini duduk dengan wajah merenggut.
Raffael duduk di samping perempuan itu. Bukan keinginannya, tapi karena status mereka sebagai kakak adik, mereka harus berada di tempat yang berdekatan. Mereka duduk tepat di sisi kanan ayahnya yang duduk di kursi utama. Sementara ibunya duduk di seberang, tepat di samping suaminya.
Lalu disusul keluarganya yang lain, yang merupakan bibi, paman, serta keponakan mereka. Suasana rumah begitu berisik dan ramai. Raffael berusaha untuk tidak terganggu meski sebenarnya ia kurang menyukai suasana saat ini.
Saat tengah asik menikmati makan, seseorang di sisinya tiba-tiba tersedak. Sontak, Raffael mendelik tak suka pada Syaqila yang kini meraih gelas dengan ekspresi menyedihkan. Raffael memberi jarak supaya air liur perempuan itu tidak mengenainya. Tapi seperti tidak puas, ia justru mencengkram lengan kemeja Raffael. Raffael terbelalak, pakaian yang ia kenakan jadi kusut dan kotor. Rasanya dia sangat ingin menepis kasar tangan perempuan itu. Sayangnya, ia tidak bisa melakukan hal itu di sini, tepat di depan orang tuanya.
"Antar aku ke kamar," pinta Syaqila, menatap Raffael dengan pandangan memohon.
Sedikit pun Raffael tak tersentuh. Ia justru berusaha menahan diri untuk tidak menampar wajah perempuan itu supaya menjauh darinya.
"Raffa, sebaiknya antar Syaqila. Sepertinya dia kurang sehat," ucap Fabian, sang kepala keluarga di rumah ini.
Raffael ingin menolak, tapi itu tentu saja tidak mungkin. Dia tidak bisa membantah ucapan ayahnya.
Setelah menghembuskan napas kasar dari mulutnya, Raffael membantu Syaqila untuk pergi meninggalkan ruang makan. Suasana di sana tidak berubah meski mereka berdua pergi dari sana. Keluarga besarnya memang senang mengadakan pesta seperti ini. Tak ada satu atau dua orang di sana tak akan membuat suasana jadi berbeda. Mereka masih bisa bersenang-senang dan menikmati acara dengan orang-orang yang ada.
Setelah sampai, Raffael segera melepaskan Syaqila. Dia memberi jarak yang lumayan karena sejak tadi dia memang tidak nyaman merapatkan tubuh dengan perempuan itu.
"Kenapa?" Syaqila mengerjap bingung. Tingkah Raffael terasa berbeda, dan tampak tidak nyaman ketika bersamanya. Lebih dari itu, sebenarnya ekspresi yang ditunjukkan pria itu cukup membuat Syaqila tersinggung. Tapi ia masih berusaha menepis perasaan tidak enaknya itu.
"Sudah sampai. Sekarang aku akan pergi." Raffael berbalik, hendak pergi. Tapi lengannya ditahan sehingga terpaksa ia kembali berhenti. Dia segera melepaskan tangan Syaqila yang menyentuhnya.
Sikap Raffael itu membuat wajah Syaqila semakin kusut. "Apa maksud sikapmu itu?"
Dia tidak bisa membiarkan hal ini lebih lama. Berkat Raffael, harga diri Syaqila tersentil. Setidaknya pria itu harus mendapat hukuman karena berani memperlakukannya seperti ini.
"Menurutmu?"
"Apa kau jijik padaku?" tanya Syaqila curiga. Dari setiap sikap Raffael, hal itu sebenarnya sudah terlihat jelas. Akan tetapi Syaqila masih berusaha menepisnya. Tidak mungkin pria yang merupakan adik tirinya itu jijik padanya, kan? Dia mungkin hanya bersandiwara karena masih dendam atas kejadian di masa lalu.
"Sejujurnya, ya."
Jawaban Raffael tidak terduga, Syaqila yang tidak siap akan mendapat jawaban itu seketika membeku tak percaya.
Pria itu melipat kedua tangannya di dada, memperhatikan Syaqila kembali memasang wajah bodoh itu lagi. Setelah enam tahun, perempuan itu bukannya menjadi lebih baik justru malah menjadi lebih buruk. Dia tidak terlalu cantik dan sikapnya tidak anggun sama sekali. Jangankan untuk mengagumi, memandangnya saja membuat Raffael malas.
"Aku tidak menyukaimu. Keberadaanmu di sekitarku itu sangat mengganggu. Jadi, kuharap ke depannya kamu tidak lagi bersikap seperti tadi. Demi Tuhan! Kamu itu menjijikan."
Syaqila membatu. Raffael sudah pergi setelah mengatakan kata-kata yang menusuk itu. Bahkan pandangan tajamnya masih bisa Syaqila ingat dengan sangat jelas. Sorot penuh kebencian itu begitu kental.
"Sialan!" Tangan Syaqila mengepal. Dia merasa terhina. Air matanya berjatuhan. Tapi ekspresi wajahnya hanya menunjukkan kemarahan. Dia ingin membalas, ingin melakukan pembelaan. Tapi hingga pria itu pergi, mulut Syaqila senantiasa terkatup rapat. Sisi hatinya merasa tak layak untuk bicara karena ia sadar kesalahannya pada Raffael di masa lalu juga tak bisa dimaafkan.
Syaqila tidak berselera, hingga makanan di depannya ini hanya ia mainkan saja tanpa ia santap dengan benar. Untuk membawanya masuk ke dalam mulut pun tangannya begitu enggan. Mereka terlihat tidak enak, terlebih setelah tangan Syaqila sejak tadi hanya mengaduk-aduknya. Mungkin makanan di piringnya saat ini akan berakhir di tempat sampah setelah ia puas mengacak-acaknya."Syaqil!"Syaqila menoleh. Dia melihat ekspresi khawatir yang ditunjukkan Diandra."Ada apa denganmu? Kau terlihat seperti memiliki masalah. Apakah ada sesuatu?" Diandra sudah berteman dengan Syaqila sejak SMA, ia tentu saja menyadari ada yang tak biasa dari sikap Syaqila sejak tadi. Diandra tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.Syaqila menghembuskan napas kasar dari mulutnya, sebelum akhirnya menjawab, "Tidak ada. Aku baik-baik saja.""Kau terlihat jelas sedang berbohong saat ini." Kedua mata Diandra memincing curiga pada Syaqila. "Jangan menutupi apapun, Sya. Apa aku tidak kau anggap sebagai sahabatmu? Kenapa kamu
"Sial! Bahkan suaranya saja terdengar sangat sexy." Diandra tak bisa menahan kekagumannya pada Raffael. Semakin dilihat dari dekat, pria itu semakin mempesona. Wajahnya benar-benar tampan, tubuhnya tinggi dan tegap. Dan lihatlah lengannya itu, sepertinya dia juga rajin berolahraga hingga tubuhnya bisa begitu sempurna."Diandra! Berhentilah bersikap memalukan," tegur Syaqila. Apakah temannya itu tidak melihat beberapa orang jadi memperhatikan meja mereka akibat sikap Diandra yang memalukan. Mereka pasti bertanya tentang kewarasan Diandra saat ini, karena temannya itu memang terlihat gila sekarang."Syaqila, maaf jika aku mengkhianatimu. Tapi, demi Tuhan! Aku tidak bisa menahan pesona adik tirimu itu. Dia benar-benar tipeku!" pekik Diandra tertahan. Dia tampak kegirangan, seolah baru mendapatkan sesuatu yang ia impikan sejak lama.Syaqila menyingkirkan tangan Diandra yang menahan kedua pundaknya dan menggoyangkannya dengan heboh. Di saat seperti ini ia harus sabar karena Diandra tidak a
Syaqila berjalan ke parkiran, menghampiri Raffael yang berdiri di samping mobil sambil menunduk, bermain dengan handphone-nya. Seolah menyadari kehadiran Syaqila, pria itu akhirnya mengangkat wajahnya.Syaqila menahan napas sesaat. Pria itu selalu terlihat mempesona. Tapi dengan segera Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh bertingkah memalukan lagi. Terakhir kali, Syaqila bahkan menatap adik tirinya itu dengan mulut menganga. Jika Syaqila mengingatnya, rasanya ia ingin mengubur kepalanya di tanah."Masuk!" Raffael mengedikkan kepalanya, meminta Syaqila masuk ke dalam mobil tanpa mau repot-repot membukakan pintu untuknya.Syaqila melengos. Dia berusaha mengerti. Lagipula, Raffael tidak mungkin mau bersikap baik padanya. Untuk bicara dengannya saja sepertinya pria itu juga berusaha menahan kebencian di hatinya pada Syaqila.Syaqila melirik pria di sampingnya. Sepanjang jalan, Raffael tidak bicara. Pria itu hanya fokus mengendarai mobilnya. Wajahnya datar, pandangannya dingin.
Syaqila terbangun karena keadaan sekitarnya terdengar begitu bising. Saat kedua matanya terbuka, Syaqila terkejut. Dia membangunkan tubuhnya dengan cepat. Pandangannya menyapu sekitar. Satu pertanyan bersarang di kepalanya.Ini dimana?"Kau sudah sadar?"Suara dingin itu mengejutkan Syaqila. Dia sempat berpikir itu suara hantu. Namun dugaannya terpatahkan saat ia menemukan sosok adiknya yang menyebalkan berdiri di sampingnya.Syaqila ingin mengutuk pria itu yang sayangnya terlihat lebih mempesona dari sebelumnya.Sial! Siapa yang menyuruh pria itu mengenakan tuxedo? Dengan balutan pakaian itu, Syaqila bahkan nyaris mimisan melihatnya.Namun, demi menjunjung tinggi harga dirinya, Syaqila menahan segala pujian untuk pria itu. Meski hatinya benar-benar menggila hanya karena melihat rupanya."Kau! Bantu dia berganti pakaian." Raffael menyuruh salah satu karyawan butik di sana untuk membantu Syaqila.Sejak tadi perempuan itu terus berdiri di sana, mencuri pandang ke arah Raffael dengan waj
Syaqila tak bisa melupakan apa yang Raffael ucapkan padanya saat di ruang ganti. Tubuhnya bergemetar untuk sesaat, ketakutan. Dia khawatir jika pria itu benar-benar akan melancarkan niatnya. Bagaimana jika setelah ini ia tidak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan? Syaqila meremas rambutnya frustasi. Dia benar-benar menyesal atas tindakannya dulu. Andaikan ia bisa sedikit lebih dewasa, ia mungkin tidak akan menumbuhkan dendam di hati orang lain untuknya."Nona, jangan lakukan itu." Salah satu karyawan yang bertugas membantu merias Syaqila segera menegur saat tangan perempuan itu meremas rambutnya sendiri. Mengacaukan tatanan rambut yang semula nyaris sempurna. Kini ia harus mengulangnya lagi. "Rambut Anda jadi berantakan lagi."Syaqila dapat mendengar dengusan kasar karyawan di belakangnya. Sepertinya dia cukup kesal karena apa yang Syaqila lakukan."Maafkan aku.""Cobalah untuk rileks, Nona. Ini bahkan hanya foto keluarga, bukan foto pre wedding. Anda tidak perlu terlalu gugup."Si
Syaqila mencebik kala Raffael pergi meninggalkannya sendirian di sini. Pria itu bahkan tak mau menunggunya. Menjawab pertanyaannya dengan gumaman yang sama sekali tidak ada artinya.Apakah sebenci itu Raffael padanya?Syaqila mencoba mengerti. Kesalahannya pada pria itu terlalu banyak, terlalu besar. Masih untung pria itu tak memiliki niat untuk mendatangkan pembunuh bayaran untuknya.Namun, Syaqila masih berjaga untuk kemungkinan terburuk. Mungkin saja Raffael ingin membuat Syaqila lebih menderita. Mungkin pria itu ingin membunuh Syaqila dengan tangannya sendiri.Kacau!Syaqila meraup wajahnya kasar. Hanya dengan memikirkan bagaimana dendam Raffael padanya saja sudah membuat kakinya bergemetar. Dia tidak sanggup untuk berdiri. Rasanya terlalu takut.****Makan malam kali ini terasa jauh lebih dingin dan mencekam. Atau mungkin, itu hanya berlaku untuk Syaqila. Karena Raffael yang duduk di seberangnya tampak biasa. Pria itu masih dapat menikmati makanannya dengan santai.Orang tua mere
Jeslyn semakin membenci Syaqila, mahasiswi yang membuat dirinya tergeserkan sebagai primadona. Dia juga dengan lancang mendekati Raffael, pria yang diincar Jeslyn sejak ia menemukan pria itu di kampus pertama kali.Untuk posisi perempuan terpopuler di kampus, Jeslyn mungkin masih bisa mengalah. Tapi tidak untuk mendapatkan Raffael.Karena Syaqila yang berani mengibarkan bendera perang padanya, Jeslyn tidak akan segan membalasnya dengan kejam."Aku ingin berita tentang Syaqila yang menggoda Raffael tersebar luas di universitas."Seseorang yang diperintah oleh Jeslyn itu tampak menyeringai. Dia akan dengan senang hati menerima tawaran itu asalkan bayaran yang diberikan cukup menggiurkan."Baik, Jeslyn. Aku pastikan berita ini akan sampai ke semua telinga para mahasiswa."Jeslyn mengangguk puas. Kini hanya tinggal menunggu berita itu tersebar. Jeslyn yakin, orang-orang akan mulai menatap Syaqila dengan pandangan berbeda.Di tempat lain, Raffael terkejut saat teman-temannya membombardir d
Syaqila terjaga. Dia melihat sekitarnya. Tampaknya saat ini ia masih berada di klinik. Dengan kekuatannya yang tersisa, Syaqila membangunkan tubuhnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk di brankar.Tirai di sampingnya tiba-tiba terbuka. Orang yang datang itu ternyata adalah ibunya. Dia terlihat lega saat mendapati Syaqila sudah tersadar dari pingsannya."Syukurlah. Mama pikir kamu tidak akan cepat sadar," ucap Utari penuh syukur. "Syaqil, mama turut bersedih atas apa yang menimpamu. Tapi, hal ini tak membuat kamu lepas dari kesalahan.""Apa?" Syaqila mengerjap tak mengerti. Dia merasa tak melakukan kesalahan apapun. Masalah ini terjadi karena Jeslyn yang salah paham terhadap hubungan antara dirinya dengan Raffael. Meski berusaha mengingat apa saja yang telah dia lakukan, Syaqila tetap tak bisa menemukan dimana letak kesalahannya."Ingatlah Raffael itu adikmu. Meski kalian hanya saudara tiri, rasanya tak pantas jika kamu menggodanya."Syaqila tak percaya dengan apa yang ia dengar ini