Share

2 | Kebencian Rafael

Raffael terganggu dengan suara ketukan di pintu kamarnya. Dengan cepat ia mengenakan celana setelah melepas handuk yang semula melilit di pinggangnya. Dia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan mulut menganga.

Raffael mengernyit. Ia seperti tak asing dengan wajah perempuan itu? Tapi, yang cukup membuatnya terganggu adalah ekspresi perempuan itu yang kelewat kampungan.

Raffael menjentikkan jari di depan wajahnya hingga perempuan itu mengerjap dan segera tersadar.

"Mulut," tegur Raffael mengingatkan.

Tangan perempuan itu menyentuh bibirnya yang terbuka. Tampak jelas ekspresi malu di wajah perempuan ketika menyadari sedari tadi dia memasang ekspresi memalukan. Dan parahnya, dia juga meneteskan air liur di mulutnya itu.

Raffael bergidik.

"Maaf," ucap perempuan itu. Dia berdehem sesaat, sebelum akhirnya kembali berani menatapnya dengan sikap biasa. "Itu ... mama menyuruhmu turun. Makan malam sudah siap."

"Mama?" Raffael menaikkan satu alisnya. Dia merasa sedikit heran.

"Iya. Mama." Perempuan itu tampak bingung. "Mama Utari. Kau tidak mungkin lupa padanya, kan?"

Raffael tidak mengerti untuk beberapa saat. Dia pasti mengetahui wanita yang menjadi ibunya itu. Tapi yang mengherankan di sini adalah perempuan di depannya yang memanggil dengan panggilan yang sama.

Raffael tidak bisa menahan pertanyaan yang bersarang di benaknya sejak tadi.

"Kau siapa?" tanya Raffael menyipit curiga.

****

Bolehkah Syaqila mengamuk sekarang? Sial! Apa maksud pertanyaan Raffael padanya? Apakah enam tahun tidak bertemu membuat pria itu lupa jika ia memiliki seorang kakak?

Baiklah. Syaqila akui, ia juga sempat lupa. Tapi, dia segera mengingatnya setelah ibunya dengan senang hati menjabarkan setiap keburukan yang pernah ia lakukan dulu. Syaqila tidak mungkin melupakannya.

"Kamu lupa?" tanya Syaqila memastikan sekali lagi.

"Pergi!" Bukannya menjawab, Raffael justru mengusir Syaqila dengan pandangan dingin. Dia tampak tak peduli siapa Syaqila. Karena kenyataannya memang tidak penting baginya.

"Tunggu dulu!" Syaqila segera menahan saat Raffael hendak menutup pintu kamarnya. Pria itu tampak menatapnya tajam. Tapi, bukan Syaqila namanya jika dia takut hanya dengan tatapan seperti itu. "Kita kenalan saja jika kamu memang lupa padaku."

"Tidak butuh!" balas Raffael menohok. Dia mendorong Syaqila dan menutup pintu dengan keras.

Syaqila terdiam dengan wajah mengeras. Berani sekali adiknya itu memperlakukannya seperti ini. Niat untuk meminta maaf pada pria itu seketika sirna. Syaqila lebih berhasrat untuk membalas sikap Raffael yang kurang ajar padanya.

"Dasar gendut! Cebol! Jelek!" sungut Syaqila. Dia berjalan pergi dari sana dengan menggerutu kecil.

Sementara Raffael di dalam kamarnya bergeming. Pria itu tercenung mendengar lontaran kata Syaqila yang memang ditunjukkan untuk mengejeknya habis-habisan. Raffael seolah baru menyadari sesuatu sejak tadi. Pria itu menoleh ke pintu, satu sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringai.

"Syaqila." Dia akhirnya bertemu dengan perempuan yang ia sebut sebagai medusa di masa lalu. Raffael tidak akan pernah melupakan masa kecilnya yang kelam akibat perlakuan Syaqila yang sering menindasnya tanpa alasan. Tidak sekali dua kali Raffael terkena masalah akibat Syaqila. Bahkan Raffael kerap kali dihukum atas kesalahan yang tidak ia perbuat. Semua karena perempuan itu. Perempuan siluman itu.

"Sepertinya akan semakin menarik setelah ini."

****

Raffael turun dari kamarnya. Dilihatnya, semua keluarganya sudah berkumpul di meja makan, begitu pula Syaqila yang kini duduk dengan wajah merenggut.

Raffael duduk di samping perempuan itu. Bukan keinginannya, tapi karena status mereka sebagai kakak adik, mereka harus berada di tempat yang berdekatan. Mereka duduk tepat di sisi kanan ayahnya yang duduk di kursi utama. Sementara ibunya duduk di seberang, tepat di samping suaminya.

Lalu disusul keluarganya yang lain, yang merupakan bibi, paman, serta keponakan mereka. Suasana rumah begitu berisik dan ramai. Raffael berusaha untuk tidak terganggu meski sebenarnya ia kurang menyukai suasana saat ini.

Saat tengah asik menikmati makan, seseorang di sisinya tiba-tiba tersedak. Sontak, Raffael mendelik tak suka pada Syaqila yang kini meraih gelas dengan ekspresi menyedihkan. Raffael memberi jarak supaya air liur perempuan itu tidak mengenainya. Tapi seperti tidak puas, ia justru mencengkram lengan kemeja Raffael. Raffael terbelalak, pakaian yang ia kenakan jadi kusut dan kotor. Rasanya dia sangat ingin menepis kasar tangan perempuan itu. Sayangnya, ia tidak bisa melakukan hal itu di sini, tepat di depan orang tuanya.

"Antar aku ke kamar," pinta Syaqila, menatap Raffael dengan pandangan memohon.

Sedikit pun Raffael tak tersentuh. Ia justru berusaha menahan diri untuk tidak menampar wajah perempuan itu supaya menjauh darinya.

"Raffa, sebaiknya antar Syaqila. Sepertinya dia kurang sehat," ucap Fabian, sang kepala keluarga di rumah ini.

Raffael ingin menolak, tapi itu tentu saja tidak mungkin. Dia tidak bisa membantah ucapan ayahnya.

Setelah menghembuskan napas kasar dari mulutnya, Raffael membantu Syaqila untuk pergi meninggalkan ruang makan. Suasana di sana tidak berubah meski mereka berdua pergi dari sana. Keluarga besarnya memang senang mengadakan pesta seperti ini. Tak ada satu atau dua orang di sana tak akan membuat suasana jadi berbeda. Mereka masih bisa bersenang-senang dan menikmati acara dengan orang-orang yang ada.

Setelah sampai, Raffael segera melepaskan Syaqila. Dia memberi jarak yang lumayan karena sejak tadi dia memang tidak nyaman merapatkan tubuh dengan perempuan itu.

"Kenapa?" Syaqila mengerjap bingung. Tingkah Raffael terasa berbeda, dan tampak tidak nyaman ketika bersamanya. Lebih dari itu, sebenarnya ekspresi yang ditunjukkan pria itu cukup membuat Syaqila tersinggung. Tapi ia masih berusaha menepis perasaan tidak enaknya itu.

"Sudah sampai. Sekarang aku akan pergi." Raffael berbalik, hendak pergi. Tapi lengannya ditahan sehingga terpaksa ia kembali berhenti. Dia segera melepaskan tangan Syaqila yang menyentuhnya.

Sikap Raffael itu membuat wajah Syaqila semakin kusut. "Apa maksud sikapmu itu?"

Dia tidak bisa membiarkan hal ini lebih lama. Berkat Raffael, harga diri Syaqila tersentil. Setidaknya pria itu harus mendapat hukuman karena berani memperlakukannya seperti ini.

"Menurutmu?"

"Apa kau jijik padaku?" tanya Syaqila curiga. Dari setiap sikap Raffael, hal itu sebenarnya sudah terlihat jelas. Akan tetapi Syaqila masih berusaha menepisnya. Tidak mungkin pria yang merupakan adik tirinya itu jijik padanya, kan? Dia mungkin hanya bersandiwara karena masih dendam atas kejadian di masa lalu.

"Sejujurnya, ya."

Jawaban Raffael tidak terduga, Syaqila yang tidak siap akan mendapat jawaban itu seketika membeku tak percaya.

Pria itu melipat kedua tangannya di dada, memperhatikan Syaqila kembali memasang wajah bodoh itu lagi. Setelah enam tahun, perempuan itu bukannya menjadi lebih baik justru malah menjadi lebih buruk. Dia tidak terlalu cantik dan sikapnya tidak anggun sama sekali. Jangankan untuk mengagumi, memandangnya saja membuat Raffael malas.

"Aku tidak menyukaimu. Keberadaanmu di sekitarku itu sangat mengganggu. Jadi, kuharap ke depannya kamu tidak lagi bersikap seperti tadi. Demi Tuhan! Kamu itu menjijikan."

Syaqila membatu. Raffael sudah pergi setelah mengatakan kata-kata yang menusuk itu. Bahkan pandangan tajamnya masih bisa Syaqila ingat dengan sangat jelas. Sorot penuh kebencian itu begitu kental.

"Sialan!" Tangan Syaqila mengepal. Dia merasa terhina. Air matanya berjatuhan. Tapi ekspresi wajahnya hanya menunjukkan kemarahan. Dia ingin membalas, ingin melakukan pembelaan. Tapi hingga pria itu pergi, mulut Syaqila senantiasa terkatup rapat. Sisi hatinya merasa tak layak untuk bicara karena ia sadar kesalahannya pada Raffael di masa lalu juga tak bisa dimaafkan.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status