Share

Antara Aku dan Adik Tiriku
Antara Aku dan Adik Tiriku
Penulis: Rish Alra

1 | Bertemu Kembali

Syaqila berjalan tergesa ke dalam rumahnya. Saat siang tadi, sewaktu ia tengah sibuk berbincang dengan teman-temannya, orang tuanya tiba-tiba menelepon dan menyuruhnya untuk segera pulang tanpa mau menjelaskan apa alasannya. Syaqila kesal setengah mati, tapi ia tak bisa meluapkan amarahnya. Bisa-bisa orang tuanya kembali menyemburnya dengan kemarahan yang lebih. Untuk sekarang Syaqilla mencoba bersabar. Semoga setelah sampai di rumah ia akan mendapat sesuatu yang bisa sedikit menyenangkan hatinya.

Namun saat kakinya melewati pintu, Syaqila mendadak berhenti. Dahinya mengernyit heran melihat suasana rumah yang ramai. Seluruh anggota keluarga turut hadir di sana. Syaqila jadi bertanya-tanya, ada acara apa hingga semua orang berkumpul di sini?

"Syaqila!"

Syaqila menoleh ketika mendengar suara ibunya memanggil. Dilihatnya wanita itu berjalan mendekat dengan tergesa. Lalu tangannya menarik Syaqila supaya mengikutinya hingga ke dapur.

"Kamu teruskan ini. Mama akan memotong sayuran. Sudah mama kasih bumbu. Hanya tinggal menunggu matang."

Syaqila hanya bergeming dengan bingung. Dia baru sampai dan sudah dihadapkan dengan wajan berisi masakan yang hampir matang. Syaqila masih belum mengerti untuk apa ia disuruh melakukan ini?

"Ma, sebenarnya ada apa?" Syaqila tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama. Terlebih, dengan keadaan di sekitarnya saat ini. Syaqila merasa dia adalah satu-satunya orang bodoh di sini karena tidak mengetahui apapun.

"Kamu tidak tahu?" Bukannya menjawabnya, Utari justru bertanya dengan ekspresi polos. "Apa mama yang lupa memberitahumu, ya?"

Syaqila berdecak. "Mama tidak mengatakan apapun. Mama hanya menyuruh aku pulang, tapi tidak mengatakan alasannya," jelas Syaqila.

"Oh, berarti mama lupa memberitahumu," sahut Utari menganggukan kepalanya. Dia menatap putrinya itu dan menejelaskan. "Kamu ingat adikmu?"

"Adik?" Syaqila tampak bingung. "Sejak kapan aku punya adik?"

Utari yang kesal memukul kepala putrinya itu dengan spatula hingga Syaqila meringis memegangi kepalanya.

"Bisa-bisanya kamu lupa dengan adik kamu sendiri," gerutu Utari. Dia menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Seingatku, aku memang tidak punya adik," gumam Syaqila. Dia masih ingat saat ia meminta adik pada ibunya, ibunya itu menolak dan malah meminta Syaqila untuk menganggap sepupu-sepupu kecilnya sebagai adik. Tapi, tentu saja itu akan berbeda. Adik-adik sepupunya itu tidak akan bisa bebas bermain dengannya. Mereka juga tidak bisa bebas menginap di sini karena mereka pasti akan lebih memilih ikut pulang jika orang tua mereka pergi.

"Adik yang mana sih? Bukannya aku anak tunggal?" ucap Syaqila tetap menyanggah ucapan ibunya.

"Raffael Abercio," balas Utari sedikit gemas. Bagaimana bisa putrinya itu melupakan adiknya sendiri? Meski sudah lama mereka tidak bertemu, seharusnya Syaqila tahu dia bukan satu-satunya putri Dermawangsa.

"Raffael?" Syaqila bertanya skeptis. "Maksud mama bocah cebol yang dulu sering ku ganggu?"

"Ya, itu!" Utari menjentikkan jarinya, tampak puas. "Kamu ingat ternyata."

Syaqila termenung. Bagaimana ia bisa lupa tentang Raffael? Bocah gendut yang dulu dibawa oleh ayah tirinya, dikenalkan padanya sebagai adik yang tidak diterima dengan baik oleh Syaqila. Bagaimana bisa ia menerima bocah gendut, cengeng, ingusan, dan jelek itu sebagai adiknya?

Syaqila memang menginginkan adik. Tapi adiknya tentu harus lucu dan menggemaskan. Bukan gendut dan mengerikan. Syaqila bahkan tidak mau berdekatan dengan Raffael saat itu.

Kehadiran Raffael tidak disukai Syaqila. Karena itu ia berusaha mengganggunya setiap ada kesempatan. Berharap dengan itu Raffael jengah dan memilih meninggalkan rumah.

Tak terhitung berapa kali Raffael menangis dan terluka karena ulah Syaqila. Namun dengan segala dalihnya, Syaqila selalu lolos dari tuduhan. Hal itu mungkin membuat Raffael lelah hingga suatu hari Syaqila mengetahui jika Raffael memutuskan untuk pindah ke tempat kakek dan neneknya di Inggris.

Sudah enam tahun sejak itu, Syaqila tidak pernah lagi mendengar apapun tentang Raffael. Syaqila kira, bocah itu tidak akan lagi mau menginjakkan kaki ke sini.

Syaqila meringis mengingat kelakuannya dulu. Jika dipikir lagi, bukankah dia keterlaluan sudah memperlakukan adiknya sendiri seperti itu? Betapa buruknya dia sebagai kakak. Syaqila bahkan bersuka ria saat berhasil membuat Raffael pergi dari rumah kala itu. Haruskah Syaqila meminta maaf pada Raffael saat mereka bertemu?

"Kamu jangan jahil lagi, ya!" Seolah hafal bagaimana sifat putrinya, Utari menasehatinya sebelum Syaqila benar-benar bertemu dengan adiknya. Dulu Utari mungkin diam saja karena dia berusaha memaklumi sikap Syaqila yang masih anak-anak. Namun sekarang, usia Syaqila sudah menginjak 19 Tahun. Tidak bisa disebut remaja apalagi anak-anak. Dia sudah harus bisa berpikir dewasa.

"Kamu itu bukan anak kecil lagi, Syaqil. Tidak pantas jika kamu masih saja usil seperti itu. Seharusnya kamu bersikap sebagai kakak yang baik."

"Aku tahu," jawab Syaqila. Dia sadar dirinya memang salah. Tapi saat ibunya mengomelinya seperti ini, entah kenapa Syaqila justru merasa tidak terima.

"Untuk langkah pertama, tolong kamu panggilkan Raffael. Suruh turun karena makan malam sudah siap," titah Utari. Wanita itu tampak tidak ingin mendengar bantahan apapun. Ini juga ia lakukan demi bisa mendamaikan kedua anaknya yang tidak memiliki kenangan bagus di masa kecil mereka.

"Kenapa harus aku?" protes Syaqila. Dia mungkin tidak kebertaan menemui Raffael dan meminta maaf padanya. Tapi jika detik ini juga, tentu saja Syaqila tidak siap. Bagaimana jika Raffael langsung memukulnya saat pertama melihat wajahnya? Syaqila tahu, bocah itu sudah bukan anak kecil yang hanya bisa menangis ketika Syaqila berulah. Sekarang dia bisa saja membalas Syaqila dengan memukul atau menamparnya. Lebih buruk, dia mungkin bisa membalikkan keadaan. Tidak ada yang bisa mengira, semua orang bisa berubah dengan cepat, bukan?

Baru memikirkan semua kemungkinan itu saja sudah membuat dada Syaqila terasa sesak.

"Ya ampun, Ma. Aku sesak napas." Syaqila memegangi lengan ibunya dengan wajah pucat. "Sepertinya aku tidak bisa menemui Raffael."

"Tidak perlu berdrama, kamu!" Utari menampar kecil wajah putrinya dengan ekspresi datar. "Sejak kapan kamu punya asma? Dari kecil kamu bahkan jarang sakit."

Syaqila mencebikkan bibirnya. Gagal sudah rencananya untuk membujuk ibunya. Ternyata ibunya sudah bisa menebak meski acting Syaqila sudah sangat bagus.

"Sudah sana panggil Raffael!" Utari mendorong tubuh Syaqila supaya cepat pergi melaksanakan apa yang ia perintahkan. Wanita itu mengacungkan spatula tepat di depan wajah putrinya dengan ekspresi mengancam. "Awas saja jika kamu sampai kabur tanpa menuruti perintah mama."

Syaqila menelan ludahnya dengan sulit. Dia menghembuskan napas kasar. Lalu berjalan pergi dengan langkah yang terasa sangat berat.

Jarak dari dapur ke kamar Raffael di lantai dua tidak terlalu jauh, tapi karena keengganan Syaqila pergi ke sana, kedua kakinya terasa begitu berat ketika digerakkan. Ugh! Dia merasa seperti nenek-nenek yang sulit berjalan.

Setibanya di kamar yang dituju, Syaqila menarik napas sesaat. Tangannya terangkat, mengetuk pintu dengan ringan.

"Raffa! Mama menyuruhmu untuk turun!" seru Syaqila. Dia mencoba bersikap biasa, padahal dalam hati ketar-ketir, takut saat Raffael melihat wajahnya dia akan segera mengamuk.

"Raff-"

Saat hendak mencoba memanggil sekali lagi, pintu di depannya tiba-tiba terbuka. Syaqila menahan napas. Bukan karena takut atau terkejut, dia terperangah melihat sosok di depannya.

Bukan bocah cebol, jelek, ingusan yang dia lihat enam tahun lalu. Di depannya saat ini berdiri seorang pria tampan —ralat! Sangat tampan! Tubuhnya basah seperti habis mandi, begitu pun dengan rambutnya. Aroma yang menguar dari tubuhnya begitu menggoda. Tetesan air dari helaian rambutnya itu menetes di dada dan mengalir ke tubuhnya melewati otot perut yang menggoda untuk diraba.

Sial! Bagaimana pria sexy itu bisa berada di rumahnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status