Syaqila berjalan tergesa ke dalam rumahnya. Saat siang tadi, sewaktu ia tengah sibuk berbincang dengan teman-temannya, orang tuanya tiba-tiba menelepon dan menyuruhnya untuk segera pulang tanpa mau menjelaskan apa alasannya. Syaqila kesal setengah mati, tapi ia tak bisa meluapkan amarahnya. Bisa-bisa orang tuanya kembali menyemburnya dengan kemarahan yang lebih. Untuk sekarang Syaqilla mencoba bersabar. Semoga setelah sampai di rumah ia akan mendapat sesuatu yang bisa sedikit menyenangkan hatinya.
Namun saat kakinya melewati pintu, Syaqila mendadak berhenti. Dahinya mengernyit heran melihat suasana rumah yang ramai. Seluruh anggota keluarga turut hadir di sana. Syaqila jadi bertanya-tanya, ada acara apa hingga semua orang berkumpul di sini?
"Syaqila!"
Syaqila menoleh ketika mendengar suara ibunya memanggil. Dilihatnya wanita itu berjalan mendekat dengan tergesa. Lalu tangannya menarik Syaqila supaya mengikutinya hingga ke dapur.
"Kamu teruskan ini. Mama akan memotong sayuran. Sudah mama kasih bumbu. Hanya tinggal menunggu matang."
Syaqila hanya bergeming dengan bingung. Dia baru sampai dan sudah dihadapkan dengan wajan berisi masakan yang hampir matang. Syaqila masih belum mengerti untuk apa ia disuruh melakukan ini?
"Ma, sebenarnya ada apa?" Syaqila tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama. Terlebih, dengan keadaan di sekitarnya saat ini. Syaqila merasa dia adalah satu-satunya orang bodoh di sini karena tidak mengetahui apapun.
"Kamu tidak tahu?" Bukannya menjawabnya, Utari justru bertanya dengan ekspresi polos. "Apa mama yang lupa memberitahumu, ya?"
Syaqila berdecak. "Mama tidak mengatakan apapun. Mama hanya menyuruh aku pulang, tapi tidak mengatakan alasannya," jelas Syaqila.
"Oh, berarti mama lupa memberitahumu," sahut Utari menganggukan kepalanya. Dia menatap putrinya itu dan menejelaskan. "Kamu ingat adikmu?"
"Adik?" Syaqila tampak bingung. "Sejak kapan aku punya adik?"
Utari yang kesal memukul kepala putrinya itu dengan spatula hingga Syaqila meringis memegangi kepalanya.
"Bisa-bisanya kamu lupa dengan adik kamu sendiri," gerutu Utari. Dia menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Seingatku, aku memang tidak punya adik," gumam Syaqila. Dia masih ingat saat ia meminta adik pada ibunya, ibunya itu menolak dan malah meminta Syaqila untuk menganggap sepupu-sepupu kecilnya sebagai adik. Tapi, tentu saja itu akan berbeda. Adik-adik sepupunya itu tidak akan bisa bebas bermain dengannya. Mereka juga tidak bisa bebas menginap di sini karena mereka pasti akan lebih memilih ikut pulang jika orang tua mereka pergi.
"Adik yang mana sih? Bukannya aku anak tunggal?" ucap Syaqila tetap menyanggah ucapan ibunya.
"Raffael Abercio," balas Utari sedikit gemas. Bagaimana bisa putrinya itu melupakan adiknya sendiri? Meski sudah lama mereka tidak bertemu, seharusnya Syaqila tahu dia bukan satu-satunya putri Dermawangsa.
"Raffael?" Syaqila bertanya skeptis. "Maksud mama bocah cebol yang dulu sering ku ganggu?"
"Ya, itu!" Utari menjentikkan jarinya, tampak puas. "Kamu ingat ternyata."
Syaqila termenung. Bagaimana ia bisa lupa tentang Raffael? Bocah gendut yang dulu dibawa oleh ayah tirinya, dikenalkan padanya sebagai adik yang tidak diterima dengan baik oleh Syaqila. Bagaimana bisa ia menerima bocah gendut, cengeng, ingusan, dan jelek itu sebagai adiknya?
Syaqila memang menginginkan adik. Tapi adiknya tentu harus lucu dan menggemaskan. Bukan gendut dan mengerikan. Syaqila bahkan tidak mau berdekatan dengan Raffael saat itu.
Kehadiran Raffael tidak disukai Syaqila. Karena itu ia berusaha mengganggunya setiap ada kesempatan. Berharap dengan itu Raffael jengah dan memilih meninggalkan rumah.
Tak terhitung berapa kali Raffael menangis dan terluka karena ulah Syaqila. Namun dengan segala dalihnya, Syaqila selalu lolos dari tuduhan. Hal itu mungkin membuat Raffael lelah hingga suatu hari Syaqila mengetahui jika Raffael memutuskan untuk pindah ke tempat kakek dan neneknya di Inggris.
Sudah enam tahun sejak itu, Syaqila tidak pernah lagi mendengar apapun tentang Raffael. Syaqila kira, bocah itu tidak akan lagi mau menginjakkan kaki ke sini.
Syaqila meringis mengingat kelakuannya dulu. Jika dipikir lagi, bukankah dia keterlaluan sudah memperlakukan adiknya sendiri seperti itu? Betapa buruknya dia sebagai kakak. Syaqila bahkan bersuka ria saat berhasil membuat Raffael pergi dari rumah kala itu. Haruskah Syaqila meminta maaf pada Raffael saat mereka bertemu?
"Kamu jangan jahil lagi, ya!" Seolah hafal bagaimana sifat putrinya, Utari menasehatinya sebelum Syaqila benar-benar bertemu dengan adiknya. Dulu Utari mungkin diam saja karena dia berusaha memaklumi sikap Syaqila yang masih anak-anak. Namun sekarang, usia Syaqila sudah menginjak 19 Tahun. Tidak bisa disebut remaja apalagi anak-anak. Dia sudah harus bisa berpikir dewasa.
"Kamu itu bukan anak kecil lagi, Syaqil. Tidak pantas jika kamu masih saja usil seperti itu. Seharusnya kamu bersikap sebagai kakak yang baik."
"Aku tahu," jawab Syaqila. Dia sadar dirinya memang salah. Tapi saat ibunya mengomelinya seperti ini, entah kenapa Syaqila justru merasa tidak terima.
"Untuk langkah pertama, tolong kamu panggilkan Raffael. Suruh turun karena makan malam sudah siap," titah Utari. Wanita itu tampak tidak ingin mendengar bantahan apapun. Ini juga ia lakukan demi bisa mendamaikan kedua anaknya yang tidak memiliki kenangan bagus di masa kecil mereka.
"Kenapa harus aku?" protes Syaqila. Dia mungkin tidak kebertaan menemui Raffael dan meminta maaf padanya. Tapi jika detik ini juga, tentu saja Syaqila tidak siap. Bagaimana jika Raffael langsung memukulnya saat pertama melihat wajahnya? Syaqila tahu, bocah itu sudah bukan anak kecil yang hanya bisa menangis ketika Syaqila berulah. Sekarang dia bisa saja membalas Syaqila dengan memukul atau menamparnya. Lebih buruk, dia mungkin bisa membalikkan keadaan. Tidak ada yang bisa mengira, semua orang bisa berubah dengan cepat, bukan?
Baru memikirkan semua kemungkinan itu saja sudah membuat dada Syaqila terasa sesak.
"Ya ampun, Ma. Aku sesak napas." Syaqila memegangi lengan ibunya dengan wajah pucat. "Sepertinya aku tidak bisa menemui Raffael."
"Tidak perlu berdrama, kamu!" Utari menampar kecil wajah putrinya dengan ekspresi datar. "Sejak kapan kamu punya asma? Dari kecil kamu bahkan jarang sakit."
Syaqila mencebikkan bibirnya. Gagal sudah rencananya untuk membujuk ibunya. Ternyata ibunya sudah bisa menebak meski acting Syaqila sudah sangat bagus.
"Sudah sana panggil Raffael!" Utari mendorong tubuh Syaqila supaya cepat pergi melaksanakan apa yang ia perintahkan. Wanita itu mengacungkan spatula tepat di depan wajah putrinya dengan ekspresi mengancam. "Awas saja jika kamu sampai kabur tanpa menuruti perintah mama."
Syaqila menelan ludahnya dengan sulit. Dia menghembuskan napas kasar. Lalu berjalan pergi dengan langkah yang terasa sangat berat.
Jarak dari dapur ke kamar Raffael di lantai dua tidak terlalu jauh, tapi karena keengganan Syaqila pergi ke sana, kedua kakinya terasa begitu berat ketika digerakkan. Ugh! Dia merasa seperti nenek-nenek yang sulit berjalan.
Setibanya di kamar yang dituju, Syaqila menarik napas sesaat. Tangannya terangkat, mengetuk pintu dengan ringan.
"Raffa! Mama menyuruhmu untuk turun!" seru Syaqila. Dia mencoba bersikap biasa, padahal dalam hati ketar-ketir, takut saat Raffael melihat wajahnya dia akan segera mengamuk.
"Raff-"
Saat hendak mencoba memanggil sekali lagi, pintu di depannya tiba-tiba terbuka. Syaqila menahan napas. Bukan karena takut atau terkejut, dia terperangah melihat sosok di depannya.
Bukan bocah cebol, jelek, ingusan yang dia lihat enam tahun lalu. Di depannya saat ini berdiri seorang pria tampan —ralat! Sangat tampan! Tubuhnya basah seperti habis mandi, begitu pun dengan rambutnya. Aroma yang menguar dari tubuhnya begitu menggoda. Tetesan air dari helaian rambutnya itu menetes di dada dan mengalir ke tubuhnya melewati otot perut yang menggoda untuk diraba.
Sial! Bagaimana pria sexy itu bisa berada di rumahnya?
Raffael terganggu dengan suara ketukan di pintu kamarnya. Dengan cepat ia mengenakan celana setelah melepas handuk yang semula melilit di pinggangnya. Dia berjalan mendekati pintu dan membukanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan mulut menganga.Raffael mengernyit. Ia seperti tak asing dengan wajah perempuan itu? Tapi, yang cukup membuatnya terganggu adalah ekspresi perempuan itu yang kelewat kampungan.Raffael menjentikkan jari di depan wajahnya hingga perempuan itu mengerjap dan segera tersadar."Mulut," tegur Raffael mengingatkan.Tangan perempuan itu menyentuh bibirnya yang terbuka. Tampak jelas ekspresi malu di wajah perempuan ketika menyadari sedari tadi dia memasang ekspresi memalukan. Dan parahnya, dia juga meneteskan air liur di mulutnya itu.Raffael bergidik."Maaf," ucap perempuan itu. Dia berdehem sesaat, sebelum akhirnya kembali berani menatapnya dengan sikap biasa. "Itu ... mama menyuruhmu turun. Makan
Syaqila tidak berselera, hingga makanan di depannya ini hanya ia mainkan saja tanpa ia santap dengan benar. Untuk membawanya masuk ke dalam mulut pun tangannya begitu enggan. Mereka terlihat tidak enak, terlebih setelah tangan Syaqila sejak tadi hanya mengaduk-aduknya. Mungkin makanan di piringnya saat ini akan berakhir di tempat sampah setelah ia puas mengacak-acaknya."Syaqil!"Syaqila menoleh. Dia melihat ekspresi khawatir yang ditunjukkan Diandra."Ada apa denganmu? Kau terlihat seperti memiliki masalah. Apakah ada sesuatu?" Diandra sudah berteman dengan Syaqila sejak SMA, ia tentu saja menyadari ada yang tak biasa dari sikap Syaqila sejak tadi. Diandra tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.Syaqila menghembuskan napas kasar dari mulutnya, sebelum akhirnya menjawab, "Tidak ada. Aku baik-baik saja.""Kau terlihat jelas sedang berbohong saat ini." Kedua mata Diandra memincing curiga pada Syaqila. "Jangan menutupi apapun, Sya. Apa aku tidak kau anggap sebagai sahabatmu? Kenapa kamu
"Sial! Bahkan suaranya saja terdengar sangat sexy." Diandra tak bisa menahan kekagumannya pada Raffael. Semakin dilihat dari dekat, pria itu semakin mempesona. Wajahnya benar-benar tampan, tubuhnya tinggi dan tegap. Dan lihatlah lengannya itu, sepertinya dia juga rajin berolahraga hingga tubuhnya bisa begitu sempurna."Diandra! Berhentilah bersikap memalukan," tegur Syaqila. Apakah temannya itu tidak melihat beberapa orang jadi memperhatikan meja mereka akibat sikap Diandra yang memalukan. Mereka pasti bertanya tentang kewarasan Diandra saat ini, karena temannya itu memang terlihat gila sekarang."Syaqila, maaf jika aku mengkhianatimu. Tapi, demi Tuhan! Aku tidak bisa menahan pesona adik tirimu itu. Dia benar-benar tipeku!" pekik Diandra tertahan. Dia tampak kegirangan, seolah baru mendapatkan sesuatu yang ia impikan sejak lama.Syaqila menyingkirkan tangan Diandra yang menahan kedua pundaknya dan menggoyangkannya dengan heboh. Di saat seperti ini ia harus sabar karena Diandra tidak a
Syaqila berjalan ke parkiran, menghampiri Raffael yang berdiri di samping mobil sambil menunduk, bermain dengan handphone-nya. Seolah menyadari kehadiran Syaqila, pria itu akhirnya mengangkat wajahnya.Syaqila menahan napas sesaat. Pria itu selalu terlihat mempesona. Tapi dengan segera Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh bertingkah memalukan lagi. Terakhir kali, Syaqila bahkan menatap adik tirinya itu dengan mulut menganga. Jika Syaqila mengingatnya, rasanya ia ingin mengubur kepalanya di tanah."Masuk!" Raffael mengedikkan kepalanya, meminta Syaqila masuk ke dalam mobil tanpa mau repot-repot membukakan pintu untuknya.Syaqila melengos. Dia berusaha mengerti. Lagipula, Raffael tidak mungkin mau bersikap baik padanya. Untuk bicara dengannya saja sepertinya pria itu juga berusaha menahan kebencian di hatinya pada Syaqila.Syaqila melirik pria di sampingnya. Sepanjang jalan, Raffael tidak bicara. Pria itu hanya fokus mengendarai mobilnya. Wajahnya datar, pandangannya dingin.
Syaqila terbangun karena keadaan sekitarnya terdengar begitu bising. Saat kedua matanya terbuka, Syaqila terkejut. Dia membangunkan tubuhnya dengan cepat. Pandangannya menyapu sekitar. Satu pertanyan bersarang di kepalanya.Ini dimana?"Kau sudah sadar?"Suara dingin itu mengejutkan Syaqila. Dia sempat berpikir itu suara hantu. Namun dugaannya terpatahkan saat ia menemukan sosok adiknya yang menyebalkan berdiri di sampingnya.Syaqila ingin mengutuk pria itu yang sayangnya terlihat lebih mempesona dari sebelumnya.Sial! Siapa yang menyuruh pria itu mengenakan tuxedo? Dengan balutan pakaian itu, Syaqila bahkan nyaris mimisan melihatnya.Namun, demi menjunjung tinggi harga dirinya, Syaqila menahan segala pujian untuk pria itu. Meski hatinya benar-benar menggila hanya karena melihat rupanya."Kau! Bantu dia berganti pakaian." Raffael menyuruh salah satu karyawan butik di sana untuk membantu Syaqila.Sejak tadi perempuan itu terus berdiri di sana, mencuri pandang ke arah Raffael dengan waj
Syaqila tak bisa melupakan apa yang Raffael ucapkan padanya saat di ruang ganti. Tubuhnya bergemetar untuk sesaat, ketakutan. Dia khawatir jika pria itu benar-benar akan melancarkan niatnya. Bagaimana jika setelah ini ia tidak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan? Syaqila meremas rambutnya frustasi. Dia benar-benar menyesal atas tindakannya dulu. Andaikan ia bisa sedikit lebih dewasa, ia mungkin tidak akan menumbuhkan dendam di hati orang lain untuknya."Nona, jangan lakukan itu." Salah satu karyawan yang bertugas membantu merias Syaqila segera menegur saat tangan perempuan itu meremas rambutnya sendiri. Mengacaukan tatanan rambut yang semula nyaris sempurna. Kini ia harus mengulangnya lagi. "Rambut Anda jadi berantakan lagi."Syaqila dapat mendengar dengusan kasar karyawan di belakangnya. Sepertinya dia cukup kesal karena apa yang Syaqila lakukan."Maafkan aku.""Cobalah untuk rileks, Nona. Ini bahkan hanya foto keluarga, bukan foto pre wedding. Anda tidak perlu terlalu gugup."Si
Syaqila mencebik kala Raffael pergi meninggalkannya sendirian di sini. Pria itu bahkan tak mau menunggunya. Menjawab pertanyaannya dengan gumaman yang sama sekali tidak ada artinya.Apakah sebenci itu Raffael padanya?Syaqila mencoba mengerti. Kesalahannya pada pria itu terlalu banyak, terlalu besar. Masih untung pria itu tak memiliki niat untuk mendatangkan pembunuh bayaran untuknya.Namun, Syaqila masih berjaga untuk kemungkinan terburuk. Mungkin saja Raffael ingin membuat Syaqila lebih menderita. Mungkin pria itu ingin membunuh Syaqila dengan tangannya sendiri.Kacau!Syaqila meraup wajahnya kasar. Hanya dengan memikirkan bagaimana dendam Raffael padanya saja sudah membuat kakinya bergemetar. Dia tidak sanggup untuk berdiri. Rasanya terlalu takut.****Makan malam kali ini terasa jauh lebih dingin dan mencekam. Atau mungkin, itu hanya berlaku untuk Syaqila. Karena Raffael yang duduk di seberangnya tampak biasa. Pria itu masih dapat menikmati makanannya dengan santai.Orang tua mere
Jeslyn semakin membenci Syaqila, mahasiswi yang membuat dirinya tergeserkan sebagai primadona. Dia juga dengan lancang mendekati Raffael, pria yang diincar Jeslyn sejak ia menemukan pria itu di kampus pertama kali.Untuk posisi perempuan terpopuler di kampus, Jeslyn mungkin masih bisa mengalah. Tapi tidak untuk mendapatkan Raffael.Karena Syaqila yang berani mengibarkan bendera perang padanya, Jeslyn tidak akan segan membalasnya dengan kejam."Aku ingin berita tentang Syaqila yang menggoda Raffael tersebar luas di universitas."Seseorang yang diperintah oleh Jeslyn itu tampak menyeringai. Dia akan dengan senang hati menerima tawaran itu asalkan bayaran yang diberikan cukup menggiurkan."Baik, Jeslyn. Aku pastikan berita ini akan sampai ke semua telinga para mahasiswa."Jeslyn mengangguk puas. Kini hanya tinggal menunggu berita itu tersebar. Jeslyn yakin, orang-orang akan mulai menatap Syaqila dengan pandangan berbeda.Di tempat lain, Raffael terkejut saat teman-temannya membombardir d