เข้าสู่ระบบLangkah Ezra terasa berat ketika ia meninggalkan ruang rawat VVIP. Sepanjang koridor, kepalanya penuh gema suara Cantika tadi.
“Wajahmu kusut, matamu merah. Kalau kamu sakit, siapa yang mau bantuin aku jagain Selena?” Nada Cantika memang datar, dingin, bahkan ketus. Tapi Ezra tahu di balik kalimat itu terselip perhatian yang tulus. Setelah menyalakan mobil, ia duduk lama di parkiran, menatap setir tanpa menyalakan mesin. “Aku beneran pulang? Apa ini langkahnya Cantika buat menjauhkan aku?” gumamnya lirih. Namun akhirnya ia menekan tombol engine, meninggalkan rumah sakit menuju rumah yang seharusnya terasa hangat tapi kini dingin menusuk. Sesampainya di rumah, Ezra langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras, tapi bukannya menyegarkan, justru terasa seperti menelanjangi hatinya yang penuh luka. Di cermin berembun, ia melihat bayangan dirinya sendiri—mata cekung, rahang mengeras. “Cantika masih peduli … tapi aku? Aku malah—” Suara notifikaKeesokan paginya, di saat sinar matahari menyusup lembut dari sela tirai kamar rawat dan aroma antiseptik masih samar memenuhi ruangan—Selena masih terlelap dengan wajah tenang, pipinya sudah tidak sepucat kemarin. Cantika sudah bangun, duduk di kursi samping ranjang pasien. Selama menunggui Selena—dia nyaris tidak bisa tidur dengan lelap. Ketukan pintu terdengar. Seorang dokter masuk bersama dua perawat. Ezra dan Cantika segera berdiri, menyambut dengan tatapan penuh cemas. “Pagi, Pak … Bu,” sapa dokter sambil tersenyum tipis. “Saya sudah lihat hasil pemeriksaan terakhir Selena. Semua tanda vitalnya stabil, hasil tes darah juga normal. Jadi … Selena boleh pulang hari ini. Tinggal dipantau pemulihannya di rumah.” Seakan beban besar runtuh dari bahu, Ezra langsung menunduk, mengembuskan napas lega begitu juga dengan Cantika yang meski tersenyum namun matanya berkaca-kaca. “Jadi … Selena benar-benar sudah boleh pulang, Dok?” suaranya bergetar. Dokter
Selena akhirnya terlelap dengan tenang setelah minum obat, napas kecilnya teratur, sesekali jemarinya bergerak seolah meraih mimpi yang indah. Seketika ruang rawat VVIP itu mendadak hening, hanya terdengar suara mesin pendingin ruangan dan detak jam dinding. Ezra yang duduk di kursi samping ranjang Selena, memandang putri kecilnya lama lalu bangkit. “Aku ke kamar mandi sebentar, mau mandi sama ganti baju,” ujarnya singkat. Cantika mengangguk lantas bangkit dari sofa, tanpa menatap Ezra—dia duduk menggantikan suaminya di kursi samping ranjang. Tak lama kemudian terdengar suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi. Sunyi menyelimuti kembali ruangan itu. Cantika menoleh sekilas ke arah meja kecil di sudut ruangan. Di sana, ponsel Ezra tergeletak begitu saja—layarnya masih menyala samar. Refleks Cantika bangkit dan berjalan ke sana, dia melihat notifikasi yang baru masuk di ponsel Ezra. Seketika dada Cantika mengeras. Nama itu. Elara Yunita. Bibirnya mene
Gedung LZ Corp berdiri megah di bawah langit pagi yang mendung. Ezra melangkah masuk dengan langkah tergesa, dasi miring sedikit karena tadi pagi ia lebih sibuk memastikan Cantika mau makan ketimbang merapikan dirinya sendiri. Beberapa staf menyapanya dengan senyum sopan, tapi Ezra hanya mengangguk cepat. “Pagi Pak,” sapa Andi sang sekretaris yang beberapa hari terakhir sibuk mengerjakan sebagian tugas Ezra. “Pagi.” Ezra menyahut sambil melangkah cepat ke ruangannya. Di sana, tumpukan dokumen dan MacBook sudah menunggu. Andi yang mengikuti di belakang membuka iPadnya. “Pak, hari ini ada dua meeting besar yang harus Bapak hadiri … satu dengan investor asing via Zoom, satu lagi dengan tim proyek pembangunan resort di Lombok.” “Oke ….” Ezra duduk di kursi kebesarannya sambil membaca data di layar MacBook. “Pak Ezra, ini proposal revisi dari tim marketing. Harus dicek hari ini,” ujar Andi, dia meletakkan map biru di atas meja. “Aku cek setelah meeting,” jawab Ezra
Langkah Ezra terasa berat ketika ia meninggalkan ruang rawat VVIP. Sepanjang koridor, kepalanya penuh gema suara Cantika tadi. “Wajahmu kusut, matamu merah. Kalau kamu sakit, siapa yang mau bantuin aku jagain Selena?” Nada Cantika memang datar, dingin, bahkan ketus. Tapi Ezra tahu di balik kalimat itu terselip perhatian yang tulus. Setelah menyalakan mobil, ia duduk lama di parkiran, menatap setir tanpa menyalakan mesin. “Aku beneran pulang? Apa ini langkahnya Cantika buat menjauhkan aku?” gumamnya lirih. Namun akhirnya ia menekan tombol engine, meninggalkan rumah sakit menuju rumah yang seharusnya terasa hangat tapi kini dingin menusuk. Sesampainya di rumah, Ezra langsung menuju kamar mandi. Air hangat mengalir deras, tapi bukannya menyegarkan, justru terasa seperti menelanjangi hatinya yang penuh luka. Di cermin berembun, ia melihat bayangan dirinya sendiri—mata cekung, rahang mengeras. “Cantika masih peduli … tapi aku? Aku malah—” Suara notifika
Ruangan rawat VVIP itu kembali hening setelah dokter meninggalkan mereka dengan kabar kecil yang melegakan. Selena sudah mulai merespons lebih baik, meski tetap harus diawasi ketat. Pandangan Cantika masih terpusat pada wajah mungil sang putri. Matanya masih sembab, tetapi setiap gerakan tangannya penuh kelembutan—membetulkan selimut, mengusap kening, lalu mengecup jemari kecil Selena. Ezra memperhatikannya dari sofa. Hatinya berdesir aneh. Semua yang ia saksikan terasa asing—Cantika yang selama ini keras kepala, tiba-tiba jadi begitu teduh. Tetapi keteduhan itu seperti lapisan tipis di atas samudra yang bergejolak. Ia tahu, di balik sikap tenang itu, ada luka dalam yang masih berdarah. “Ezra.” Suara itu membuat Ezra menoleh cepat. Cantika tidak sedang menatapnya, ia tetap menunduk pada Selena, tapi nada bicaranya jelas ditujukan padanya. “Kamu pulang aja sebentar. Mandi, ganti baju, istirahat. Aku di sini jagain Selena.” Ucapannya tegas, singkat, dan tanpa nada mani
“Nan, saya titip Nayaka … mungkin malam ini saya akan menginap di rumah sakit gantian sama papinya.” Cantika berpesan ketika masuk ke dalam kamar si kembar. “Baik Bu … yang sabar dan kuat ya Bu, Selena sudah tertangani dengan baik … sebentar lagi juga pulih,” kata nannynya Selena menguatkan. Cantika tersenyum lembut tapi matanya sembab. Dia menggendong Nayaka yang masih terlelap dan belum mandi, mengecupnya dalam lalu menyimpannya kembali ke box bayi. Setelah itu Cantika keluar dan turun ke lantai satu. “Pagi Bu … sarapan sudah siap,” kata bu Ratri dari bawah tangga. “Makasih Bu ….” Cantik duduk di kursi meja makan, dia harus sarapan sebelum berangkat ke rumah sakit. “Bu, ini saya buatkan teh herbal untuk Ibu.” Bu Ratri meletakan cangkir mug dekat Cantika. “Saya juga membuat untuk bapak, ada di tumbler sama sarapan pagi untuk bapak,” kata Bu Ratri sembari meletakan satu tas berisi kotak makanan. Cantika menatap tas itu sebentar kemudian menatap bu Ratr







