Share

Cinta Lebih Kakak Angkat

Rafaela panik karena Dorny tidak kunjung kembali, dia langsung keluar rumah. Ia hampir saja kehilangan separuh nafasnya, tapi melihat Dorny sedang mengobrol di depan rumah Rafaela melega.

“Kakak, itu uang apa? Mau dibawa kemana motor Kakak?” tanya Rafaela bingung motornya Dorny dibawa orang.

Dorny menghampiri Rafaela, “Motor itu dijual dan kita pergi naik bus. Nanti kita bisa beli lagi. Ayo masuk!” Rafaela tidak bicara lagi, dia hanya menurut saja.

“Ayo cepat! Kita tidak boleh terlalu lama di rumah ini.” Dorny seolah takut akan sesuatu. Rafaela rupanya juga mengalami ketakutan yang sama, ia takut Wilson atau orang suruhannya datang. ketakutan itu melanda ketika rasa trauma yang ia dapat.

Mereka berdua langsung keluar rumah menuju halte yang jaraknya sekitar 200 meter. “Kakak yakin masih ada mobil yang lewat?” tanya Rafaela memeriksa waktu di layar ponselnya.

“Bus terakhir jam 9 tiba. Besok mungkin kita sudah sampai. Di sana Kakak akan bekerja jadi pelayan lestoran. Teman Kakak sudah menawarikan pekerjaan di sana.”

Rafaela senang mendengarnya, begitu sampai di sana mereka tidak akan kebingungan lagi.

Ini masih jam 8 malam, jadi satu jam lagi bus tiba. Rafaela memakai penutup kepala pada jaketnya ketika hawa dingin mulai menyusup melalui kulit.

“Kita makan soto di sana dulu!” ajak Dorny agar mereka bisa menghangatkan badan.

"Lho kok Cuma pesan satu, Kak?” tanya Rafaela saat Dorny bilang hanya memesan satu porsi.

“Sebenarnya aku mau ke temanku dulu sebentar.”

Rafaela seperti kaget, “Lho mau ngapain?”

“Temanku itu masih ada hutang, katanya mau lunasi, tapi aku harus ke sana.”

“Kenapa tidak kita berdua saja ke sana.”

Dorny menolaknya, “Tidak usah, deket kok. Takut ketinggalan bus kalau kita berdua ke sana. Kamu tenang saja ya, aku bisa lari.”

Akhirya Rafaela membiarkan kakaknya yang katanya mau menagih hutang pada temannya itu. Sampai soto serta teh hangat miliknya habis, Dorny tidak kunjung datang. Padahal katanya tidak jauh dari sini.

Rafaela jadi cemas karena Dorny belum kembali juga. Sementara sekarang menunjukan pukul 9 kurang lima belas menit, artiya sebentar lagi bus itu datang. Rafaela langsung membayar makanannya dan kembali ke halte, menuju ke barang-barangnya yang ditinggal.

Tidak kunjung datang, Rafaela menghubungi lewat telpon tapi ponselnya tidak aktif. Rupanya sejak tadi sudah muncul notifikasi pesan dari Dorny. ‘Kalau bus datang aku belum ke situ, kamu naiklah dulu! Kamu ingatkan? Christine temanku, datang ke rumahnya nanti kakak menyusul.” Rafaela jadi semakin cemas membaca pesan diikuti dengan sebuah alamat.

‘Kamu harus ikuti kataku kalau mau selamat!’ Perasaan tidak enak menghampirinya. Ia tidak tahu dimana dan ada apa dengan Dorny sekarang.

“Kak Dorny,” lirih Rafaela mengetik sebuah pesan siapa tahu Dorny nanti membalasnya. “Kakak dimana, Kak. Aku maunya bersama Kakak.” Tapi sayangnya tidak ada balasan.

Dari kejauhan, kendaraan yang dimaksud akan segera tiba ke tempatnya. Rafaela sudah bersiap berdiri agar mobil itu berhenti. “Semoga yang dikatakan kakak benar. Jangan membohongi aku, Kak,” batin Rafaela merasa jika tidak ada Dorny dia tidak akan bisa hidup. Selama ini memang Dorny satu-satunya orang yang selalu disusahkan, dan ia tidak terbiasa jika tidak bersamanya.

Saat mobil besar berwarna orange dengan lampu kelap-kelip di badan kendaraan sebagai ciri khasnya terlihat makin jelas, tiba-tiba tubuh Rafaela seperti ada yang menariknya ke belakang. Ia tidak sadar sejak tadi ada mobil parkir di belakangnya.

“Hmp ...”Baru saja Rafaela mau berteriak, mulutnya sudah dibungkam, lalu dia diseret paksa ke dalam mobil.

***

“Maafkan aku, Rafaela. Aku terpaksa bohong,” gumam Dorny meninggalkan Rafaela dengan langkah cepat mencari ojek yang sudah mangkal seperti biasa. Bukannya menagih hutang seperti yang dikatakan Rafaela, justru menuju ke rumah Wilson dengan tangan kosong.

Dengan modal nekat, Dorny meraih segenggam batu dan melemparkannya ke pagar besi hingga menyebabkan bunyi yang keras. Seketika suara anjing menggonggong dari dalam sana. 

“Woy! Brengsek Wilson! Keluar kamu.”

Dia memukul-mukul pagar menggunakan batu begitu keras. “Jangan jadi pengecut yang bisanya hanya menyakiti gadis lemah!” Hawa tubuhnya begitu panas oleh amarah yang meluap dengan dahsyatnya.

Security dengan geram membuka pagar, “Mas sudah gila ya! Teriak malam-malam begini!” Suara anjing di dalam sana juga diam ketika ada yang menghentikannya.

“Mana bedebah sialan itu? Beraninya dia menodai adikku!” Nafasnya begitu memburu. Ingin sekali dia membunuh Wilson apapun resikonya.

“Siapa yang kamu maksud? Tuan Wilson? Jangan mengarang cerita. Sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum kamu-“

“Alah ... dia cuma pria pengecut! Pasti dia tidak berani menemuiku langsung, iya kan? Atau mau menyuruh orang untuk ... Argh ...” Tiba-tiba saja tubuh Dorny tumbang. Darah segar ia muntah dari mulutnya hingga memunculkan rasa yang sangat amis.

Rupanya penjaga rumah itu memberi serangan mendadak, “Aku sudah bicara baik-baik tapi kamu malah ngotot. Dengar, ya! Aku memintamu pergi agar kamu selamat.” Security itu masih berbaik hati padanya agar segera pergi, tapi sikap keras kepalanya hingga melakukan hal bodoh ini. 

“Mana dia? Aku sudah janji pada diriku sendiri, paling tidak aku berhasil menghajarnya.”

“Tapi dia orang berkuasa di-“

“Sampai matipun aku tidak peduli!”

Pria paruh baya itu menghela nafas panjang, “Siapa dia, hah? Berisik sekali?” Beberapa penjaga yang semula ada di halaman rumah akhirnya datang memeriksa mengapa keadaan depan berisik, apalagi tadi sempat anjingnya menggonggong.

Dorny bangkit dan menatap mereka semua nyalang, “Dimana dia, hah?” tanya Dorny.

“Siapa maksud kamu?” Mereka bahkan sudah memandang Dorny dengan tatapan tidak suka karena ada yang datang mencari gara-gara.

“Bedebah Wilson!”

Salah satu pimpinan mereka langsung memberi kode agar meringkus Dorny.  Meski sempat terjadi perkelahian, tapi sayangnya Dorny kalah jumlah. Setelah tumbang, tubuhnya diikat dan dibawa keluar dari kawasan.

“Brengsek! Dimana dia?”

“Kamu akan segera bertemu dengan Tuan Wilson,” sahut pimpinan mereka yang ikut bersamanya.

Sementara pria paruh baya yang kembali melanjutkan penjagaan di dekat pintu pagar hanya geleng-geleng kepala. “Anak muda sekarang suka gegabah. Tidak memikirkan baik buruknya nanti.”

***

“Wuah ... wuah ... siapa yang datang ke sini mengantarkan nyawa?” Wilson tidak menyangka jika Dorny datang untuk balas dendam. Dia mendekat dengan senyuman angkuhnya, “Sayang sekali, kamu terlambat mencicipi tubuh Rafaela!”

Dorny langsung meludahi wajahnya dan tubuhnya berontak meski diikat di kursi. “Brengsek! Dia adikku sendiri!”

Bukannya emosi karena wajahnya terkena kotoran, Wilson tertawa penuh kemenangan. Ia mengusap wajahnya dengan tisu. “Jangan munafik! Aku tahu kamu tidak menganggapya sebagai adik. Suatu hari kamu pasti akan menikahinya.”

Tidak percaya kalau Wilson bisa tahu isi hatinya. Sebagai seorang yang mencintai gadisnya, tidak akan ada yang mau berjuang sampai sebesar ini. Tidak akan mau menghantarkan nyawa demi membalas orang yang sudah menodai cintanya.

“Saat aku berhasil mengambil hal berharga darinya apakah kamu tahu bagaimana tanggapan dia?” Lagi-lagi memancing emosi Dorny.

Dorny masih berusaha melepaskan diri agar bisa langsung menghajar Wilson.

“Dia bilang dia sangat menyukainya, katanya nikmat!”

“Brengsek!”

Wilson tertawa keras melihat reaksi Dorny. “Aku harus membunuhmu, Wilson!” Tubuhnya terus saja berusaha melepaskan diri amarahnya memuncak agar ia segera membalaskan kemarahannya.

Seorang anak buah Wilson tiba-tiba saja mendekat dan berbisik. Pria itu kembali menyeringai, “Bawa dia kemari!"

Wilson mendekat ke arah Dorny, “Maksud kamu apa, hah?” Dorny panik. Tanpa Wilson jelaskan pun dia sudah tahu. 

"Sayang sekali. Kalian tidak akan bisa kabur dariku!" seru Wilson tambah puas. Meski cahaya temaram, Dorny masih bisa melihat  dengan jelas adiknya yang diseret paksa oleh dua orang pria bertubuh kekar.

“Kamu bedebah sialan! Lepaskan adikku!” Dorny tidak menyangka mereka berhasil menangkap Rafaela. Bus itu terlambat datang sehingga mereka berhasil menangkap Rafaela lebih dulu.

“Kak Dorny?” Rafaela kesulitan melihat wajah mereka terutama dimana kakaknya berada. Sejak kecil Rafaela memang kesulitan melihat di tempat yang minim cahaya.

“Rafaela ...” lirih Dorny merasa gagal melindungi adiknya sendiri. Ia menyesal sudah meninggalkannya, ia fikir Rafaela bisa pergi secepatnya, tapi dia salah mereka sudah menangkapnya duluan dan justru Dorny tidak bisa melindunginya.

“Hahahaha ... Kamu fikir kamu bisa melindunginya? Tidak, Dorny. Kamu tidak akan pernah bisa melindunginya lagi. Karena dia selamanya telah menjadi budakku sehingga aku bebas memakainya kapan saja.”

“Brengsek. Aku bersumpah aku akan membunuhmu.”

“Coba saja kalau berani!” tantang Wilson.

Sementara Rafaela hanya menangis sembari mendengarkan percakapan mereka. “Ini semua salahku” batin Rafaela yang kini duduk dengan tangan terikat.

“Lepaskan dia!” pinta Wilson melepaskan Dorny. Begitu lepas, Dorny langsung berlari mendekati Wilson kemudian memukulnya hingga sukses.

Nyeri pada bagian rahang tidak Wilson rasakan, dia hanya tersenyum sinis mendapati pukulan hingga di sudut bibirnya keluar cairan merah.

Sementara Dorny begitu puas sekali, ia bersiap kembali memukulnya tapi kali ini Wilson menghalau serangan kemudian membalasnya hingga Dorny terkapar dalam sekali pukulan di bagian pelipisnya.

“Ayo bangun! Bunuh aku kalau bisa!” seru Wilson.

“Hentikan! Kumohon lepaskan kakakku. Aku mohon ... hiks ... hiks ...” Rafaela berteriak pada Wilson.

Justru ini menjadi hiburan tersendiri buatnya, “Hahaha ... dia sudah terlanjur masuk ke kandang serigala, jangan harap bisa kabur dari sini!”

“Aku mohon! Kamu boleh menjadikanku budak seumur hidupmu. Kakakku tidak salah,” lirih Rafaela. Ia tidak mau Dorny menjadi korban karena dirinya.

Saat itu Dorny mengeluarkan senjata yang sudah dia bawa dan siap menghantamkannya ke dada Wilson.

Dor ... sebelum itu terjadi, peluru yang menghantam tidak bisa lagi menahan tubuhnya yang kesakitan.

Suara besi tajam yang jatuh dibarengi tubuh ambruk Dorny. Wilson pun tidak menyangka kalau Dorny menyimpan senjata. Terlambat saja anak buahnya menembak, Wilson pasti binasa.

“Tidak!” Rafaela berteriak histeris. Dia berdiri sekuat tenaga dan berlari tanpa melihat ke sekeliling. Tubuhnya jatuh ketika menabrak tumpukan galon.

Wilson mendekat ke arah Rafaela dan melepaskan ikatan pada tangannya, lalu dia menarik tubuh Rafaela tepat di samping Dorny.

“Ra-Rafaela ...” nafasnya bahkan tersendat-sendat.

Rafaela menyadari Dorny tepat ada di depannya. Dia menyentuh tangan Dorny dengan rasa cemas yang mendalam.

“Maafkan aku, Kak. Maafkan aku. Ini salahku ...” Rafaela menangis tersedu-sedu.

Sementara pria yang berbaring itu terkekeh kecil. “Kakak jangan tertawa ...” Tangisnya justru makin keras.

“Kamu harus hidup, adikku. Ada kesempatan pergilah sejauh mungkin!” bisik Dorny hampir tidak didengar.

Rafaela hanya mengangguk pelan, “Kakak tidak boleh mati. Harusnya Kakak bersamaku.”

Wilson memutar bola matanya malas, “Dasar banyak cingcong!” Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhnya yaitu sebuah suntikan.

“Kalian berdua tidak akan selamat. Dan kamu Dorny, jangan pernah hidup bersama Rafaela lagi.” Ia menyuntikan sesuatu ke tubuh Dorny hingga mengerang kesakitan.

“Kamu sialan! Tidak!” Rafaela berteriak histeris mengetahui Dorny dibunuh secara keji.

Tawa Wilson menggema ke seluruh ruangan. Ia bahagia sekali mendengar rintihan Rafaela yang berusaha membangunkan Dorny. “Kesedihan itu tidak sebanding dengan yang sudah kurasakan! Hahaha ...”

Malam itu adalah malam yang paling menyedihkan dan panjang bagi Rafaela. Dia terus memeluk jasad Dorny yang sudah pergi untuk selama-lamanya. Kini kebahagiaan kecil bersamanya telah musnah dihancurkan oleh seorang pria yang memiliki amarah pada wajah ini.

“Kak bangun, Kak. Kita kabur dari sini sama-sama dan melanjutkan rencana kita! Aku tidak bisa pergi sendiri, aku butuh Kakak.” Suaranya serak karena terus menangis.

***

“Kita apakan Dorny, Tuan?” 

“Aldrick akan mengurusnya. Hubungi dia. Kemudian bawa gadis itu ke apartemenku!”

“Baik, Tuan.”

“Jangan! Kak Dorny. Jangan bawa dia!” Pelukannya dilepas dengan kasar seolah mereka tidak memiliki hati nurani. Sementara tubuh Rafaela dipaksa pergi dari sana juga, berpisah dengan kakak tercinta.

Rafaela yang terus berontak membuat mereka habis kesadaran dan membuat Rafaela dengan bius.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isni abg
Ketara sekali kalau Dorny suka adiknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status