Setelah Zora memeriksa dan melihat semua isi dari paper bag, ada 2 kotak makanan favorit Zora yaitu kue macaron yang berasal dari Prancis dan 1 gelas dark choco drink. Lalu Zora dengan cepat menyantap kue favoritnya, hingga satu kotak yang berisi 6 kue bulat dengan varian rasa yang berbeda itu habis. Sedangkan 1 kotak yang tersisa ia simpan di kulkas karena tidak mampu menghabiskannya sekaligus.
Waktu mengisi perut sudah habis, kini dia beralih kepekerjaanya. Dia memeriksa gelas minumannya, di bagian bawah gelas itu ada flashdisk yang sengaja ditempelkan. Flashdisk berukuran kecil yang berisi terkait misi yang akan diberikan padanya.
Tanpa pikir panjang Zora langsung menyalakan leptop miliknya dan memeriksa isi dari flashdisk itu, disana ada beberapa foto dan informasi pribadi dari target kali ini. Ada juga foto orang-orang yang menjadi keluarga dan orang terdekat target.
'Jadi ini misi pembunuhan?' batik Zora.
"Ini cukup merepotkan karena membutuhkan waktu." gumam Zora.
Di dalam file yang Zora baca target bernama Satya Arga Bintara anak bungsu dari pemilik perusahaan BN Gurp yaitu perusahaan terbesar di negri ini, orang yang selalu diperhatikan awak media dan setiap gerak-geriknya selalu menjadi trending topik di berbagai situs gosip.
Dia menjadi target pembunuhan kerena telah maraih posisi yang berhak bersaing dengan kedua kakaknya untuk menjadi pewaris perusahaan BN Grup, dan saat ini Satya menjabat sebagai Direktur dari anak perusahan BN Grup yang menangani jasa pengawalan atau bodyguard.
"Jadi aku harus menyamar sebagai bodyguard?" tanya Zora pada dirinya sendiri.
Pada misi kali ini Zora harus mendekati target terlebih dahulu karena tidak mungkin melakukan aksi pembunuhan secara langsung seperti yang biasa dia lakukan, target dijaga dengan ketat karena sudah beberapa kali mengalami percobaan pembunuhan namun gagal karena memiliki sekertaris yang cukup kompeten sebagai pendamping dan pelindungnya.
"Ternyata ini cukup merepotkan" keluh Zora.
Di flashdisk juga tersedia identitas baru yang akan Zora gunakan sebagai penyamaran, ini akan memakan waktu yang cukup lama karena walaupun dia berhasil menyamar sebagai karyawan tidak ada jaminan dia akan bekerja dibawah direktur Satya.
"Jadi aku harus cepat bergerak ya." gumam Zora.
Kebetulan Saat ini BN Bodyguard grup sedang membuka lowongan pekerjaan, dengan cepat Zora mengirim Cv dan surat lamaran kerjanya via email, dan saat ini dia hanya perlu menunggu panggilan interview.
Sambil mempelajari apa yang harus ia lakukan pada saat interview, Zora merenung untuk sekarang posisinya aman, sebagai bodyguard harus memiliki keterampilan beladiri dan Zora memiliki kemampuan itu.
...
Dilain tempat, sore hari tempat Satya Arga Bintara berada.
Seorang pria gagah dengan duduk sambil menggigit ujung bolpoin, di mejanya terdapat berbagai macam berkas yang menumpuk. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung keatas, dilengkapi dasi bercorak garis biru yang longgar sehingga menampakan sebagian dadanya.
Dia adalah Satya Arga Bintara berusia 26 tahun, masih sibuk dengan pekerjaannya, membolak-balikan kertas yang ada didepannya lalu mengalihkan pandangannya ke arah komputernya. Tanpa sadar ada seseorang yang masuk ke dalam ruangan kerjanya, orang itu tidak menyapa dan menunggu Satya dengan tenang dan sabar tanpa mengganggu pekerjaannya.
"Astaga, sejak kapa kamu masuk?" ucap Satya spontan karena kaget melihat sekertarisnya yang berdiri di depannya.
"Saya sudah masuk sejak tadi tuan." jawabnya Andika,
Andika adalah sekertaris sekaligus bodyguard dari Satya, orang yang sangat dipercayai oleh Satya sampai sekarang. Mereka bertemu 3 tahun yang lalu, saat itu Andika sedang mengalami masa sulit karena ibunya mengalami kecelakaan.
Dari kecelakaan itu ibu Andika kehilangan banyak darah dan stok golongan darah yang cocok dengan ibu Andika sedang kosong, Satya yang saat itu berada di rumah sakit itu menawarkan darahnya yang kebetulan cocok dengan darah ibu Andika.
Karena merasa tak tega melihat Andika tampak putus asa, Satya sedikit tergerak hatinya ketika melihat seorang pria dewasa menangis di depan orang lain, itu merupakan sesuatu yang memalukan bagi Satya.
Tapi Andika meneteskan air mata tanpa memperdulikan orang disekitarnya dengan putus asa memohon kepada dokter yang merawat ibunya untuk melakukan yang terbaik, itu membuktikan betapa berharganya seorang ibu bagi Andika.
Sebagai balas budi Andika menawarkan diri bekerja untuk Satya, karena tidak ada yang bisa ia tawarkan kepada orang kaya seperti Satya sebagai ucapan terimakasih.
Tentu saja Satya menolak dengan tegas, karena ia menganggap Andika tidak memiliki potensi untuk bekerja dengannya. Tapi Andika tidak menyerah disitu saja dia mampu menunjukan potensinya hanya dalam waktu 3 bulan setelah Andika memaksa Satya untuk memberikannya kesempatan.
"Kenapa kamu tidak mengentuk pintu terlebih dahulu?" kesal Satya.
"Saya sudah mengetuk, tapi tuan muda tidak mendengar sama sekali." ungkap pria itu.
"Lalu kenapa kau tidak memanggilku?" tanya Satya lagi.
"Saya tidak bisa mengganggu pekerjaan tuan muda." jawabnya lagi.
"Ya sudahlah. Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Satya.
"Untuk jadwal makan malam, Tuan besar mengundang tuan muda untuk datang kekediaman utama." ungkap Andika dengan wajah sedikit khawatir.
Itu karena jika tuan besar ayah dari Satya pemilik dari perusahaan BN Grup mengundang anak-anaknya untuk makan malam, memiliki keluhan terkait pekerjaan diantara mereka.
Selama ini Satya selalu menjadi kambing hitam kakak-kakaknya, dan perlahan itu mengurangi kepercayaan tuan besar pada putra bungsunya. Tetapi tuan besar merupakan orang yang adil dan tenang sehingga tidak termakan rayuan dan omongan semata, karena itulah sampai saat ini Satya masih tetap berada diposisinya sebagai direktur.
"Apa kakak-kakakku akan hadir?" tanya Satya.
"Iya tuan muda."
"Bagaiman pergerakan mereka selama ini?"
"Sejauh ini para tuan muda tidak melakukan hal yang mencurigakan untuk menjebak anda." jelas Andika yakin.
"Baiklah, sampaikan kepada ayahku kalau aku akan datang." ujar Satya.
"Baik tuan muda." jawab Andika perlahan mundur meninggalkan ruangan itu.
Satya yang ditinggal sendirian diam tak melakukan apapun, dia sudah tidak memiliki mood yang baik untuk melakukan pekerjaannya. Lalu membuka salah satu laci yang ada dimejanya dan mengambil sebungkus rokok yang ada di sana.
Satya berdiri dari kursinya lalu merapikan rambutnya yang acak-acakkan, dia mengambil sebatang rokok dan membakarnya.
"Kita lihat apa yang akan dilakukan oleh kedua kakakku." batin Satya sambil tersenyum menyeringai.
...
Di lain tempat.
Salah satu hotel mewah, terlihat tempat tidur yang sudah berantakan. Dua insan yang sedang berbaring dengan tubuh telanjang ditutupi selimut, dua orang tersebut saling berpelukan.
Pria yang sedang memainkan rambut dari wanita yang berada dalam pelukannya, sedangkan wanita dengan rambut coklat kulit putih penuh dengan bekas ciuman merasa senang dan menggeliat dengan manja.
Drrtttt Drrtttt Drrtttt.
Getar ponsel terdengar di samping tempat tidur, pria itu meraih ponsel dengan malas dan matanya masih tertutup, tanpa melepaskan pelukannya dari wanita itu.
"Ada apa?"
"Mohon maaf karena saya mengganggu waktu istirahat tuan muda, saya ingin menyampaikan kalau malam ini tuan muda diundang oleh tuan besar untuk makan malam dikediaman utama." jelas suara dibalik ponsel.
"Ya baiklah. Siapa saja yang akan datang?" tanya pria itu penasaran.
"Seluruh tuan mud diundang." balas suara dibalik ponsel.
"Oke, sampaikan kepada ayahku tercinta kalau putranya akan hadir." ucapnya lalu mematikan ponselnya.
Pelahan pria itu membuka matanya, lalu tersenyum puas setelah mendengar kabar baik itu.
"Malam ini kamu harus menjalankan peranmu dengan baik." bisiknya kepada wanita yang terbaring disampingnya.
"Tentu saja tuan, saya sangat pandai bersandiwara." ucap wanita itu dengan penuh percaya diri. Lalu kedua tersenyum puas dan kembali berpelukan.
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu cukup lama, Satya akhirnya sampai di rumah sakit.Tepat di depan lobi mereka disambut oleh beberapa dokter yang siap dengan perannya masing-masing.Setelah mendapatkan pertolongan pertama, Zora langsung dibawa masuk ke ruang IGD. Satya dengan setia menemaninya sampai akhir, ia benar-benar tidak peduli bagaimana pandangan orang-orang yang diarahkan padanya. Beberapa dokter yang mengenali dirinya merasa heran kenapa seorang Direktur terlihat sangat berantakan, dan ikut berlari bersama mereka mendorong tandu bersama mereka. Namun satu hal yang terlintas dipikiran para dokter, bahwa orang yang akan mereka tangani adalah orang yang sangat penting bagi Satya. Fakta itulah yang membuat semua dokter yang merawat Zora semakin fokus dan penuh dengan kehati-hati selama mereka berlari dan hingga sampai ke ruang IGD.Dengan rambut acak-acakan, kemeja penuh bercak darah Satya menghela napas kasar. Dia sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya.“T
'Sial, aku lengah...' batinnya, getir."Ukhhh..." ringisnya Zora, suara nyaris tak terdengar. Darah mengucur deras dari luka di sisi kanan perutnya. Telapak tangannya berusaha aliran darahnya, tapi itu sia-sia cairan merah kental yang hangat itu terus mengalir, menodai kemeja putih polosnya yang tidak lagi bersih. Dengan sisa tenaganya, ia mendongak. Pandangannya buram tapi ia masih bisa melihat Satya sudah mendekat dan berlutut di depannya.“J-jangan.. jangan mendekat. Bodoh, kau bisa ikut tertembak…” tak lagi memiliki tenaga untuk bicara, kata-kata Zora terhenti di ujung lidah, terkubur bersama rasa sakitnya. "G-gea." panggil Satya. Suaranya Satya gemetar, ia menunduk perlahan hingga berlutut di sisi Zora, tangannya ikut menekan luka Zora mencoba membantu untuk menghentikan darah yang mengalir tak terkendali. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan gadis yang terkulai lemas dengan wajah pucat di depannya, tangannya tidak berhenti gemetar, rasa dingin dari tubuh gadis itu membua
"Sekarang, apa yang harus kulakukan?" Zora memutar tubuhnya di tengah teriknya matahari menyapa, matanya menyapu area sekitar yang diliputi kesunyian mencekam. Tidak satu pun kendaraan melintas, tak ada tanda keberadaan orang-orang. Tempat ini nyaris seperti lukisan mati tanpa sentuhan kehidupan. Kesunyian yang mengelilingi Zora hingga ia meragukan bahwa dirinya sedang berhalusinasi. Ia menghela napas kasar, rambutnya yang lurus tergerai acak-acakan, pipinya tertoreh luka sayatan yang nyaris kering membuat Zora merasakan pipinya seolah ditarik oleh benang kasar. Rasa sakit tidak membuatnya berhenti berpikir. Sekali lagi Zora mengamati sekelilingnya, iris matanya yang tajam menangkap sosok yang menyerangnya, masih menggeliat dan merintih kesakitan dalam sisa nyawa mereka yang tertinggal. Mereka memegangi luka yang masih mengucurkan darah merah pekat tanpa henti membasahi aspal. Zora sengaja tidak mengakhiri mereka, hidup mereka akan menjadi kunci jawaban dari pertanyaan Zora dari
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi