Di tengah kendaraan yang berlalu lalang, suara bisik mesin dari segala arah. Zora melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sesekali dia memperhatikan dan melirik matanya sendiri.
Penampilannya sudah berubah, dia memakai sweater oversize berwarna abu dengan kacamata bulat serta rambut diikat kuncir kuda yang cukup tinggi, dilengakapi dengan poni yang menutupi alisnya. Itu adalah penampilannya dalam kehidupan normal jika profesinya sebagai pembunuh bayaran dikesampingkan.Zora masih dalam perjalanan akan kembali ke apartemen miliknya yang terletak di pinggir kota yang jauh dari pemukiman, daerah itu sudah tidak berpenghuni karena 2 tahun lalu pernah di landa banjir. Hanya ada beberapa pengemis dan tunawisma yang menjadi penghuninya.Sesampainya Zora di halaman apartemen, dia memarkirkan mobilnya di depan gedung apartemen 3 lantai yang sudah usang kerena tidak memiliki basement, apartemennya terletak di lantai atas bangunan tua itu.Karena apartemen itu juga tidak memiliki lift, Zora sudah terbiasa naik turun tangga, saat memasuki bangunan yang sudah tua dan usang itu, Zora disambut dengan pemandangan usang dengan cat yang terkelupas dan balkon yang retak disetiap lantai yang ia lewati.Sesampainya di apartemen yang ia tinggali, walaupun tampilan luar dari apartemen sangat memprihatinkan itu tampak berbeda dengan bagian dalammnya. Itu cukup terawat dan terlihat sangat rapi didalamnya, mungkin Zora merenovasi apartemen tersebut demi kenyamanan dirinya.Zora meletakan kunci mobilnya lalu bergegas kekamar mandi, beberapa saat ia memasuki kamar mandi terdengar bunyi ponsel dari dalam, karena suasana cukup sepi jadi sangat mudah suara ponsel menjangkau seluruh ruangan."Berisik sekali" lirih Zora dengan mata terpejam.Karena risih dengan bunyi ponsel yang tak kunjung berhenti, akhirnya Zora mengakhiri kegiatannya. Ia bergegas memakai kimono miliknya lalu menghampiri ponselnya.Tertera nomor yang tidak ia kenal namun Zora bisa menebak siapa yang menelponnya tanpa henti tidak peduli kapan dan dimana keadaannya."Ada apa Hann?" ucap Zora dengan nada kesal begitu dia menerima panggilan itu."Kenapa kamu melakukan hal yang begitu sembrono?" terdengar suara yang asing dibalik ponsel itu."Memangnya apa yang sudah kulakukan?" Zora bertanya balik dengan memutar bola matanya tak peduli."Tidak usah berpura-pura bodoh, aku tau kau yang melakukannya." ujarnya.Namun Zora hanya diam tak menjawab, ia lalu mengambil hair dryer di sampingnya dan memakainya."Zora, apa kau mendengarku? kenapa kau sampai membunuhnya? Orang yang kau bunuh adalah salah satu orang kepercayaan Nyonya Clara. Kalau sampai Nyonya Clara tau kau yang membunuhya kau akan mendapatkan teguran nanti." jelas orang yang dibalik ponsel itu dengan nada suara yang sedikit meninggi."Lagian si Clara itu belum tau, dan dia tidak akan pernah tau. Kenapa Han marah dengan hal sepele seperti itu." balas Zora memelas."Haahhh, Zora aku melakukan ini untuk kebaikannmu. Memang sekarang Nyonya Clara belum tau, hanya masalah waktu sebelum ia mendengar informasinya." terang pria itu."Baiklah, baik. Aku tidak akan mengulanginya lagi." kilah Zora dengan acuh tak acuh."Han sangat bawel." ledek Zora."Ap."Belum sempat suara itu terdengar Zora langsunng mematikan ponselnya. Sedangkan pria yang ada di balik ponsel hanya bisa geleng-geleng kepala.'Apa yang harus kulakukan dengan anak ini.' gumam pria yang dipanggil Han.Han merupakan orang yang memperkenalkan Zora kepada organisasi sekaligus orang yang merawat dan melatih Zora sebagai pembunuh, selama ini dia selalu mengawasi Zora dalam melakukan misi kerena takut jika ada kesalahan yang dilakukan oleh Zora. Sehingga hal itu akan berakibat fatal bagi organisasi.Namun ketakutannya adalah omong kosong belaka, dia yang melatih Zora pun kaget kalau anak itu sangat berbakat dalam melakukan misi tanpa melakukan kesalahan sedikitpun. Tetapi satu yang menjadi kekurangan Zora adalah dia tidak mau bekerja sama dan tidak mau memiliki rekan.Zora merupakan orang yang sangat independen, tidak suka diperintah oleh siapapun kecuali Han orang yang telah membesarkannya. Bahkan pemimpin organisasi sekalipun tidak mampu mengaturnya, oleh karena itu Han mengambil tanggung jawab atas misi dari Zora."Bagaimana keadaan tubuh Sam?" tanya Hanzo kepada asistennya."Hampir seluruh tubuhnya hangus terbakar, tetapi ada beberapa organ yang bisa diambil" jawab asisten yang bernama Agra."Bukankah anak itu terlalu kejam?" keluh Han frustasi."Itu adalah hasil didikkan anda tuan." sahut Agra dengan santai."Tetapi aku tidak pernah mengajarinya bertindak tanpa berpikir begini." ujar Han."Kalau begitu salahkan saja tuan Sam yang telah menjual informasi sembarangan." timpal Agra."Kenapa kau selalu membela anak kurang ajar itu?" kesal Han yang melihat asistennya yang selalu memberikan alasan untuk tidak menyalahkan Zora atas tindakannya."Itu karena memang nona tidak bersalah." tangkas Agra lagi."Ya sudahlah, aku akan memaafkannya kali ini." Han pasrah, karena hal itu sudah terjadi maka ia harus memikirkan tindakan untuk kedepannya.'Bukankah tuan selalu memafkan nona' gumam Agra."Lalu kirimkan misi baru untuknya, misi kali ini dia pasti akan kesulitan karena berkaitan dengan orang yang sangat berpengaruh di Negara ini. Jika dia mengalami kesulitan dia akan meminta pertolongan dariku, hehehe." pinta Han dengan antusias.Han yang sudah cukup lama bersama dengan Zora, bisa dikatakan Han sudah menemani dan melihat dia tumbuh besar. Sehingga perlahan timbul naluri seorang ayah, Han ingin Zora bergantung dan meminta tolong padanya dan tidak suka kalau Zora hidup mandiri dan melupakannya.Oleh karena itu Han sering memberikan misi yang diluar kemampuan Zora, tetapi Zora selalu saja berhasil walaupun hampir kehilangan nyawanya."Ahhh, jangan lupa jual organnya, hasil penjualan masukan sebagai bayaran misi Atas nama Zora" lanjut Sam."Baik tuan, tetapi saya tidak bisa melakukan dengan cepat karena akan terlacak oleh pihak Nonya Clara." ucap Agra memberi alasan."Tinggal kau cuci saja uangnya, ini bukan pertama kalinya untukmu." cetus Han."Tapi tuan."Han menatap Agra dengan tatapan dingin, karena tidak suka dibantah.Agra menelan ludah, tanpa pikir panjang Agra langsung mengangguk dan pergi meninggalkan seorang diri untuk melakukan tugasnya dengan cepat....Zora sedang duduk santai di sofa berwarna hijau lumut di ruang tamu apartemennya sambil menonton berita ditelevisi, tak lama kemudia bel dari apartemennya berbunyi.Zora tahu kalau itu bukan tamu, karena tidak ada orang yang tahu bahwa dia tinggal di apartemen lusuh itu selain Han dan Agra asistennya. Dengan antusias ia berlari ke arah pintu karena mengira Han yang datang mengunjunginya.Ketika dia membuka pintu tidak ada seorangpun disana, Zora melirik kanan dan kiri tetap saja tidak ada seorangpun yang terlihat. Dia menundukan kepalanya dan melihat ada paper bag yang berisi makanan.Itu adalah paket yang dikirim Han untuknya, pengiriman memang disamarkan dengan paper bag makanan. Untuk menghindari kecurigaan dan pemeriksaan, karena tidak ada yang tau apa yang akan terjadi.
Metode itu hanya digunakan oleh Han seorang, hal itu ia lakukan untuk menghindari mata yang mengawasinya yaitu Nyonya Clara orang yang sudah menjadi pemimpin dari organisasi sejak 2 tahun lalu.
Zora mengambil paper bag dengan pasrah, itu pasti informasi dari misi baru yang diberikan padanya. Dengan perasaan kecewa karena tidak bertemu Han dia masuk kembali ke dalam apartemennya sambil membuka paper bag tersebut."Yah, setidaknya dia tidak melupakan makanan favoritku." gumam Zora, sambil meneguk jus yang sudah ia siapkan.Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu cukup lama, Satya akhirnya sampai di rumah sakit.Tepat di depan lobi mereka disambut oleh beberapa dokter yang siap dengan perannya masing-masing.Setelah mendapatkan pertolongan pertama, Zora langsung dibawa masuk ke ruang IGD. Satya dengan setia menemaninya sampai akhir, ia benar-benar tidak peduli bagaimana pandangan orang-orang yang diarahkan padanya. Beberapa dokter yang mengenali dirinya merasa heran kenapa seorang Direktur terlihat sangat berantakan, dan ikut berlari bersama mereka mendorong tandu bersama mereka. Namun satu hal yang terlintas dipikiran para dokter, bahwa orang yang akan mereka tangani adalah orang yang sangat penting bagi Satya. Fakta itulah yang membuat semua dokter yang merawat Zora semakin fokus dan penuh dengan kehati-hati selama mereka berlari dan hingga sampai ke ruang IGD.Dengan rambut acak-acakan, kemeja penuh bercak darah Satya menghela napas kasar. Dia sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya.“T
'Sial, aku lengah...' batinnya, getir."Ukhhh..." ringisnya Zora, suara nyaris tak terdengar. Darah mengucur deras dari luka di sisi kanan perutnya. Telapak tangannya berusaha aliran darahnya, tapi itu sia-sia cairan merah kental yang hangat itu terus mengalir, menodai kemeja putih polosnya yang tidak lagi bersih. Dengan sisa tenaganya, ia mendongak. Pandangannya buram tapi ia masih bisa melihat Satya sudah mendekat dan berlutut di depannya.“J-jangan.. jangan mendekat. Bodoh, kau bisa ikut tertembak…” tak lagi memiliki tenaga untuk bicara, kata-kata Zora terhenti di ujung lidah, terkubur bersama rasa sakitnya. "G-gea." panggil Satya. Suaranya Satya gemetar, ia menunduk perlahan hingga berlutut di sisi Zora, tangannya ikut menekan luka Zora mencoba membantu untuk menghentikan darah yang mengalir tak terkendali. Saat tangannya bersentuhan dengan tangan gadis yang terkulai lemas dengan wajah pucat di depannya, tangannya tidak berhenti gemetar, rasa dingin dari tubuh gadis itu membua
"Sekarang, apa yang harus kulakukan?" Zora memutar tubuhnya di tengah teriknya matahari menyapa, matanya menyapu area sekitar yang diliputi kesunyian mencekam. Tidak satu pun kendaraan melintas, tak ada tanda keberadaan orang-orang. Tempat ini nyaris seperti lukisan mati tanpa sentuhan kehidupan. Kesunyian yang mengelilingi Zora hingga ia meragukan bahwa dirinya sedang berhalusinasi. Ia menghela napas kasar, rambutnya yang lurus tergerai acak-acakan, pipinya tertoreh luka sayatan yang nyaris kering membuat Zora merasakan pipinya seolah ditarik oleh benang kasar. Rasa sakit tidak membuatnya berhenti berpikir. Sekali lagi Zora mengamati sekelilingnya, iris matanya yang tajam menangkap sosok yang menyerangnya, masih menggeliat dan merintih kesakitan dalam sisa nyawa mereka yang tertinggal. Mereka memegangi luka yang masih mengucurkan darah merah pekat tanpa henti membasahi aspal. Zora sengaja tidak mengakhiri mereka, hidup mereka akan menjadi kunci jawaban dari pertanyaan Zora dari
Kaca mobil hampir pecah akibat pukulan, memperlihatkan retakan-retakan halus yang siap meledak menjadi serpihan-serpihan tajam. Zora memutar sorot matanya dengan tajam, masih belum menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata untuk melawan.Rasa penyesalan menghampiri hati Zora, penyesalan terbesar yang menggerogoti dirinya. Ia ceroboh, menjadi terlena dalam kehidupan yang tampak normal dan cerah hanya dalam waktu 1 bulan. Seharusnya ia tidak pernah melupakan bayangan kehidupan gelapnya yang penuh darah.Nafas berat masih bergema di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa Satya belum sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Namun, kedipan matanya semakin lambat dan terasa berat, rasa sakit di dahinya seakan menusuk dan menjalar diseluruh bagian kepalanya.Darah yang keluar dari luka di dahinya terus mengalir tak terbendung, menyusul saat Zora merobek lengan kemeja putih polos yang ia pakai untuk menutupi luka tersebut. Setelah memberikan pertolongan pertama, ia kembali fokus mencari objek yang b
Saat keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, terlihat dari kejauhan seorang yang berlari dengan tergesa-gesa menghampiri Satya.Dengan nafas tersengal-sengal dia memperlambat langkahnya saat mendekati Satya. Wajahnya memerah dipenuhi keringat karena kehabisa nafas, ditambah rasa lelah yang membuat nafasnya tidak beraturan."I-ini pak, s-saya berlari kesini secepat mungkin." ucap Dani sekertaris Satya dengan suara yang terbata-bata, terdengar seperti orang yang kesulitan bernapas. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi rasa lelahnya yang berlebihan. "Kerja bagus." puji Satya merasa puas dengan usaha sekertarisnya itu. Dia memang mengancam akan memotong gajinya, jika ia tidak tepat waktu mengantarkan kunci mobil dan ponsel genggam milik Satya."K-kalah begitu apa saya boleh kembali kekantor? Pekerjaan saya sudah menumpuk." mohon Dani dengan wajah memelasnya. "Baiklah, jangan hubungi aku jika tidak ada urusan yang penting." pesan Satya, melambaikan tangannya untuk menyuruh
Seakan tidak terjadi apa-apa, Zora memasuki lift. Masih memegang tangan Johan, dia menekan tombol lantai 1. Mengabaikan Satya yang menatapnya dengan tajam, membuat jantung Zora berdetak tidak karuan. Entah mengapa dia merasa seperti telah tertangkap basah telah mencuri sesuatu. "Lepaskan tanganku." bisik Johan, Ia merasa tak enak karena di belakangnya ada Satya yang tidak mungkin wajahnya tak dikenali oleh Johan.Zora tak bergeming, dia tak menggubris bisikan pelan dari Johan yang berusaha membebaskan diri dari cengkraman tangannya yang semakin kuat."Padahal tanganmu sekecil ini, kenapa cengkramannya sangat kuat." kesal Johan. Dia menggeliat melepaskan tangannya dengan kasar.Zora yang tangannya di hempas begitu saja tersentak kaget, pikirannya yang fokus pada Satya tiba-tiba memudar.Dia melihat Johan yang menatapnya dengan bingung, lalu dia tersadar bahwa di lift itu juga ada Satya dan Andika yang masih melihatnya. Berbeda dengan dengan Satya yang matanya menyiratkan amarah, Andi