Beranda / Romansa / Antara Peran dan Perasaan / Bab 67 – Saat Aku Menjadi Penontonmu

Share

Bab 67 – Saat Aku Menjadi Penontonmu

Penulis: Ayla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 00:33:19

Kelas itu diselenggarakan di pelataran musala yang dulunya tempat parkir becak.

Raydan membawa lima belas anak laki-laki. Umur antara 9–16.

Mereka tidak biasa menulis. Tapi mereka biasa mendengar bentakan.

“Gue nulis puisi? Gila lo.”

“Emang cowok tuh harus nulis?”

“Abang gue bilang, nulis mah buat cewek.”

Tapi Raydan tersenyum. Lalu buka buku catatannya, dan membacakan:

“Ayah saya pernah bilang: kalau kamu ingin bicara dan tak ada yang mendengar, tulislah. Kertas itu sabar.”

Satu anak tertawa. Yang lain diam. Tapi diam itu bukan penolakan—itu rasa ingin tahu.

Hari itu mereka diminta menulis satu kalimat saja:

“Kalau aku bisa bicara, aku ingin bilang…”

Tiga anak tidak menulis. Satu menulis:

“Aku ingin abangku tahu bahwa aku takut tiap dia pukul pintu.”

Raydan tidak bertanya. Hanya bilang, “Kalau kamu mau, kamu bisa baca. Kalau belum, kertasnya tetap aman.”

Nara hadir sebagai pendengar.

Ia duduk di sudut, menyesap kopi warung, menonton dari balik jendela setengah terbuka.

Ia melihat
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 79 – Menghitung Ulang Harga Rumah yang Pernah Dibangun

    Setelah email demi email, pesan demi pesan, akhirnya Raydan menulis pesan singkat:“Na...Jika kamu bersedia, bisakah kita duduk lagi?Bukan sebagai mantan. Bukan sebagai nostalgia.Tapi sebagai dua manusia yang ingin bicara: Masihkah ada rumah baru yang bisa kita bangun?”Nara membaca pesan itu berkali-kali, menangis lama — lalu menjawab:“Ya, Dan. Aku mau.”Mereka memilih tempat netral lagi: Kyoto, Jepang. Tenang, elegan, cukup jauh dari bising dunia.Mereka bertemu di sebuah kafe kecil dekat Sungai Kamo.Saat melihat Raydan berjalan dari kejauhan, Nara nyaris gemetar. Tangannya dingin, namun detak jantungnya hangat.Begitu pula Raydan: Ada gugup, ada rindu, ada takut — semuanya bercampur.Setelah saling menatap lama, akhirnya Raydan memecah keheningan:“Kamu baik, Na?”Nara mengangguk pelan.“Baik. Dan kamu?”“Belajar baik.”“Sama.”“Kita… seperti dua orang asing yang tahu terlalu banyak tentang satu sama lain, ya?”Mereka sama-sama tertawa — tawa getir yang dalam.Raydan m

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 78 – Ketika Bertemu Kembali

    Pihak penyelenggara Global Literacy & Equity Summit 2030 menghubungi mereka berdua:Nara: Pembicara kunci bidang pengembangan kepemimpinan perempuan global.Raydan: Panelis gerakan literasi komunitas akar rumput Asia.Yang menarik:Keduanya dijadwalkan dalam sesi panel yang sama.Saat membaca nama Raydan di rundown acara, Nara terdiam lama. Tangannya bergetar ringan.“Setelah dua tahun… akhirnya kita berdiri di ruangan yang sama lagi.”Nara di kamarnya: Ia berdiri lama di depan kaca. Memastikan makeup-nya sempurna. Tapi tak mampu menyembunyikan mata yang sedikit sembab.“Apakah aku siap melihatnya? Apakah kami masih... saling tahu bagaimana saling menatap?”Raydan di hotelnya: Ia mengatur dasinya pelan. Nafasnya berat. Ada tangan gemetar yang berusaha dikendalikan.“Kita akan bicara dalam bahasa publik. Tapi apa aku mampu menahan riak bahasa hati?”Mereka bertemu di ruang persiapan.Beberapa detik canggung yang terasa seperti selamanya.Akhirnya, Raydan yang memecah keheninga

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 77 – Meja Terakhir

    Setelah percakapan terakhir, mereka sepakat bertemu di Lisboa, Portugal. Bukan Amsterdam. Bukan Jakarta. Tempat netral — di mana tak ada jejak kenangan mereka."Supaya kita bicara sebagai dua individu penuh. Bukan sebagai Nara di kotanya, atau Raydan di kotanya."Penerbangan 15 jam terasa seperti satu perjalanan batin menuju pertaruhan terakhir.Mereka bertemu di lobi hotel kecil dekat Alfama, distrik tua kota itu.Saat bertemu, mereka berpelukan lama.Tak banyak kata.Karena keduanya tahu:“Pelukan ini mungkin jadi pelukan terakhir sebagai suami-istri.”Mata mereka basah — bukan karena cemas, tapi karena kedewasaan yang berat.Malam itu mereka duduk di sebuah kafe pinggir jalan. Hanya satu lampu kecil di atas kepala mereka.Raydan memulai:“Na… aku mencintaimu. Tapi cinta itu sudah banyak berdarah. Dan aku takut kita terus membunuhnya pelan-pelan.”Nara menatap cangkirnya.“Aku juga mencintaimu, Dan. Tapi semakin kita bertahan, semakin kita saling kehilangan.”Hening panjang.A

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 76 – Ketika Kompromi Bukan Solusi, Tapi Luka yang Ditunda

    Malam itu, Nara dan Raydan kembali duduk dalam video call panjang.“Aku berpikir,” kata Nara perlahan, “bagaimana kalau... kita pertimbangkan opsi semi-permanen, Dan.”“Kamu tetap di sini untuk kontrak tiga tahun itu?” tanya Raydan pelan.“Dan kamu tetap di Jakarta, mengembangkan Rumah Kata-mu.”Raydan menunduk, menekan perasaan yang mendadak menyesak.“Long distance marriage? Tiga tahun penuh?”“Mungkin kita bisa saling kunjung, tiap beberapa bulan. Video call tiap malam. Dan setelah itu... kita evaluasi kembali.”Suasana hening panjang memenuhi ruang virtual mereka.Beberapa hari kemudian, mereka mencoba membahas secara rasional.“Kalau kita jalani ini,” kata Raydan, “ada beberapa risiko nyata:”1️⃣ Emotional fatigue:"Semakin lama kita berjalan tanpa sentuhan fisik, tanpa rutinitas kecil, kemungkinan jarak emosional membesar akan sangat nyata."2️⃣ Micro-disconnection:"Kita mungkin saling update, tapi akan banyak momen harian kecil yang kita tak lagi bagi."3️⃣ Trust fragility:

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 75 – Ketika Bertemu Lagi, Tapi Tak Sepenuhnya Sama

    Bandara Schiphol, Amsterdam.Setelah delapan bulan berpisah, Nara menunggu di arrival gate. Tangannya gemetar. Perutnya berkecamuk. Ada rindu, ada canggung, ada... kecemasan."Bagaimana jika kami tak lagi senyaman dulu?"Ketika Raydan muncul dari pintu kaca, Nara melangkah cepat. Mereka berpelukan erat.“Kamu kelihatan beda, Dan…” bisik Nara.“Kamu juga, Na. Tapi... aroma parfummu masih sama.”Mereka tertawa pelan, mencoba menenangkan hati yang sama-sama gugup.Beberapa hari pertama berjalan lancar.Mereka jalan-jalan menyusuri kanal.Menikmati sarapan ala Belanda.Mengunjungi museum Van Gogh.Namun, di sela kebersamaan itu, ada rasa yang samar: Seperti sedang saling kenalan ulang.Nara menyadari: Raydan lebih banyak diam, lebih banyak memperhatikan, seolah menahan diri.Raydan pun menyadari: Nara kini lebih cepat mengambil keputusan, lebih dominan mengatur agenda."Kami sama-sama tumbuh. Tapi sedang mencari bagaimana caranya saling menyesuaikan ritme baru."Suatu sore, saat m

  • Antara Peran dan Perasaan   Bab 74 – Ketika Orang Lain Bertanya

    Hari itu di Amsterdam terasa seperti hari-hari sebelumnya. Langit musim semi membentang biru pucat, angin tipis meniupkan aroma kopi dari kafe langganan mereka: De Lichte Kamer.Nara duduk bersama Keiko dan Zanele, dua sahabat sekaligus rekan seperjuangannya di program Global Empathy Fellowship.Topik hari itu awalnya ringan — membahas sesi mentoring, keberhasilan proyek baru, dan rencana konferensi di Brussel bulan depan.Tapi percakapan pelan-pelan bergeser. Zanele, seperti biasanya, menjadi yang pertama melempar batu kecil ke danau batin Nara:“So, Nara… 18 months almost done, huh?”Nara tersenyum samar.“Yes. Time flies.”Keiko menimpali dengan suara lembut:“And after that? Back home? Or... maybe extending the contract?”Kalimat itu sederhana. Tapi langsung menimbulkan gelombang kecil dalam pikirannya.“I don’t know yet,” jawab Nara jujur.Zanele menatap Nara dengan mata yang hangat tapi tajam.“Nara… you love your husband, I know that. But are you sure your version of love c

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status