LOGINAkibat dikhianati kekasihnya, Qiana terpaksa menerima saat dijodohkan oleh Zayn. Sayangnya sikap Zayn begitu angkuh dan dingin membuat Qiana begitu frustasi. Trauma perselingkuhan mantan kekasihnya dimasalalu membuat Qiana mati-matian menggoda dan merayu Zayn supaya pria itu benar-benar jatuh cinta padanya. Apakah dia akan berhasil? "Jangan pernah berharap banyak! Apalagi untuk tidur bersama! Ingat pernikahan ini hanyalah formalitas." — Zayn (28 tahun) "Bagaimana mungkin perempuan secantik dan seseksi aku dianggurin? Pokoknya aku harus membuat Pak Dokter jatuh cinta padaku." —Qiana (23 tahun)
View MoreSuara desahan terdengar mengusik telinga gadis 23 tahun yang baru tiba di salah satu kosan mewah di Jakarta. Suara itu terdengar dari balik pintu, lembut namun penuh gairah. Mengusik seorang Qiana yang baru saja tiba di kosan mewah milik kekasihnya, Vero.
"Sayang... lebih dalam... Ugh..." Suara lelaki menyusul, dalam, berat, dan membuat darah Qiana terasa berhenti mengalir. Tubuh Qiana membeku, nafasnya tercekat, matanya terbelalak sementara wajahnya mulai memucat. Dia tidak ingin mempercayai apa yang dia dengar, bahkan ia berharap jika dia salah. Akan tetapi semua harapannya runtuh dalam sekejap saat mengenali suara siapa di dalam. "Vero— ahhh... terus Vero..." Suara perempuan itu tak salah lagi. Qiana mengenal suara itu. Suara Maya—sahabatnya. "Iya, sayang. Aku akan buat kamu menjerit puas karena sentuhanku, "suara sang laki- laki kembali terdengar, lebih jelas dan begitu intim. "Aahh... Ini milik kamu buat aku gila... Mnhhhm..." Suara helaan nafas mereka yang berpacu dalam gairah dapat di dengar dengan jelas oleh Qiana. "Liang kamu juga sayang. Aah, rasanya nikmat sekali." Bruuuk. Totebag yang Qiana bawa terjatuh. Undangan cantik dengan nama "Qiana & Vero" berhamburan di lantai, terinjak oleh kenyataan pahit. Napasnya mulai tersengal. Ingin rasanya tak mempercayai apa yang ia dengar. Tapi itu sia-sia. Dia tahu apa yang mereka lakukan di balik pintu itu. Dia tahu... dan dia hancur. "Vero, lebih cepat! Aaah!" "Sayang, sempit sekali... Milik kamu benar-benar sempit..." Aarghh! Tak sanggup lagi menahan, Qiana mengangkat tangannya dan mendorong pintu kosan yang tidak terkunci. "VERO!" Qiana berteriak, ia mencoba untuk tetap kuat berdiri saat melihat kekasih yang amat dia cinta sedang bersenggama dengan perempuan lain. "Apa-apaan ini?!" Vero— pria berkulit tan itu segera beringsut turun dari atas tubuh Maya selingkuhannya. Ia kaget sekaligus tidak menyangka jika Qiana akan datang secara tiba-tiba. Q—Qiana?!" Vero tergagap, panik. "Aku bisa jelasin—" PLAAAK Satu tamparan keras mendarat di pipi pria yang setengah telanjang tersebut. Padahal dia baru saja mendekati Qiana untuk menjelaskan apa yang terjadi, tapi pukulan itulah yang justru ia dapatkan. "Apa yang kamu lakukan, Vero? Selama ini kamu selingkuh?" "Qia, tunggu! Dengar dulu—aku bisa jelasin semuanya!" ujar Vero buru-buru, mencoba menghampiri. "Jelasin APA?!" bentak Qiana, menunjuk ke arah tempat tidur. "Aku gak buta! Aku juga gak tuli, Vero! Aku DENGAR SEMUA! Dan itu cukup jadi bukti!" "Qia... dengar dulu! Tolong jangan marah-marah!" "Jelasin apa, bangsat? Semua sudah jelas!" Qiana melirik Maya yang duduk meringkuk di atas ranjang dengan berbalut selimut tebal menutupi badannya. "Kamu— tega banget kamu selingkuh? Kamu lupa sebulan lagi kita nikah? LUPA?!" Dengan wajah panik, Vero berusaha menyentuh tangan Qiana, namun di tepis secara paksa oleh perempuan itu dengan segera. "Jangan sentuh aku, bangsat! Kamu— aku gak nyangka kamu kayak gini!" "Qia, aku sama sekali gak punya maksud jahat. Aku begini karena ada alasannya!" Qiana menampar pipi Vero keras. "Selingkuh kayak gini kamu bilang gak jahat? GILA KAMU!" bentaknya di sela air mata yang terus mengalir. "Kita mau nikah, bangsat! Semua udah kita siapin, tapi kamu— kamu benar-benar gak ada otak! Brengsek!" Qiana menoleh ke arah Maya, dia terlihat tak bergerak di posisinya walaupun wajahnya tampak panik. "Kamu juga!" Ia menunjuk ke arah perempuan itu, "kita temen, Maya. TEMEN! Kenapa kamu tega khianati pertemanan kita? Apa di dunia ini gak ada cowok selain Vero? Apa semua pria di muka bumi ini udah punah sampai-sampai kamu tega rebut pacar teman kamu sendiri?" Perempuan berkulit putih itu benar-benar sangat murka. Ia menghampiri Maya dan menarik selimut yang dipakai untuk menutupi badan Maya. Aksi tarik menarik tak terhindarkan waktu itu. "Qiana, please! Jangan!" tangis Maya. "PEREMPUAN BRENGSEK! GAK TAU MALU! MURAHAN!" maki Qiana, menarik selimut itu dengan kasar. "Qiana..." Maya menangis, berusaha mempertahankan selimut yang dipakainya. "PEREMPUAN BRENGSEK! GAK TAU MALU! MURAHAN!" maki Qiana. "QIANA! CUKUP!" bentak Vero sambil mendorong tubuh ramping Qiana hingga jatuh. "Maya gak salah! Kamu yang salah, Qia!" Tubuh ramping itu terjatuh ke lantai. Qiana terperangah. Tubuhnya gemetar—bukan karena jatuh, tapi karena dikhianati dan kini... didorong oleh pria yang seharusnya menikahinya dalam sebulan. "Kamu... dorong aku?" bisiknya lirih. Vero terlihat bingung, tapi ekspresinya cepat berubah menjadi dingin. "Aku cuma gak mau kamu nyakitin Maya!" Qiana menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Kamu bela dia? Kamu belain selingkuhanmu?!" tanyanya pada pria yang bertahun-tahun ini ia temani dalam segala situasi. Entah itu senang atau sedih. Vero menatap tajam. "Maya gak salah. Yang salah itu kamu." "Aku? Kamu bilang aku yang salah? Kamu gak waras apa?" Qiana menatap Vero tak percaya. "Iya!" Vero menunjuk ke arahnya. "Kamu terlalu jual mahal! Kita udah pacaran bertahun-tahun, tapi kamu gak pernah mau aku sentuh! Bahkan pelukan aja susah. Aku ini pria normal, Qia. Aku butuh keintiman. Ciuman. Sentuhan. Tapi kamu? Kamu sok suci!" Qiana mengerutkan keningnya. "Apa? Jual mahal?" "Aku ini pria normal, aku juga ingin merasakan ciuman, seks sama orang yang aku cinta, dan kamu—" Ia menunjuk ke arah Qiana yang mulai bangun dari posisinya terjatuh tadi. "Kamu gak bisa ngasih aku semua itu. Setiap aku minta cium atau sekedar pelukan kamu selalu menolak. Kamu terlalu sok suci Qiana." Plaaak! Qiana kembali menampar pria itu. Kali ini disusul beberapa pukulan di dada bidang Vero. "Ada perempuan yang ingin jaga kesuciannya kamu sebut sok jual mahal? Kamu itu benar-benar pria aneh!" "Kamu itu yang gak normal karena menolak permintaanku. Kita ini pacaran, sepasang kekasih. Apa salahnya kalau aku minta 'itu'?" Qiana mengangguk pelan. Sekarang dia paham alasan kenapa Vero selingkuh darinya. "Oh, oke. Kalau kamu mau minta seks, minta saja sama perempuan MURAHAN itu. Sana nikmatin aja perempuan itu sampai kamu puas!" Perempuan berkulit putih tersebut semakin emosi. Wajahnya memerah karena amarah yang tak terkendali. "Dan kita, mulai hari ini kita putus. Kita batalkan pernikahan kita!" Vero menatap Qiana tak percaya. "Kamu yakin mau pisah dariku? Apa kamu tidak malu, hah? Semua persiapan sudah hampir 80%. Apa kata orang-orang kalau pernikahan kita batal?" Dengan tatapan tegas dan tanpa rasa goyah, Qiana berkata, "Aku lebih memilih untuk menanggung rasa malu yang mungkin hanya sebentar ini, daripada harus menikah dengan pria brengsek tukang selingkuh seperti kamu!" Qiana mendorong Vero yang berdiri tepat di depannya dengan wajah angkuh. "POKOKNYA MULAI HARI INI KITA PUTUS!"Qiana setuju dengan menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka berdua berpelukan. Karena Qiana sudah bisa berpikir jernih, jadi Rheana rasa sudah waktunya untuk mereka kembali. "Kita balik, yuk, Kak! Takutnya nanti ada jadwal pemeriksaan Kak Qiana yang terlewat," ajak Rheana. "Iya, aku juga mau istirahat, kok! Terima kasih ya sudah mengajak aku keluar!" jawab Qiana yang senang. Rheana mendorong kursi roda Qiana hingga tak terasa sudah sampai di koridor Rumah Sakit. Di sepanjang perjalanan, Rheana bercanda dan tertawa bersama dengan Qiana. Sialnya di tengah koridor, mereka malah bertemu Diandra yang rupanya sedang tugas di Rumah Sakit itu. Rheana sebenarnya malas tapi ia berhenti dan tetap menyapa Diandra. "Halo!" Rheana menyapa dengan ketus. Diandra menaikkan bibir kanan atasnya lalu menjawab, "Kalau males ya enggak usah nyapa daripada masang muka enggak enak dilihat kaya begitu!" Rheana menyesal karena sudah menyapa Diandra. Memang paling benar pura-pura tidak melihat saja p
Rheana mengeluarkan ponselnya lalu berpura-pura untuk menghubungi seseorang. Ternyata ia pura-pura menghubungi Zayn untuk mengelabui dokter itu. "Halo! Kak Zayn! Aku ingin melaporkan seorang Dokter ke kamu!" Rheana sengaja mengeraskan volume suaranya. Rheana yang melirik ke arah dokter itu melihat sang dokter tersentak seperti terkejut. Benar saja, setelah mendengar nama Zayn disebut, dokter itu langsung memanggil Rheana. "Nona, bisa kita bicara sebentar?" tanya dokter itu yang kelihatan gugup. Rheana tersenyum lalu pura-pura mematikan ponselnya. Dokter itu seketika langsung memberi izin dirinya untuk membawa Qiana keluar dari ruangannya. "Bukannya tadi kata Dokter tidak boleh, ya?" Rheana sengaja menggoda dokter itu. Terlihat dokter itu sedikit gelagapan menjawab pertanyaan Rheana. "Saya baru ingat kalau rekan saya mengatakan jika Nyonya Qiana ingin jalan-jalan sudah diberikan izin! Maaf
Rheana terlihat bersemangat menanyakan hasil pemeriksaannya Qiana. Tapi Qiana sendiri belum tahu bagaimana hasil pemeriksaannya. Jadi dia berbicara apa adanya pada Rheana. "Entahlah, aku juga tidak tahu karena Zayn yang membawa hasil pemeriksaannya." Qiana menggelengkan kepalanya. Rheana berkacak pinggang dan wajahnya sedikit ditekuk karena kesal pada Zayn. "Bagaimana bisa Kak Zayn merahasiakan hal seperti itu dari Kak Qiana?!" Benar, harusnya Zayn jujur pada Qiana apapun hasilnya, pikir Qiana. Hal itu tiba-tiba membuat Qiana menjadi overthinking. "Bagaimana jika hasilnya jelek? Bagaimana jika penyakitku parah? Bagaimana jika aku tidak bisa disembuhkan? Bagaimana jika aku akan hidup menjadi orang cacat dan terus menyusahkan Zayn dan kalian? Bagaimana jika Zayn merahasiakan hasil pemeriksaannya karena aku memang sebentar lagi akan mati?" Qiana malah jadi ngelantur sampai ke mana-mana. Bahkan sampai berpikir jika ia tidak akan hidup
Rupanya itu adalah telepon dari rumah sakit tempat Zayn bekerja. Zayn langsung merasa malas dan tidak enak karena dugaannya pasti benar jika ia mengangkat panggilan telepon itu. Zayn memutuskan untuk tidak mengangkat telepon itu dan memutuskan untuk memasukkan ponselnya ke dalam celananya lagi. Qiana yang tadi bertanya namun tak mendapat jawaban kembali mempertanyakan hal yang sama. Zayn pun menjawab jika itu adalah panggilan dari rumah sakit. Qiana marah karena Zayn malah mengabaikan telepon dari rumah sakit. Tentu saja Qiana langsung memberikan ceramah. "Bagaimana bisa kamu mengabaikan telepon dari rumah sakit? Bagaimana jika itu telepon yang penting?" omelnya. "Aku juga sudah menduga jika aku pasti dipanggil ke sana. Tapi aku tidak mau meninggalkanmu di saat seperti ini! Dokter lain kan ada juga!" jawab Zayn yang membantah layaknya anak kecil. Qiana merasa gemas karena ada juga saat-saat di mana Zayn bertingkah seperti itu. Qiana langsung mencubit kedua pipi Zayn. Qia
Zayn sampai berkeringat dingin hanya karena khawatir Qiana marah. Zayn berusaha menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Sedikit lebih tenang, Zayn memberanikan diri membuka mulutnya. "Untuk hasil yang lebih maksimal dalam pemeriksaan mengenai kondisi kamu, kamu mau kan mengikuti tes pemeriksaan yang lainnya?" Benar ternyata dugaan Qiana. Lagi-lagi ia dihadapkan dengan situasi yang tidak ia sukai. Tentu saja Qiana langsung menolak. "Tidak mau!" Qiana sampai melipat tangan di dada dan membuang muka. Zayn tahu jika ini akan sulit. Tapi tetap saja ia harus berusaha keras untuk membujuk istrinya. Bagaimanapun juga Zayn harus membuat Qiana setuju. "Ayolah Sayang, ini juga demi kesembuhan kamu! Apa kamu tidak ingin sembuh?" tanya Zayn yang berusaha untuk membujuk Qiana lagi. Rasanya sangat melelahkan jika Qiana harus melakukan tes lain lagi sementara ia sudah melakukan tes sebelumnya. "Apakah tidak cukup dengan melakukan tes ekokardiografi? Kenapa harus ikut tes yang la
Dokter itu menjelaskan jika ada hal yang perlu ditindaklanjuti secara serius untuk memeriksa keadaan Qiana. Karena jika tidak segera ditangani, mungkin akan menyebabkan kondisi yang serius. Dan pemeriksaan itu tidak bisa dilakukan dengan mata telanjang. Jadi harus dibawa ke tindakan lanjutan. "Saya menyarankan jika Nyonya Qiana harus melakukan Ekokardiografi," ujar sang dokter. Qiana bergumam pelan, "Ekokardiografi?"Karena Zayn juga khawatir melihat kondisi Qiana yang sebelumnya jadi ia merasa jika tidak ada salahnya untuk dicoba. Semoga saja dengan begini Zayn jadi semakin tahu mengenai kondisi istrinya. "Baiklah, Dokter! Jika memang harus seperti itu, saya tidak keberatan!" Zayn sangat nyakin. "Tunggu! Yang diperiksa kan aku? Kenapa kamu yang ambil keputusan?" Qiana menyela karena kesal. Zayn dengan gampangnya langsung membuat keputusan seorang diri tanpa menanyakan pendapat Qiana dan itu membuat Qiana kesal. "Sayang, aku mohon kerja samanya, ya? Kamu tidak mau di sini lama-
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments