“Di mana Farah?! Katakan padaku, di mana dia?!”
Amira bejalan cepat dengan wajah yang kini berantakan akibat terjangan air mata. Matanya sembab, riasannya hancur, rambutnya tak lagi tertata. Sepatu silver hak tinggi itu lepas dari kakinya yang jenjang. Tangannya mengepal kuat, seolah tahu siapa dalang dari kematian sang kekasih
“Nona Farah tidak masuk. Apa-apaan kau menyebutnya tidak sopan seperti itu?” jelas salah satu teman kerjanya di bar yang bingung melihat sikap Amira.
Gadis itu mendesis, tidak percaya. Dia kembali berjalan menyusuri lorong bar yang mana isinya adalah sejumlah kamar. Dia yakin, ada Farah di dalam sana. Farahlah dalangnya. Farah juga yang menaruh alat pengaman itu di dalam tasnya. Amira yakin itu.
“Keluar! Farah, di mana kau? Cepat keluar!”
Satu persatu pintu kamar yang dia lewati ditendang untuk mencari Farah yang bersembunyi. Pintu kamar terakhir terbuka tepat saat Amira hendak menendangnya. Sosok perempuan berambut pirang samar keluar dari dalam sana. Amira seketika saja menyerang dengan memukul wajah Farah tanpa aba-aba.
“Kau pelakunya bukan? Kau yang melenyapkan Dired!” teriak Amira, sarkas.
Farah meringis kecil memegangi pipinya yang panas. Lantas dia tersenyum miring, sambil menatap wajah Amira, anak buahnya.
“Berani sekali kau memukulku. Kau sadar apa yang telah kau lakukan Amira?” desis Farah, masih mampu menahan amarah.
“Tidak perlu bertele-tele denganku. Katakan sejujurnya, kenapa kau melakukan itu pada Dired? Kenapa kau melenyapkan kekasihku!”
Suara Amira tetap mengudara menguasai ruangan. Matanya tidak akan berbohong, bahwa saat ini dia sedang menahan kecewa, marah dan sakit hati dalam satu waktu. Tangannya masih mengepal meski bergetar. Dadanya berguncang cepat, meski menahan gugup. Dia marah, tapi entah kenapa rasa takut juga ikut berambisi meruntuhkan keyakinannya.
“Apa katamu? Apa kau baik-baik saja?” ucap Farah, lantas tertawa. Hitungan detik, Farah membalas perlakuan Amira tadi padanya, begitu terasa keras seperti mendengungnya telinga Xananya. “Jangan berani memukul atasanmu sendiri. Apalagi menuduhnya yang tidak-tidak. Itu tidak sopan. Paham?”
“Kau yang mengatakan padaku kalau kau membenci Dired dan ayahnya. Kau satu-satunya orang yang mampu melakukan hal itu pada mereka.” Amira mengungkap teori dalam benaknya dengan tangan yang memegangi wajah.
“Aku merasa seperti orang bodoh ketika menceritakan semua hal yang kualami padamu. Kau tahu aku membenci mereka, tapi kau justru menjalin hubungan baik dengan orang itu. Apa kau pikir aku sedang baik-baik saja sekarang, Amira?” jelas Farah, kecewa.
“Mereka tidak ada sangkut pautnya denganku. Aku mencintai Dired, dan kau telah mengubur semua kebahagiaanku itu, Farah. Kau kejam!”
Hendak kembali memukul, seorang petugas kepolisian datang menginterupsi dengan todongan senjata api padanya. Amira membulatkan mata, melihat dua petugas itu mendekatinya lantas menyatukan dua tangannya untuk diborgol. Amira merasa lidahnya keluh, bahkan saat kedua petugas itu membawanya menjauh dari Farah.
“Aku sudah menahannya. Petugas akan membawanya padamu, Ramon.”
“Terima kasih, Farah. Aku mengandalkanmu. Maaf jika sikapku membuatmu terluka. Aku harap kita punya waktu luang untuk sekadar minum anggur berdua.”
Farah segera mengakhiri panggilan suara. Dia membelai pipinya yang sempat dipukul Amira, lantas saja mendesis,
“Akan kubalas sakit hatiku padamu, Ramon. Aku tidak akan melupakan bagaimana caramu dan putramu itu memperlakukanku.”
**
“Wanita b*rengsek!”
Amira dihempaskan begitu saja dengan mulut diikat juga tangan diborgol di belakang badan. Matanya menatap nanar pada ruangan temaram tempatnya dibuang. Potrait gadis cantik itu seketika saja berubah menjadi menyedihkan dalam kurun waktu tidak lebih dari dua puluh empat jam. Kebahagiaan yang sudah dia rancang kemarin malam, akhirnya padam sama seperti rasa cintanya yang telah hancur oleh kenyataan. Sepasang mata Amira menyipit tepat saat lampu ruangan itu menyala. Dia melirik-lirik cepat, mencari-cari siapa lagi orang yang akan memperlakukannya dengan buruk kali ini. Sebelumnya dia sudah mendapatkan beberapa pukulan bahkan perutnya terasa keram akibat ditendang salah satu oknum yang tidak dia kenali sebelumnya.
Sosok bayangan mulai datang mendekat. Keadaan Amira yang tengah duduk bersimpuh, perlahan mendongak guna melihat siapa sosok pemilik bayangan tersebut. Mata hazel nan legam itu membulat, setelah melihat bahwa yang hadir di depannya dalah Ramon, calon ayah mertuanya.
Amira bergumam hendak mengatakan sesuatu. Namun kain yang menyumpal mulutnya membatasi. Dia hanya bisa menggerak-gerakkan wajah bentuk permohonan pada Ramon.
“Kau membunuh putraku hanya untuk harta?” gumam Ramon. Dia juga terluka.
Tadi, saat mendengar kabar duka dari sang putra, Ramon segera meraih kunci mobil dan langsung memacu kendaraannya menuju lokasi jasad sang anak.
Seolah waktu sedang berhenti, tepat saat matanya menyorot pahatan wajah yang hampir menyerupainya. Yang bisa didengar oleh Ramon hanya suara tawa Dired bahkan senyum putranya itu ikut dalam pandangan Ramon yang kini memudar.
Amira menggeleng cepat. Matanya juga secepat kilat terbenam cairan dan lagi-lagi menjejeki wajahnya. Dia menatap nanar wajah Ramon yang tampak begitu memprihatinkan. Laki-laki itu sama terlukanya dengannya.
“Kenapa kau melakukan hal itu? Jika saja kau mengatakan padaku apa maumu, aku tidak akan kehilangan putraku. Dan kau juga akan kupastikan mendapatkan maumu. Kau benar-benar bukan manusia,” lirih Ramon kembali.
Amira lagi-lagi hanya bisa menggeleng dan menangis. Mau berucap pun dia tidak akan bisa. Mau mengatakan apa pun dia tidak akan mampu. Yang bisa dia lakukan, hanya menangis dan memberi isyarat bahwa dia tidak melakukan hal itu.
Amarah telah membungkus logika Ramon, hingga dia tega melayangkan tendangan pada puncak kepala Amira hingga gadis itu tersungkur, terbaring. Rasanya dunia sedang berputar-putar dalam pandangannya. Sakit. Kepalanya begitu pedih dan tak dia sadar telah banyak darah yang keluar membasahi lantai juga rambutnya.
“Aku tidak bisa hidup tanpa putraku! Aku tidak butuh apa pun kecuali putraku! Dan teganya kau melenyapkannya!” teriak Ramon, benar-benar murka.
Laki-laki itu sudah buta akan keadaan. Dia belum juga puas hanya melakukan hal kecil itu pada Amira. Ramon beralih melipat lengan kemejanya sampai siku, dan melepas sabuknya hingga memberi ancang-ancang akan menyambuk Amira.
“Dengarkan aku baik-baik. Dired adalah hartaku. Dired adalah kekayaanku. Dired adalah orang yang tidak akan bisa digantikan oleh apa pun!”
Mata Amira menyipit kuat, ketika Ramon mencambuknya tepat di paha. Gumaman itu terus saja terdengar, berharap sesuatu datang membantunya. Dia tidak boleh mati sebelum memberikan keadilan pada kekasihnya yang mati begitu saja.
Satu kali.
Dua kali.
Tiga kali.
Ramon mengatur napas, lantas merunduk guna mengangkat wajah Amira yang semakin melemah. Laki-laki itu menyibak kain yang menutup mulut Amira begitu kasarnya, sehingga membuat gadis itu menghela napas lega. Ramon mencengkeram rahang Amira, membiarkan gadis itu menantapnya tanpa berpaling.
“Jika kau bisa melakukan hal yang keji seperti itu pada putraku, aku juga akan menunjukkan padamu apa arti dari kematian. Sebelum Tuhan benar-benar menghukummu, aku yang akan memberikan hukuman itu bahkan jauh lebih sakit dari neraka sekali pun,” ucap Ramon, lalu membuang wajah Amira begitu saja.
Amira semakin melemah. Namun, dia masih saja memaksakan diri untuk tetap sadar. Dia harus menegaskan bahwa bukan dialah pelaku atas kematian Dired. Dia juga akan melakukan apa pun agar pelaku sesungguhnya dapat ganjaran.
“Bukan aku yang melakukan itu. Aku akan bersumpah atas nama Tuhan. Bukan aku yang melakukannya,” lirihnya, memaksa mulut untuk berbicara meski rasanya sudah hampir tak bisa.
“Dan kau berharap aku mempercayai itu?” Ramon kembali mencambuk. Dia berjalan mengelilingi Amira mencoba melihat gadis itu dari segala arah. “Kau yatim piatu. Kau dari keluarga yang tidak jelas. Kau hanya pelayan bar. Kau miskin dan kau hina. Kau berniat memberikan cinta pada putraku dengan kejelasan hidupmu yang seperti itu?”
“Aku memang perempuan miskin yang tidak punya apa-apa.Namun, aku bukanlah perempuan hina dan cintaku tulus untuk Dired. Akumencintainya bahkan rela menyerahkan nyawaku padanya,” sahut Amira.“Jangan membuat skenario yang tidak-tidak di sini. Aku akanmembunuhmu jika kau menyebut nama putraku lagi.”Tepas saat Ramon selesai dalam ucapannya, tubuh Amira jatuhdan terbaring tak sadarkan diri lagi. Tak ada raut panik dalam pahatan wajahRamon. Dia menatap gadis itu tenang sambil membayangkan betapa menyedihkannyahidup putranya. Dia mencintai perempuan ini dengan tulus, akan tetapi cintanyaitu sendirilah yang membawanya dalam kematian yang buruk.**Farah datang dengan dua gelas anggur merah di tangannya. Disudut sana tepatnya disofa depan kaca transparan menggambarkan objek kota,sedang duduk laki-laki berparas tampan dengan rahang tegas.“Tenangkan dirimu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-halberat dulu,” ucap Farah sambil menyerahkan satu gelas minuman pada Ramon.Laki-laki it
“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”“Siapa kau?” singkat Ramon, datar.“Kau tidak perlu tau itu. yang harus kau lakukan hanyalahmelepaskan Amira. Dia tidak bersalah!” desak laki-laki di sana.Ramon menyeringai tipis. “Kau kekasihnya?” tebaknya, lebihterdengar sebuah tuduhan.“Bukahkah sudah kukatakan padamu? Kau tidak perlu tau itu...”“Tidak akan kulepaskan dia. Siapa pun kau, bahkan Tuhansekali pun yang memintanya, aku tidak akan melepasakan pembunuh itu. Dia harusmerasakan kepedihan yang lebih pedih dari pada kematian!” potong Ramon, mulaigeram.“Kau orang kaya. Kau punya banyak uang dan kau punyakekuasaan. Tapi kenapa kau menuduh orang sembarangan tanpa mencari tahu dulukebenarannya? Bukankah orang-orang sepertimu lahir karena memiliki nilaikepintaran di atas rata-rata?” singgungnya.“Itulah kenapa Tuhan tidak menciptakan orang-orang sepertimumemiliki banyak uang, karena kau mudah ditipu oleh perempuan tidak bergunaseperti Amira itu. Kau ...”Bug!Belum selesai ucapan
“Nona, kau mau ke mana?”Amira terlojak, saat tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Amira yang sebelumnya hilang kesadaran dibangunkan oleh mimpi buruk yang mampir di tengah lelapnya. Tak bisa tidur lagi, Amira segera bangun, meskimasih dalam kondisi yang memprihatinkan. “A-aku, aku mau keluar sebentar.Aku ingin menghubungi seseorang,” jawabnya, memang hendak melakukan hal tersebut.“Tuan Ramon melarangmu ke mana-mana. Saya akan membawakan teleponnya ke dalamkamar. Silakan kembali ke sana, Nona.”Rupanya salah satu pengawal Ramon sengaja disuruh berjaga di salah satu bangsalVVIP yang di pesan oleh Ramon. Amira baru tahu, kalau Ramonlah yang membawanyadan bukan orang yang ada dalam benaknya sejak tadi. Perempuan itu lantasmendengus, tak percaya kalau Ramon rupanya belum cukup puas dengan menyiksanyakemarin malam.“Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Tapi tolong bawakan aku telepon. Aku inginmenghubungi seseorang,” sahut Amira, menyerah. Tidak ada tenaga jika harusmelawan sek
Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya. Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired. “Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi. “Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab. Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini. “Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi. “No-Nona A-Amira,” aku pria itu. Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadi
“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya. “Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan. “Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja. Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati. Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya. “Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira. “Tidak ada yang bisa kulakukan selain m
Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya. “Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”Plak! Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam, “Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!” Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat. “Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sin
“Berjanjilah akan menjaga Amira. Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan jika kau mau berjanji.” Ramon tersentak dari lelapnya yang singkat. Dia membuka mata menatap ke sekeliling. Tegukan ludah itu terasa berat, apalagi saat mengingat alasan terbangun adalah Sagha. Dia dibawa kembali pada saat Sagha terjatuh setelah mengucapkan janji. Laki-laki itu segera bangun dan berlari kecil keluar keluar dari ruangannya. Disela langkah Ramon meminta salah satu anak buahnya untuk mengambilkan ponsel. Pria berpakaian lengkap ala bodyguard itu langsung saja membawakan ponsel baru sesuai perintah. “Beri tahu aku di mana Riko.” Setelah mengetik beberapa nomor juga melakukan panggilan suara, Ramon terdengar memerintah orang yang dia hubungi. “Pak Riko sedang berada di hotel tak jauh dari Bar Farah, Pak.” “Cepat ke sana dan cari si Brengsek itu!” Ramon memutuskan panggilan, sebelum masuk ke dalam mobil. Jaraknya juga tempat Riko cukup memakan waktu. Memerintah anak buah akan memberinya sedik
“Pak Ramon. Pak! Pak!” Ramon terkesiap, secepatnya menyadarkan diri. “Ah, iya. Ada apa?” “Ini beberapa berkas yang Bapak minta kemarin. Kami sudah memastikan kevalidan isinya, Pak.” Seorang ajudan berpakaian formal tadi, menyerahkan pada Ramon sebuah map di atas meja. Ramon mengangguk-angguk, tak ada jawaban. Dia masih bingung, kenapa dia bisa lengah tadi. Apa yang membuatnya melamun hingga tidak sadar akan kedatangan anak buahnya. “Kau boleh pergi,” kata Ramon mengakhiri. Setelah tubuh jangkung tadi melengos dari hadapannya, dia segera menyugar rambutnya cukup kasar, seraya mendesah merasa frustrasi. Entah apa yang dipikirkan Ramon sampai lupa tentang dirinya sendiri.Deru napas itu kembali mengudara, mengenyahkan segala beban pikiran. Atensinya beralih pada berkas dalam map kuning di depannya, lalu membuka dengan segera. Tepat saat Dired memperkenalkan Amira secara tersirat waktu itu, saat itu juga Ramon meminta pada ajudannya untuk mencari tahu latar belakang Amira. Setela