“Aku memang perempuan miskin yang tidak punya apa-apa. Namun, aku bukanlah perempuan hina dan cintaku tulus untuk Dired. Aku mencintainya bahkan rela menyerahkan nyawaku padanya,” sahut Amira.
“Jangan membuat skenario yang tidak-tidak di sini. Aku akan membunuhmu jika kau menyebut nama putraku lagi.”
Tepas saat Ramon selesai dalam ucapannya, tubuh Amira jatuh dan terbaring tak sadarkan diri lagi. Tak ada raut panik dalam pahatan wajah Ramon. Dia menatap gadis itu tenang sambil membayangkan betapa menyedihkannya hidup putranya. Dia mencintai perempuan ini dengan tulus, akan tetapi cintanya itu sendirilah yang membawanya dalam kematian yang buruk.
**
Farah datang dengan dua gelas anggur merah di tangannya. Di sudut sana tepatnya disofa depan kaca transparan menggambarkan objek kota, sedang duduk laki-laki berparas tampan dengan rahang tegas.
“Tenangkan dirimu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal berat dulu,” ucap Farah sambil menyerahkan satu gelas minuman pada Ramon.
Laki-laki itu hanya menoleh lalu meraih minuman memabukkan itu. Dia kembali menatap tenangnya kota dari jaraknya sambil meneguk minumannya.
“Aku hanya memikirkan, bagaimana keadaan putraku sekarang. Apa dia sudah makan, atau sudah minum?”
Farah menatap Ramon yang tak menatapnya. Bahkan setelah kepergian Dired pun, laki-laki ini tetap bersikap angkuh. Lihat saja gayanya duduk. Mengangkat satu kaki di atas kaki lainnya. Dia juga tak menatap lawan bicaranya. Bahkan dia menggunakan jas lengkap, sementara mereka sedang berada di dalam kamar yang seharusnya dibawa santai.
“Tuhan menyayangi Dired. Dia akan memperlakukan Dired sebagaimana kau memperlakukannya selama ini,” ucap Farah. “Yang harusnya kau lakukan sekarang adalah bertahan. Bertahan untuk putramu dan untuk pelaku itu,” lanjutnya, setelah berhasil membuka jas Ramon.
Laki-laki itu kini menatap penuh pada Farah, perempuan yang dulu sempat di pacari. Dia ingat, bagaimana mereka dulu akan mempersiapkan pernikahan. Ramon juga ingat, bagaimana Dired begitu bersemangat saat tahu kalau ayahnya akan melepas masa duda.
Farah menangkap sorot mata Ramon yang begitu dalam. Farah perlahan mejalarkan tangan didada bidang Ramon, mencoba menarik daya alami laki-laki itu hingga jatuh dalam pelukannya. Tak seperti biasanya memang, Ramon seolah tertarik untuk melakukan hal itu setelah beberapa penggal kejadian mengejutkan menyapanya.
Tangan kekarnya perlahan merenggut rahang Farah, lalu melepaskan jarak hingga bibirnya mendarat pada bibir mungil Farah. Ramon memagut begitu dalam sampai tubuhnya bergerak menindih tubuh Farah. Perempuan di sana merasa menang, sudah berhasil memasukkan Ramon dalam jeratnya. Sekarang sisa satu langkah lagi. Setelah berhasil, dia akan mengusai Ramon seutuhnya.
Hendak memejamkan mata guna menikmati aksinya, tiba-tiba saja potrait Amira yang tersenyum muncul dalam ingatan Ramon. Seketika saja dia menghentikan aksi, seolah tersadar akan perbuatan yang salah.
Farah yang dibuat bingung langsung saja ikut berdiri saat Ramon bangun hendak berlalu. “Ramon, ada apa denganmu?”
Ramon berhenti sambil meremas jas yang dia genggam. “Maaf, aku akan kembali nanti. Aku yang akan membayar tagihan kamarnya,” ucap laki-laki itu, lantas melenggang pergi begitu aja, meninggalkan Farah dan bercak lipstik yang sudah merambat kemana-mana.
Perempuan itu lantas saja berteriak frustasi, sambi menjambak rambutnya sendiri.
“Apa yang salah dariku, Ramon? Kenapa kau selalu saja membuatku jatuh cinta sekaligus merasa hina?”
Ramon mendatangi rumah sakit tempat di mana Amira dirawat sesuai arahannya pada anak buahnya. Jangan mengira Ramon melakukan ini karena merasa kasihan pada Amira. Dia hanya tidak ingin perempuan itu mati begitu saja tanpa menebus segala perbuatannya pada Dired-masih dalam prduga Ramon Amira itu tersangka.
Laki-laki usia 40 tahun itu berjalan menyusuri lorong yang hening. Saking sunyinya dia bahkan mampu mendengar degup jantungnya sendiri yang masih belum menerima kenyataan tentang kematian sang putra tercinta. Bahkan rahang tegasnya masih dijejaki air mata yang dia sendiri sulit menahannya untuk tak lepas.
Saat-saat lemahnya Ramon kemarin, Farah tiba-tiba menghubunginya dan mulai memvropokasi. Perempuan pemiliki salah satu bar di kota itu mengatakan kalau dia tahu tentang siapa Amira dan juga ‘tujuan’ Amira mendekati Dired. Gelap hati serta logika, Ramon mengonsumsi berita bohong itu begitu saja tanpa filter. Benaknya juga memastikan bahwa Amiralah yang melakukan hal itu pada anaknya, setelah dia sempat menemukan benda ‘aneh’ dari dalam tas Amira.
Hal itulah yang membuat Farah dan Ramon kembali saling merebut kabar. Ramon meminta pada Farah untuk menahan Amira. Sementara di sisi lain, Amiralah yang bersikukuk untuk bertemu dengan Farah, karena Amira tahu, Farahlah dalang di balik semua ini. Dired tidak kena peluru melesat melainkan ada unsur kesengajaan dan sudah direncanakan. Xayanya memang meyakini itu.
Hendak membuka piintu kamar di mana tempat Amira dirawat, suara derap lagkah yang memburu menginterupsi aksi Ramon. Iris mata nan legam dengan goresan samar keemasan itu melirik tanpa memutar kepala. Mengira yang hendak menghampirinya adalah salah satu anak buahnya, ternyata dia salah praduga.
“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”
“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”“Siapa kau?” singkat Ramon, datar.“Kau tidak perlu tau itu. yang harus kau lakukan hanyalahmelepaskan Amira. Dia tidak bersalah!” desak laki-laki di sana.Ramon menyeringai tipis. “Kau kekasihnya?” tebaknya, lebihterdengar sebuah tuduhan.“Bukahkah sudah kukatakan padamu? Kau tidak perlu tau itu...”“Tidak akan kulepaskan dia. Siapa pun kau, bahkan Tuhansekali pun yang memintanya, aku tidak akan melepasakan pembunuh itu. Dia harusmerasakan kepedihan yang lebih pedih dari pada kematian!” potong Ramon, mulaigeram.“Kau orang kaya. Kau punya banyak uang dan kau punyakekuasaan. Tapi kenapa kau menuduh orang sembarangan tanpa mencari tahu dulukebenarannya? Bukankah orang-orang sepertimu lahir karena memiliki nilaikepintaran di atas rata-rata?” singgungnya.“Itulah kenapa Tuhan tidak menciptakan orang-orang sepertimumemiliki banyak uang, karena kau mudah ditipu oleh perempuan tidak bergunaseperti Amira itu. Kau ...”Bug!Belum selesai ucapan
“Nona, kau mau ke mana?”Amira terlojak, saat tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Amira yang sebelumnya hilang kesadaran dibangunkan oleh mimpi buruk yang mampir di tengah lelapnya. Tak bisa tidur lagi, Amira segera bangun, meskimasih dalam kondisi yang memprihatinkan. “A-aku, aku mau keluar sebentar.Aku ingin menghubungi seseorang,” jawabnya, memang hendak melakukan hal tersebut.“Tuan Ramon melarangmu ke mana-mana. Saya akan membawakan teleponnya ke dalamkamar. Silakan kembali ke sana, Nona.”Rupanya salah satu pengawal Ramon sengaja disuruh berjaga di salah satu bangsalVVIP yang di pesan oleh Ramon. Amira baru tahu, kalau Ramonlah yang membawanyadan bukan orang yang ada dalam benaknya sejak tadi. Perempuan itu lantasmendengus, tak percaya kalau Ramon rupanya belum cukup puas dengan menyiksanyakemarin malam.“Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Tapi tolong bawakan aku telepon. Aku inginmenghubungi seseorang,” sahut Amira, menyerah. Tidak ada tenaga jika harusmelawan sek
Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya. Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired. “Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi. “Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab. Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini. “Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi. “No-Nona A-Amira,” aku pria itu. Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadi
“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya. “Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan. “Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja. Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati. Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya. “Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira. “Tidak ada yang bisa kulakukan selain m
Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya. “Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”Plak! Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam, “Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!” Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat. “Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sin
“Berjanjilah akan menjaga Amira. Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan jika kau mau berjanji.” Ramon tersentak dari lelapnya yang singkat. Dia membuka mata menatap ke sekeliling. Tegukan ludah itu terasa berat, apalagi saat mengingat alasan terbangun adalah Sagha. Dia dibawa kembali pada saat Sagha terjatuh setelah mengucapkan janji. Laki-laki itu segera bangun dan berlari kecil keluar keluar dari ruangannya. Disela langkah Ramon meminta salah satu anak buahnya untuk mengambilkan ponsel. Pria berpakaian lengkap ala bodyguard itu langsung saja membawakan ponsel baru sesuai perintah. “Beri tahu aku di mana Riko.” Setelah mengetik beberapa nomor juga melakukan panggilan suara, Ramon terdengar memerintah orang yang dia hubungi. “Pak Riko sedang berada di hotel tak jauh dari Bar Farah, Pak.” “Cepat ke sana dan cari si Brengsek itu!” Ramon memutuskan panggilan, sebelum masuk ke dalam mobil. Jaraknya juga tempat Riko cukup memakan waktu. Memerintah anak buah akan memberinya sedik
“Pak Ramon. Pak! Pak!” Ramon terkesiap, secepatnya menyadarkan diri. “Ah, iya. Ada apa?” “Ini beberapa berkas yang Bapak minta kemarin. Kami sudah memastikan kevalidan isinya, Pak.” Seorang ajudan berpakaian formal tadi, menyerahkan pada Ramon sebuah map di atas meja. Ramon mengangguk-angguk, tak ada jawaban. Dia masih bingung, kenapa dia bisa lengah tadi. Apa yang membuatnya melamun hingga tidak sadar akan kedatangan anak buahnya. “Kau boleh pergi,” kata Ramon mengakhiri. Setelah tubuh jangkung tadi melengos dari hadapannya, dia segera menyugar rambutnya cukup kasar, seraya mendesah merasa frustrasi. Entah apa yang dipikirkan Ramon sampai lupa tentang dirinya sendiri.Deru napas itu kembali mengudara, mengenyahkan segala beban pikiran. Atensinya beralih pada berkas dalam map kuning di depannya, lalu membuka dengan segera. Tepat saat Dired memperkenalkan Amira secara tersirat waktu itu, saat itu juga Ramon meminta pada ajudannya untuk mencari tahu latar belakang Amira. Setela
Suhu di luar terasa hangat. Sinarnya memberikan sensasi abstrak kala angin mulai ikut mendominasi. Sesekali sinar matahari menyeruak lewat gorden yang ditiup semilir angin. Membuat tubuh kekar yang terbaring lelap di atas dipan terusik. Hanya hitungan detik sang surya datang mengusik, namun erangan kecil dari dua daun bibir pria itu langsung mengudara. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot. Tubuhnya seketika duduk di atas ranjang, lalu menoleh pada jam portabel di atas nakas. Sudah siang. “Amira,” panggil Sagha. Laki-laki itu sedang meneguk air dingin sambil duduk di kursi meja makan.Tak ada sahutan. Tak ada suara apa pun yang mengusik keheningan. Pemuda bernama lengkap Sagha Factur itu, mengerutkan dahinya, bingung. Ke mana adiknya pergi? Ini hari libur, mana mungkin Amira bekerja. Sagha beranjak berjalan ke kamar Amira. Tangannya terangkat, mengetuk pintu. Lagi-lagi, tak ada sahutan. Tak ada pilihan, langsung masuk dan memeriksa adalah jalan satu-satunya.“Amira, kau masih tidur