Share

Bab 3. Nafsu dalam Dedam

 “Aku memang perempuan miskin yang tidak punya apa-apa. Namun, aku bukanlah perempuan hina dan cintaku tulus untuk Dired. Aku mencintainya bahkan rela menyerahkan nyawaku padanya,” sahut Amira.

“Jangan membuat skenario yang tidak-tidak di sini. Aku akan membunuhmu jika kau menyebut nama putraku lagi.”

Tepas saat Ramon selesai dalam ucapannya, tubuh Amira jatuh dan terbaring tak sadarkan diri lagi. Tak ada raut panik dalam pahatan wajah Ramon. Dia menatap gadis itu tenang sambil membayangkan betapa menyedihkannya hidup putranya. Dia mencintai perempuan ini dengan tulus, akan tetapi cintanya itu sendirilah yang membawanya dalam kematian yang buruk.

**

Farah datang dengan dua gelas anggur merah di tangannya. Di sudut sana tepatnya disofa depan kaca transparan menggambarkan objek kota, sedang duduk laki-laki berparas tampan dengan rahang tegas.

“Tenangkan dirimu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal berat dulu,” ucap Farah sambil menyerahkan satu gelas minuman pada Ramon.

Laki-laki itu hanya menoleh lalu meraih minuman memabukkan itu. Dia kembali menatap tenangnya kota dari jaraknya sambil meneguk minumannya.

“Aku hanya memikirkan, bagaimana keadaan putraku sekarang. Apa dia sudah makan, atau sudah minum?”

Farah menatap Ramon yang tak menatapnya. Bahkan setelah kepergian Dired pun, laki-laki ini tetap bersikap angkuh. Lihat saja gayanya duduk. Mengangkat satu kaki di atas kaki lainnya. Dia juga tak menatap lawan bicaranya. Bahkan dia menggunakan jas lengkap, sementara mereka sedang berada di dalam kamar yang seharusnya dibawa santai.

“Tuhan menyayangi Dired. Dia akan memperlakukan Dired sebagaimana kau memperlakukannya selama ini,” ucap Farah. “Yang harusnya kau lakukan sekarang adalah bertahan. Bertahan untuk putramu dan untuk pelaku itu,” lanjutnya, setelah berhasil membuka jas Ramon.

Laki-laki itu kini menatap penuh pada Farah, perempuan yang dulu sempat di pacari. Dia ingat, bagaimana mereka dulu akan mempersiapkan pernikahan. Ramon juga ingat, bagaimana Dired begitu bersemangat saat tahu kalau ayahnya akan melepas masa duda.

Farah menangkap sorot mata Ramon yang begitu dalam. Farah perlahan mejalarkan tangan didada bidang Ramon, mencoba menarik daya alami laki-laki itu hingga jatuh dalam pelukannya. Tak seperti biasanya memang, Ramon seolah tertarik untuk melakukan hal itu setelah beberapa penggal kejadian mengejutkan menyapanya.

Tangan kekarnya perlahan merenggut rahang Farah, lalu melepaskan jarak hingga bibirnya mendarat pada bibir mungil Farah. Ramon memagut begitu dalam sampai tubuhnya bergerak menindih tubuh Farah. Perempuan di sana merasa menang, sudah berhasil memasukkan Ramon dalam jeratnya. Sekarang sisa satu langkah lagi. Setelah berhasil, dia akan mengusai Ramon seutuhnya.

Hendak memejamkan mata guna menikmati aksinya, tiba-tiba saja potrait Amira yang tersenyum muncul dalam ingatan Ramon. Seketika saja dia menghentikan aksi, seolah tersadar akan perbuatan yang salah.

Farah yang dibuat bingung langsung saja ikut berdiri saat Ramon bangun hendak berlalu. “Ramon, ada apa denganmu?”

Ramon berhenti sambil meremas jas yang dia genggam. “Maaf, aku akan kembali nanti. Aku yang akan membayar tagihan kamarnya,” ucap laki-laki itu, lantas melenggang pergi begitu aja, meninggalkan Farah dan bercak lipstik yang sudah merambat kemana-mana.

Perempuan itu lantas saja berteriak frustasi, sambi menjambak rambutnya sendiri.

“Apa yang salah dariku, Ramon? Kenapa kau selalu saja membuatku jatuh cinta sekaligus merasa hina?”

 Ramon mendatangi rumah sakit tempat di mana Amira dirawat sesuai arahannya pada anak buahnya. Jangan mengira Ramon melakukan ini karena merasa kasihan pada Amira. Dia hanya tidak ingin perempuan itu mati begitu saja tanpa menebus segala perbuatannya pada Dired-masih dalam prduga Ramon Amira itu tersangka.

Laki-laki usia 40 tahun itu berjalan menyusuri lorong yang hening. Saking sunyinya dia bahkan mampu mendengar degup jantungnya sendiri yang masih belum menerima kenyataan tentang kematian sang putra tercinta. Bahkan rahang tegasnya masih dijejaki air mata yang dia sendiri sulit menahannya  untuk tak lepas.

Saat-saat lemahnya Ramon kemarin, Farah tiba-tiba menghubunginya dan mulai memvropokasi. Perempuan pemiliki salah satu bar di kota itu mengatakan kalau dia tahu tentang siapa Amira dan juga ‘tujuan’ Amira mendekati Dired. Gelap hati serta logika, Ramon mengonsumsi berita bohong itu begitu saja tanpa filter. Benaknya juga memastikan bahwa Amiralah yang melakukan hal itu pada anaknya, setelah dia sempat menemukan benda ‘aneh’ dari dalam tas Amira.

Hal itulah yang membuat Farah dan Ramon kembali saling merebut kabar. Ramon meminta pada Farah untuk menahan Amira. Sementara di sisi lain, Amiralah yang bersikukuk untuk bertemu dengan Farah, karena Amira tahu, Farahlah dalang di balik semua ini. Dired tidak kena peluru melesat melainkan ada unsur kesengajaan dan sudah direncanakan. Xayanya memang meyakini itu.

Hendak membuka piintu kamar di mana tempat Amira dirawat, suara derap lagkah yang memburu menginterupsi aksi Ramon. Iris mata nan legam dengan goresan samar keemasan itu melirik tanpa memutar kepala. Mengira yang hendak menghampirinya adalah salah satu anak buahnya, ternyata dia salah praduga.

“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status