Share

Antara Tahta dan Cinta Ayah Mertua
Antara Tahta dan Cinta Ayah Mertua
Penulis: C_heline

Bab 1. Alat Pengaman

[Ayah aku akan datang terlambat, tolong sambut kedatangan Amira lebih dulu.]

Ramon Reano Dirgamanta, laki-laki jangkung yang kini dilumuri usia nyaris separuh abad pemilik perusahaan yang bergerak dibidang marketing itu, menuruni anak tangga sambil mengenakan jasnya. Dari jaraknya yang masih terhitung jauh, Ramon sudah bisa melihat potrait seorang gadis telah berdiri di depan pintu rumahnya dengan sorot mata yang tak sengaja dia tangkap.

Perempuan itu mengenakan dres hitam pekat selutut. Rambutnya dibiarkan terulur dengan model sedikit meliuk sampai dada. Sepatunya berwarna silver menyatu dengan warna anting juga kalung halus yang dia kenakan. Tanpa sadar, Ramon menarik kedua sudut bibirnya ketika senyum gadis itu menyapanya lebih dulu.

“Oh halo, apa kau sudah lama menunggu? Maaf, tapi saya sedang menyiapkan beberapa hal tadi,” ucap Ramon, saat jarak mereka sudah terkikis.

“Tidak juga, Pak. Saya baru saja sampai. Maaf jika kedatangan saya merepotkan,” sahut gadis itu, santun.

“Saya tidak keberatan sama sekali jika itu menyangkut anak saya. Saya sangat menyayangi anak saya, jadi maaf jika kesannya saya terlalu ikut camput dalam hubungan kalian atau apalah itu.”

Gadis pemilik bola mata gelap itu hanya bisa tertawa ringan. Sebelumya dia tidak mengira bahwa calon ayah mertuanya akan seramah dan selugas ini. Dalam pikirannya, orang tua adalah sosok yang paling kaku dan sulit diajak beriteraksi. Ternyata salah.  Ramon tidak sekaku orang tua pada umumnya.

“Dired bilang kalau dia akan datang terlambat, bagaimana kalau kita tunggu di atas saja?” tawar Ramon.

“Tentu, Pak,” singkat gadis itu.

Ramon mulai berjalan lebih dulu, lalu diikuti calon menantunya. Dalam langkah, Ramon sempat dibuat gugup karena kali pertama dia kembali berinteraksi dengan lawan jenis setelah dua tahun lalu istrinya meninggal dan enam bulan lalu dia gagal menikah.

“Saya hampir lupa, namamu Amira bukan?” kata Ramon, guna mengusir kecanggungan.

“Benar, Pak. Amira Meycana.” Amira menjawab.

“Apa saya tidak sopan jika bertanya tentang latar belakangmu?”

“Ah, tentu tidak, Pak. Saya tidak keberatan sama sekali.”

Ramon mengulas senyum, sambil membuka pintu raksasa yang sudah sampai mereka tuju. Dia membuka dua belah benda pipih itu lalu memperlihatkan isi ruangan yang sudah dia tata sebaik mungkin.

Tepat saat sepasang bola mata Amira menatap ruangan itu, sebuah binar kagum terbit dalam pandangan yang terasa begitu cepat berubah. Sungguh mewah dan terkesan begitu intim ruangan itu. Desain interiornya mirip dengan rumah-rumah kerajaan. Amira bahkan hampir menepuk wajah, mengira kalau yang ada di depannya ini hanyalah gambaran mimpi siang bolong semata.

“Ayo masuk. Kenapa hanya diam saja?” tegur Ramon, menguapkan lamunan singkat Amira.

“Ah iya, Pak.”

Amira yang masih kagum dalam pandangannya, tidak menyadari bahwa Ramon akan melangkah dari hadapannya. Hal itu seketika saja menimbulkan kecelakaan kecil yang membuat tubuh Amira hampir terhuyung jika saja tidak cepat ditangkap Ramon.  Entah kenapa waktu terasa melambat saat Amira dapat merasakan sentuhan tangan Ramon bahkan seolah dapat masuk dalam tatapan Ramon yang super dalam.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ramon, sambil melepaskan pengannya pada bahu Amira.

Perempuan itu mengangguk ringan sambil memperbaiki keadaan diri juga debaran jantungnya yang tiba-tiba naik satu oktaf. Dia meneguk ludah, merasa kalau atmosfer mulai terasa canggung.

“Tidak apa-apa, Pak. Maaf saya tidak melihat jalan,” sesalnya akan kejadian bodoh ini.

Ramon menyingkap celananya guna menunduk untuk memunguti isi tas Amira yang terjatuh dan beserakan. “Kau sedang gugup. Itu hal yang wajar,” sahut lai-laki itu kemudian.

Amira yang baru sadar pun ikut menunduk sambil memunguti beberapa alat kosmetik dan juga ... alat pengaman yang kini tengan dalam genggaman Ramon. Melihat calon ayah mertuanya sedang memegang benda konyol itu, membuat Amira ingin menghilang saja saat ini juga. Bukan lagi gugup yang menyerang, melainkan ketakutan dan juga malu yang datang bersamaan.

“Pak ... itu ...”

Amira menunda ucapannya saat Ramon tiba-tiba saja menyergapnya dengan mendorongnya ke tembok. Mata elang Ramon akhirnya beraksi, saat mengetahui hal yang ganjal dari calon menantunya ini. Napas Amira tercekat, seiring mengerasnya cekikkan yang dilayangankan Ramon terhadapnya.

“Katakan dengan jujur, apa tujuanmu mendekati putraku!” erang Ramon, mengintimidasi.

Tanpa sadar, air mata menjejaki wajah Amira. Sakit dilehernya seolah membunuhnya secara perlahan. Bagaimana caranya menjawab, jika aksi Ramon ini tak juga dia usaikan. Untuk meyakinkan Ramon dalam tuduhannya yang tiba-tiba, Amira hanya bisa menggeleng-geleng meski memaksa.

“Putraku laki-laki yang polos. Dia tidak pernah melakukan hal yang menjijikkan. Lantas apa yang saat ini sedang kulihat? Apa kau sedang berniat mempermainkan putraku itu?” lanjut Ramon, kali ini berteriak sambil menghempaskan Amira ke arah sembarang.

Amira tersungkur dan terjtuh di lantai. Dia terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang terasa sakit. “A-aku, ti-tdak berniat ... buruk pada Dired. Benda itu bukan milikku. Ini salah paham.”

Tepat saat Amira usai menjelasakan tentang benda ‘konyol’ itu, saat itu pula dering ponsel mengudara. Ramon yang kini dalam balutan amarah yang ditimbulkan logika, meraih benda persegi itu dari dalam sakunya. Tak dia hiraukan siapa yang memanggilnya dalam panggilan suara. Dia masih fokus membaca rancana gadis di depannya, niat seperti apakah yang akan perempuan itu lakukan pada putranya.

“Halo-halo?”

Ramon tersadar, suara dari ponsel yang rupanya sudah dia gulir tombol jawab mengudara. Secepatnya dia meletakkan di daun telinga siap mendengarkan pernyataan apa yang akan dia terima dari sosok yang tak dia kenali sebelumnya.

“Pak Ramon, putra Anda ditemukan tewas dalam kejadian peluru melesat di area pelatihan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status