“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”
“Siapa kau?” singkat Ramon, datar.
“Kau tidak perlu tau itu. yang harus kau lakukan hanyalah melepaskan Amira. Dia tidak bersalah!” desak laki-laki di sana.
Ramon menyeringai tipis. “Kau kekasihnya?” tebaknya, lebih terdengar sebuah tuduhan.
“Bukahkah sudah kukatakan padamu? Kau tidak perlu tau itu ...”
“Tidak akan kulepaskan dia. Siapa pun kau, bahkan Tuhan sekali pun yang memintanya, aku tidak akan melepasakan pembunuh itu. Dia harus merasakan kepedihan yang lebih pedih dari pada kematian!” potong Ramon, mulai geram.
“Kau orang kaya. Kau punya banyak uang dan kau punya kekuasaan. Tapi kenapa kau menuduh orang sembarangan tanpa mencari tahu dulu kebenarannya? Bukankah orang-orang sepertimu lahir karena memiliki nilai kepintaran di atas rata-rata?” singgungnya.
“Itulah kenapa Tuhan tidak menciptakan orang-orang sepertimu memiliki banyak uang, karena kau mudah ditipu oleh perempuan tidak berguna seperti Amira itu. Kau ...”
Bug!
Belum selesai ucapan Ramon sepenuhnya keluar, wajahnya sudah disuguhkan tinjuan yang tiba-tiba dari lawan bicaranya. Ramon hampir hilang keseimbangan. Untung dia cepat melakukan pertahan dengan mudur beberapa langkah. Wajahnya meneleng delapan puluh derajat, dengan sudut bibir yang sedikit koyak dan mengeluarkan bercak darah.
“Jangan mengatakan Amira seperti itu! Kau tidak tahu tentangnya jadi jangan mencoba mendikte sosoknya!” bentak laki-laki di sana.
Ramon lantas tertawa sumbang. “Kau pikir siapa kau?” Ramon membalas tijuan itu sambil membentak. “Dia itu sudah membunuh putraku! Dia menawarkan cinta? Ck, persetan dengan cintanya. Perempuan itu hanya menginginkan harta putraku tidak lebih. Jadi berhenti di sini, atau aku akan melenyapkannya tepat di depan matamu!”
Sosok laki-laki jangkung dengan tampilan sedikit berantakan itu terhuyung dan terjatuh. Rupanya pertahanan tubuhnya tidak lebih baik dari Ramon. Jika dibandingkan, pukulan yang diterima Ramon jauh lebih kuat dari pada yang dia berikan. Tapi laki-laki di sana dengan mudahnya tumbang dan kini memijit pelipisnya serta meringis menahan sakit.
Ramon mengentak-entakkan tangannya yang sedikit keram sambil melihat potrait laki-laki seusia putranya itu. Dia yakin, kalau laki-laki ini pasti orang terdekat Amira. Dari caranya meminta kebebasan bagi perempuan itu, sudah diyakini bahwa Amira bukan perempuan yang bisa dianggap polos.
“Aku akan melakukan apa pun untukmu. Tapi tolong bebaskan dia. Bebaskan Amira.”
Tiba-tiba kerutan dahi Ramon terlihat, tatkala laki-laki di sana memohon dengan bersujud di depannya. Dia menautkan kedua tangan dan mendongak menatap Ramon, dan kini sudah berurai air mata. Ramon bukan laki-laki yang mudah diajak emosional kecuali dengan putranya. Ramon itu sosok yang arogan serta angkuh. Banyak orang yang takut padanya bukan hanya karena kekuasaannya saja, melainkan betapa kejamnya jiwa seorang Ramon.
“Kau yakin akan melakukan apa pun untuk perempuan itu?” tanya Ramon, memastikan. Namun, entah apa maksud dari pertanyaan itu.
Laki-laki di sana mengangguk antusias. Dia benar-benar berharap kalau Ramon akan memebaskan Amira dari jeratnya. Dia tidak tahu, kalau dia sedeng berhadapan dengan monster.
“Ikuti aku.”
Celemek khas pelayan kafe itu begitu berantakan dalam balutan tubuh Sagha. Rambutnya berantakan dengan wajah babak belur-lebam-lebam. Celana jeasn itu terlihat kusut dan juga kemeja putihnya terpatri bercak-bercak darah seperti orang yang baru saja selesai tawuran.
Laki-laki yang kini mengikuti langkah Ramon itu tidak lain adalah kakak laki-laki Amira. Mereka tidak sedarah. Sagha menemukan Amira di panti asuhan tepat usia gadis itu menginjak empat tahun. Sagha merawat Amira yang kebetulan Sagha juga tidak lagi memiliki keluarga. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun, namun Amira belum juga tahu kalau Sagha hanyalah kakak angkatnya. Dia tidak mengingat kalau Sagha adalah orang yang memungutnya ketika ibu panti menolak mengasuhnya.
Semilir angin menerpa wajah Sagha pun Ramon. Hamparan langit biru menguasai pandangan juga gedung-gedung ikut mendominasi. Ramon berhenti tepat di pembatas atap gedung. Dia menyipitkan mata menatap Sagha yang sedang fokus pada hamparan kosong di depannya.
“Kenapa kau diam? Ayo maju,” ucap Ramon, menggerakkan dagunya.
Sagha menurut, berjalan tegas meski mulai was-was. Dia meneguk ludah, setelah benaknya mulai menyusun penggalan-penggalan selanjutnya yang mungkin akan Ramon lakukan padanya. Matanya juga menyipit, akibat terpaan angin yang mulai terasa.
“Lompat,” suruh Ramon, tanpa basa-basi tepat saat Sagha berdiri tidak jauh darinya, sejajar.
Sagha menatap nanar wajah Ramon. “A-apa?”
“Kau bilang akan melakukan apa pun untuk wanitamu itu. Ayo lompat. Apa kau sekarang menyesali ucapanmu?”
Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
“Amira tidak akan datang lagi, Pak. Anda hanya akan membuang-buang waktu berharga Anda untuk yang tidak pasti. Berhentilah menyakiti dirimu hanya karena seorang wanita. Terlalu berlebihan rasanya kekecewaan yang kau hadapi ini hanya untuk perempuan asing sepertinya,” kata Rama membujuk Ramon. Berulang kali Rama mencoba membantu Ramon bangun dari duduknya, namun tetap saja bosnya itu tidak berkutik.Ramon tetap enggan untuk memperbaiki posisinya yang duduk selonjoran tak tentu arah. Penampilan yang semula rapi dan menawan, kini berantakan penuh luka. Terlihat jelas bagaimana Ramon memendam rasa sakit yang dalam sebab kenyataan yang menimpanya. “Dia sudah berjanji tetap akan datang padaku. Lantas di mana dia sekarang? Kenapa aku tidak bisa menemuinya untuk meminta janjinya?” ucap Ramon lirih. Matanya mulai sendu menatap harap pada Rama. Sementara itu, Rama hanya bisa menahan sesak dalam dadanya seolah ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan Ramon. “Sudahlah, Pak. Ayo bangun. Se
Amira gagal mengejar Rama untuk kembali membahas hal yang belum sepenuhnya paham. Panggilan dari pihak Rumah sakit membuatnya memilih untuk menunda kembali hati yang telah kalut. Kakinya menjauh berjalan berlawan arah dengan keberadaan Ramon. Selena dikabarkan mengalami masa kritis. Penyakit yang sudah dia derita sejak dulu ternyata sudah menggerogoti. Tidak ada lagi kesempatan untuk pengobatan sebab waktu yang singkat juga racun yang menempel sudah terlalu banyak.Amira tiba dengan napas yang terengh engah. Matanya membulat ketika medapati wajah sang ayah juga Kevin yang sudah memucat. Belum lagi keadaan kedua lakilaki itu yang berantakan dengan mata sembab. Apa yang Amira pikirkan? Kenapa dia justru ikiut merasakan hal yang sama bahkan sebelum dia tahu apa yang terjadi.“Ayah, bagaimana keadaan Mama? Dia baik baik saja, bukan?” tanya Amira lirih.Mark dan Kevin menatap secara bersamaan. Berbeda dengan Kevin yang masih menatap Amira dengan tatapan sendu seolah ingin melepaskan kesed
Amira menggeleng beberapa kali, mencoba meyakinkan kalau semuanya ini tidaklah benar. Hitungan detik setelah kepergian Rama, Amira segera bangun dari duduknya dan menatap lamat pada pahatan wajah Kevin yang kali ini enggan untuk menatapnya. “Kau berbohong padaku, Kevin. Kau curang!” tegasnya, bergetar. “Amira, hentikan! Nada suaramu tidak pantas menyebut Kevin seperti itu. Kau itu calon istrinya. Bersikap sebagaimana layaknya!” tegur Mark justru geram. Tatapan tajam penuh kekecewaan pada dua bola mata Amira berpindah pada sang ayah. Matanya memanas dan tak tahan untuk tak menjatuhkan air mata. Dadanya terus saja bergetar, menahan debar-debar emosi yang hendak meluap. “Sejak kemarin, ah tidak, sejak dulu aku sangat menginginkan seorang ayah ada didekatku. Kupikir akan sangat menyenangkan jika itu terjadi. Tapi hari ini, semua ekspektasiku itu hancur begitu saja. Semua hal yang inginku bagi dengan ayah, tidak sesuai apa yang seharusnya. Ayahku tidaklah menginginkanku. Dia hanya pedul
Mark benar-benar dibuat kacau atas kejadian yang baru-baru ini terjadi. Dari masalah tentang Namina yang kembali hadir, juga tentang Kevin yang tahu bahwa dia hanyalah anak angkat, dan tidak lupa juga masalahnya dengan sang istri yang sempat tidak sependapat, hingga dilarikannya Selena ke Rumah sakit sebab riwayat penyakit yang dirinya tidak pernah ketahui. Semua hal itu sungguh memberikan efek samping yang besar pada kepalanya. Dan pagi ini, kala dirinya akan berangkat menemui sang istri, salah satu CEO Metta datang dan mengatakan apa yang terjadi kemarin. Mendengar kabar kematian Dired sempat membuatnya tercengang, namun lebih terkejut lagi kala dia mendapati ada pihak ketiga yang tahu tentang saham di perusahaannya yang sepenuhnya memang bukan miliknya. Arghhhh! Mark berteriak frustrasi. Dia menghempaskan apa pun yang tampak di depan mata, hanya demi memenangkan segala amarah yang melanda. “Kenapa semuanya terasa memuakkan? Siapa yang sebenarnya ingin menjatuhkanku?” gumamn
Ramon mendengar tentang keadaan buruk yang menimpa pimpinan Metta sekaligus ibu kandung Amira. Sempat berpikir untuk tidak mengikuti hatinya untuk berkunjung, namun tetap saja kepala dan hati saling bertentangan hingga dia memutuskan untuk datang sekadar memberi rasa empati. Sayangnya, niat hati ingin membangun sebuah hubungan yang baik, justru luka dalam hatinya bertambah. Tidak ada lagi luka yang lebih menyakitkan dari pada melihat sang kekasih hati sedang bercumbu dengan laki-laki lain. Amira tidak menyadari kedatangan Ramon sama sekali. Yang ada dalam benak Amira hanyalah bagaimana cara mengakhiri semua ini dan kembali pada Ramon. Dalam kecupan yang dilayangkan dan sempat dibalas olehnya tersemat penyesalan juga rasa benci untuk diri sendiri. Amira semakin mengutuk dirinya karena sudah berpaling dari Ramon. Amira harap ini adalah yang terakhir dan tidak akan ada yang kedua dan seterusnya. Dan harapannya yang terakhir hanyalah bisa kembali bersama Ramon dalam keadaan yang baik-ba