Share

Bab 4. Antara Cinta dan Kepercayaan

“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”

“Siapa kau?” singkat Ramon, datar.

“Kau tidak perlu tau itu. yang harus kau lakukan hanyalah melepaskan Amira. Dia tidak bersalah!” desak laki-laki di sana.

Ramon menyeringai tipis. “Kau kekasihnya?” tebaknya, lebih terdengar sebuah tuduhan.

“Bukahkah sudah kukatakan padamu? Kau tidak perlu tau itu ...”

“Tidak akan kulepaskan dia. Siapa pun kau, bahkan Tuhan sekali pun yang memintanya, aku tidak akan melepasakan pembunuh itu. Dia harus merasakan kepedihan yang lebih pedih dari pada kematian!” potong Ramon, mulai geram.

“Kau orang kaya. Kau punya banyak uang dan kau punya kekuasaan. Tapi kenapa kau menuduh orang sembarangan tanpa mencari tahu dulu kebenarannya? Bukankah orang-orang sepertimu lahir karena memiliki nilai kepintaran di atas rata-rata?” singgungnya.

“Itulah kenapa Tuhan tidak menciptakan orang-orang sepertimu memiliki banyak uang, karena kau mudah ditipu oleh perempuan tidak berguna seperti Amira itu. Kau ...”

Bug!

Belum selesai ucapan Ramon sepenuhnya keluar, wajahnya sudah disuguhkan tinjuan yang tiba-tiba dari lawan bicaranya. Ramon hampir hilang keseimbangan. Untung dia cepat melakukan pertahan dengan mudur beberapa langkah. Wajahnya meneleng delapan puluh derajat, dengan sudut bibir yang sedikit koyak dan mengeluarkan bercak darah.

“Jangan mengatakan Amira seperti itu! Kau tidak tahu tentangnya jadi jangan mencoba mendikte sosoknya!” bentak laki-laki di sana.

Ramon lantas tertawa sumbang. “Kau pikir siapa kau?” Ramon membalas tijuan itu sambil membentak. “Dia itu sudah membunuh putraku! Dia menawarkan cinta? Ck, persetan dengan cintanya. Perempuan itu hanya menginginkan harta putraku tidak lebih. Jadi berhenti di sini, atau aku akan melenyapkannya tepat di depan matamu!”

Sosok laki-laki jangkung dengan tampilan sedikit berantakan itu terhuyung dan terjatuh. Rupanya pertahanan tubuhnya tidak lebih baik dari Ramon. Jika dibandingkan, pukulan yang diterima Ramon jauh lebih  kuat dari pada yang dia berikan. Tapi laki-laki di sana dengan mudahnya tumbang dan kini memijit pelipisnya serta meringis menahan sakit.

Ramon mengentak-entakkan tangannya yang sedikit keram sambil melihat potrait laki-laki seusia putranya itu. Dia yakin, kalau laki-laki ini pasti orang terdekat Amira. Dari caranya meminta kebebasan bagi perempuan itu, sudah diyakini bahwa Amira bukan perempuan yang bisa dianggap polos.

“Aku akan melakukan apa pun untukmu. Tapi tolong bebaskan dia. Bebaskan Amira.”

Tiba-tiba kerutan dahi Ramon terlihat, tatkala laki-laki di sana memohon dengan bersujud di depannya. Dia menautkan kedua tangan dan mendongak menatap Ramon, dan kini sudah berurai air mata. Ramon bukan laki-laki yang mudah diajak emosional kecuali dengan putranya. Ramon itu sosok yang arogan serta angkuh. Banyak orang yang takut padanya bukan hanya karena kekuasaannya saja, melainkan betapa kejamnya jiwa seorang Ramon.

“Kau yakin akan melakukan apa pun untuk perempuan itu?” tanya Ramon, memastikan. Namun, entah apa maksud dari pertanyaan itu.

Laki-laki di sana mengangguk antusias. Dia benar-benar berharap kalau Ramon akan memebaskan Amira dari jeratnya. Dia tidak tahu, kalau dia sedeng berhadapan dengan monster.

“Ikuti aku.”

Celemek khas pelayan kafe itu begitu berantakan dalam balutan tubuh Sagha. Rambutnya berantakan dengan wajah babak belur-lebam-lebam. Celana jeasn itu terlihat kusut dan juga kemeja putihnya terpatri bercak-bercak darah seperti orang yang baru saja selesai tawuran.

Laki-laki yang kini mengikuti langkah Ramon itu tidak lain adalah kakak laki-laki Amira. Mereka tidak sedarah. Sagha menemukan Amira di panti asuhan tepat usia gadis itu menginjak empat tahun. Sagha merawat Amira yang kebetulan Sagha juga tidak lagi memiliki keluarga. Mereka hidup bersama selama dua puluh tahun, namun Amira belum juga tahu kalau Sagha hanyalah kakak angkatnya. Dia tidak mengingat kalau Sagha adalah orang yang memungutnya ketika ibu panti menolak mengasuhnya.

Semilir angin menerpa wajah Sagha pun Ramon. Hamparan langit biru menguasai pandangan juga gedung-gedung ikut mendominasi. Ramon berhenti tepat di pembatas atap gedung. Dia menyipitkan mata menatap Sagha yang sedang fokus pada hamparan kosong di depannya.

“Kenapa kau diam? Ayo maju,” ucap Ramon, menggerakkan dagunya.

Sagha menurut, berjalan tegas meski mulai was-was. Dia meneguk ludah, setelah benaknya mulai menyusun penggalan-penggalan selanjutnya yang mungkin  akan Ramon lakukan padanya. Matanya juga menyipit, akibat terpaan angin yang mulai terasa.

“Lompat,” suruh Ramon, tanpa basa-basi tepat saat Sagha berdiri tidak jauh darinya, sejajar.

Sagha menatap nanar wajah Ramon. “A-apa?”

“Kau bilang akan melakukan apa pun untuk wanitamu itu. Ayo lompat. Apa kau sekarang menyesali ucapanmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status