Di sebuah kota modern dengan teknologi yang maju, jalanan yang padat dipenuhi mobil-mobil mewah di beberapa sudut kota yang terasa macet. Di tengah kota suasana begitu asri dan rapi. Patung-patung menghiasi sudut-sudut kota memberi kesan eksentrik dengan sentuhan seni tinggi, gedung gedung pencakar langit, tempat-tempat hiburan menjamur hingga seperti pertokoan saja. Olio sebuah kota yang sangat maju dengan penduduk yang cenderung individualis, Olio kota modern! Dan berawal dari sini kisah itu dimulai
Sudut kota yang dipenuhi oleh ruko-ruko dengan banyak tempelan stiker dan poster, dapat dibayangkan kalau ini adalah pemukiman padat penduduk menengah ke bawah, bahkan sangat kebawah, rumah-rumah sangat rapat tanpa jarak, bau-bau got yang khas, kontrakan berjejer, di situlah seorang gadis cantik tinggal bersama bibinya yang sakit-sakitan. Lia harus bekerja setiap harinya
"bagaimana kabar bibi hari ini? apakah bibi baik-baik saja?"
"Apa bibi merasakan sesuatu?"
"Katakan apa saja itu bi, aku sangat mencemaskanmu!"
"tidak Lia, berangkatlah bekerja dan jangan terlalu memikirkan bibi. Bibi baik-baik saja"
Lia sekali lagi menoleh sebelum meninggal bibi nya. Lihatlah Lia dia seperti seorang putri yang cantik. Meski dia tinggal di pemukiman padat penduduk, aura cantiknya tak pudar. Lia tak seharusnya tinggal disini.
Rumah mereka yang sempit di mana kamar tidur dipenuhi berbagai macam keperluan, lemari yang hampir tak bisa lagi menampung isinya, dapur yang hanya bisa dikelola saat berdiri, ruang tengah sekaligus kasur, ya! sepupunya tidur di sana. Kehidupan mereka sangat sederhana bahkan lebih kurang dari sederhana
"Dia seharusnya tak tinggal disini!" Keluh bibi sebelum kembali merebahkan punggung ke kasur.
***
"Jadi dia sepupumu!" Tanya Leon dengan alis naik
"Apa kalian tidak tahu cara bersikap baik! Ah keluarga miskin benar benar melelahkan!"
"Hati hati dengan kalimatmu!" Lexi mengepalkan tangan
"Oh kau menantang. Kau akan menyesal berurusan dengan kami!" Leon balik menantang. Lexi tertawa sinis melihat jaket yang Leon dan Max kenakan. Kampus ini!
Lexi menggamit ujung jaket Leon, dan dihempaskan kasar. Dia meninggalkan max dan Leon.
"Hei, tunggu dulu!" Suara max membuat langkah Lexi berhenti
"Apa kau membicarakan party Minggu ini di pub Merci?" Lexi tak menjawab
"Kenapa kau memaksa gadis tadi untuk berpesta, bukankah dia sepupumu!" Lexi membalikkan badan. Dia mendekatkan wajah pada Max.
"Itu bukan urusanmu!" Dengus Lexi.
"Apa kau mempertaruhkan sepupumu!" Lexi membesarkan pupil. Tepat dugaan. Max tahu betul bagaimana pria pub memperlakukan wanita polos seperti karyawan minimarket tadi.
"Berapa kau bertaruh dengan teman temanmu?" Lexi mengangkat kedua tangan dan tersenyum sinis.
"Receh bagimu! Lagipula bukankah itu bukan urusanmu!"
Max meraih dompet di jaketnya, dia mengambil beberapa lembar dolar.
"Segini cukup!" Max memamerkan beberapa lembar dolar ke depan wajah Lexi, Leon tak mengerti dengan sikap max.
"Dia sudah bilang itu bukan urusanmu max!" Lexi menarik lengan max untuk kembali ke cafe, max masih bertahan di tempatnya.
"Sangat cukup!" Ujar Lexi merampas uang max.
"Apa kau ingin gadis itu?" Lexi berbisik. Leon memainkan bola mata tak percaya. Sementara Max melirik ke dalam minimarket, melirik Lia yang sibuk melayani pembeli.
"Aku akan membawanya ke ranjangmu. Aku janji!" Ujar Lexi meyakinkan. Max tersenyum sinis.
"Dia bahkan sulit kau ajak kepesta Dan kau menjanjikan dia untuk tidur denganku?" Tanya max dengan nada datar tapi terdengar berat. "Aku rasa sepupumu lebih berharga daripada lembaran dolar itu!" Balas max dan meninggalkan Lexi yang tak begitu peduli. Dia hanya peduli dengan uang! Dan pesta!
Sekali lagi max menoleh ke dalam mini market, dan mata nya bertemu tak sengaja dengan tatapan Lia, beberapa detik. Keduanya kompak mengalihkan pandangan tak acuh. Max menahan senyum kecil.
***
---
15 Tahun yang lalu
Sementara itu di tengah kota di antara gedung gedung pencakar langit, di dalam sebuah mobil mewah seorang wanita dengan pakaian parlente, dia bersama dengan seorang pria. Pria tersebut dengan sigap membukakan pintu mobil, mempersilahkan wanitanya masuk terlebih dahulu. Mereka terlibat obrolan sejenak sebelum akhirnya bibir itu saling berpagutan, pekat dan saling mengecap, menikmati rongga mulut masing-masing. Tanpa disadari seorang pria menatap mereka dengan sinis di kejauhan sana, dia adalah tuan Edward, mantan suami nya Melinda
sementara Melinda sudah sangat bahagia dengan suami barunya, Edward masih tidak bisa melupakan betapa panasnya wanita itu saat melayaninya di ranjang, ya! meskipun masing-masing sudah menikah. Edward sudah bersama dengan wanita lain. Tapi dia masih saja tak bisa move on dari nyonya Melinda. dia selalu memimpikan Melinda dalam tidurnya, bagaimana tubuh itu memuaskan birahinya
sepertinya ada Edward terbakar melihat Melinda dan suaminya begitu romantis, bahkan lebih daripada romantis, mereka terlihat begitu sensual. Edward melangkah perlahan mendekati mobil Melinda, tentu saja kedatangannya membuat Melinda kesal. Apa yang dia lakukan di sini!
hubungan mereka kan sudah lama berakhir, bahkan sudah memiliki kehidupan sendiri, kenapa dia muncul di hadapan Melinda hari ini? Melinda dan suaminya keluar dari mobil. dia tak menyukai kedatangan Edward
"Wah sepertinya aku mengganggu adegan panas kalian"
"Sudah tahu kalau mengganggu lalu mau apa kau kesini!"
"Loh memangnya kenapa! kau tahu ini kawasan kantorku kan!"
"maaf aku lupa kalau gedung kecil itu adalah milikmu! Dan asal kau tahu kalau kau sedang berdiri di pelataran parkir perusahaan suamiku!" Keduanya tersenyum, tertawa sinis
"Oke baiklah, aku akan meninggalkan kalian, lanjutkan saja ciuman panas itu, aku siap menontonnya lebih lama lagi!"
"Apa maksudmu?"
Edward mendekati Melinda, dia menatap wajah marah itu. Lihatlah wajah marah wanita ini, sangat menggoda, Edward menarik kepala Melinda dan mencium bibirnya paksa. Melinda berusaha memberontak, sementara suaminya menarik kerah belakang jas Edward tapi pria itu mendekap Melinda dengan sekuat tenaga, dia begitu merindukan bibir sensual itu. Edward mencium habis bibir Melinda, bahkan tangan kekarnya tak acuh mencengkram kuat paha mulus Melinda.
"Lepaskan istriku!" memang tenaga suami Melinda kalah jauh dengan Edward, karena Melinda menikahi seorang pengusaha kaya raya tapi sudah berumur.
Edward menepis tangan suami Melinda hingga pria itu terjatuh dan tersungkur di lantai
Edward membuat pria tua itu semakin kesal, dia mungkin kalah tenaga karena usianya, tapi tidak! pria itu mengeluarkan senjata dari dalam saku jasnya. Mata Melinda melotot terkejut. Membuat Edward segera menoleh.
Melinda hanya bisa shock dan tersungkur di lantai. Sendinya seketika lemas. Tidak mungkin!
Dor!! selesai!!
"Apa yang wanita ini lakukan pada papa!"
"Cepat tangkap dia!!" Melinda tak hanya kehilangan suami kayanya. Pistol yang diserahkan Edward membuat wanita itu harus menerima borgol di pergelangan tangannya.
"Tidakk.." suara Melinda bergetar. Edward melirik sinis. Melinda menatap tubuh kaku suaminya yang bersimbah darah. Dia bahkan tak boleh mendekat. Anak anak dari suaminya datang satu persatu dan kompak menghakimi Melinda. Ya, anak anak suaminya bahkan lebih berumur dari Melinda. Tidak!
Flashback selesai.
***
Max segera memasuki kediaman keluarganya yang super mewah, matanya menyorot ruangan yang temaram, dia menuju ke kamar Pauline, baru saja lampu dimatikan. Max tak mau mengganggu, dia membalik badan, besok dia harus bangun pagi untuk bisa bicara dengan Pauline. Max kembali ke ruang depan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru saja pria itu hendak membuka pintu kamarnya, Mariah muncul dan sedikit mengejutkan max. Wanita itu mengenakan sheet silk sepaha dengan tali kecil transparan sebagai penahan di bahu, dia menggaruk leher yang tak gatal. Max memicingkan mata heran, sudah pukul segini, kenapa Mariah belum tidur."Kau baru pulang?""Ya, kau belum tidur?" Mariah mengangguk dengan wajahnya yang ragu. Max ingin bertanya tapi dia mengurungkan diri melihat wajah bibinya itu juga terlihat ragu. Max menautkan alis heran, ada apa dengan Mariah."Sudah malam, pergilah tidur!" Ujar max kemudian. Mariah mengangguk kecil.&n
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Max menepikan mobil, untuk kali ini Lia yang meminta, gadis itu menunjuk sebuah gang yang tak sepi, beberapa orang terlihat berkumpul dan berbicara kurang jelas. Lia membuka pintu mobil, dia turun dari mobil mewah max. Gadis itu tak menoleh lagi, dia terperangah heran dengan beberapa wanita juga masih terlibat berkumpul di depan gang, biasanya mereka sudah terlelap, ini pukul tiga dini hari. Lia setengah berlari menyebrangi jalan. Entah kenapa dadanya tiba tiba bergetar, perasaannya tak enak.Max menatap punggung Lia, pria itu ikut menuruni mobil, dan memastikan Lia menyeberang dengan aman. Dia sedikit ingin tahu, entah itu rumah Lia, kawasan gadis itu tinggal atau wajah Lia yang tiba tiba lain. Dengan penasaran max menyusul langkah Lia."Ah itu Lia!" Tunjuk Elle menantu ibu kos yang tinggal bersebelahan dengan rumah bibi."Ada apa ka?""Kau dari mana saja! Kau membiarkan bibimu sendirian, kau
Max memacu kecepatan mobilnya. Dia sedang mengantar lia pulang malam ini. Pria itu mengangkat tangan dan menyeka rambut lia yang tertiup angin malam, ya mobil itu sengaja di buka, hingga mereka bisa leluasa menikmati suasana malam. Lia tersenyum tipis mendapat perlakuan lembut max."Apa kau pernah jatuh cinta?" tanya max kemudian. Lia menaikkan alis dan menjawab dengan gerakan bahu."Entahlah.""Apa belum pernah?" max penasaran."Entahlah, aku tak begitu yakin. Aku terlalu sibuk dengan kehidupanku, hingga tak memikirkan masalah cinta" pria itu tersenyum lalu menepikan mobil hingga lia protes."Kenapa berhenti?" max tak mendengarkan ucapan lia, dia membuka pintu nya, berjalan cepat dan membuka pintu lia, gadis itu mengerutkan dahi tak mengerti "kau mau apa max?" pria itu hanya menoleh dan tersenyum sambil menarik pergelangan tangan lia."Bohong!" ujarnya.Lia semakin bingung. Max meraih pinggang ramping lia dan menaikkan gadis itu ke a
Mariah sedang menonton acara televisi saat ini pukul tujuh malam. Edward merapatkan piyamanya, dia menghampiri Mariah yang fokus pada layar televisi. Pria itu berdiri di belakang Maria dengan kedua telapak tangan bertumpu pada sandaran sofa. Edward meletakkan kepalanya berjarak hanya sepuluh Senti saja dari kepala Mariah."Kau sedang menonton apa?" Sontak suara Edward mengejutkan Mariah. Gadis itu segera menengadahkan kepala dan mendapati dagu Edward, tatapan pria itu terlihat lain dengan senyuman melengkung sempurna. Mariah sedikit menggeser posisi. Dia merasa jengah."Kakak ipar.." gumam Mariah segan. Edward mendaratkan bokong tepat di sebelah Mariah. Sudah bukan waktunya dia berpura pura lagi.Edward menoleh pada Mariah, sementara wanita itu memainkan remote di tangannya, dia seakan ingin fokus pada layar di depan sana. Tapi tak bisa. Edward mendaratkan telapak tangannya di atas paha Mariah, membuat mata wanita