Share

Bab 3 : Problematika

“Aduh gimana ini Bu,”ucap Angela masuk ke dalam ruangan dosen dengan wajah kacau. “Siapa yang gantikan Bu Nata nyanyi untuk pagelaran nanti malam,”ucap Angela membuat ku terhenyak. What’s kenapa harus Nata yang ngga datang???

Bau-bau jadi tumbal ini. Bukannya gimana masalahnya kalo gantikan dadakan gini siapa sih yang ngga sebel. “Bu Dyan,”ucap Augitra mengangguk. Ini juga karena tangan yang ngga bisa banyak gerak. Mana mungkin penari bawa kipas gerakannya bukan luwes malah patah-patah kayak paskibraka.

“Saya bisa menggantikan Bu,”ucapku berdiri. “Alhamdulilah makasih banyak Bu Dyan. Ini nih teks nya ya, audio nya saya kirim lewat WA,”ucap Angela memberiku selembar kertas.

“Bahasa Bugis ya Bu,”ucapku. “Iyalah. Kan Pak Rafka orang Bugis apalagi calonnya juga orang Bugis,”ucap Keyla.

Kan masalah lagi, mana aksen Bugis jelas beda dengan aksen Jawa. Ayolah pasti bisa Yan pasti bisa.

Katanya lagu ini buat pasangan pengantin baru tersipu-sipu. Karena isi dari lagu tentang pasangan yang memang ditakdirkan atau jodoh memiliki wajah yang mirip seperti pinang dibelah dua. Wehh ribet banget sih mau nikah. Makin ngga minat kan aku mau ke arah sana.

“Bu Dyan sudah 2 jam sekarang waktunya lanjut,”ucap mahasiswa dengan jas lab menghadap.

“Ayo,”ucapku memakai jas lab sambil sebelah telinga ku mendengar audio yang disuruh hafalkan Bu Angela. Benar-benar ngga sinkron situasi dengan kegiatan.

---

“Dek ini tadi berapa ml n-hexan nya,”tanya ku memperhatikan sampel yang akan di evaporasi. “Pertama 30 terus yang kedua 20 Bu,”ucapnya. “Ini di uapkan habis itu hitung yang diminta. Sama buat laporan sementara. Saya tunggu di ruangan saya kalo mau acc hari ini,”ucapku menyerahkan sampel.

“Ehh mau ambil apa Dek,”tanyaku melihat seorang mahasiswa akan membuka lemari asam. “Mau ambil HNO3 pekat Bu,”ucapnya. “Pernah baca aturan lab?? DILARANG MASUK ATAU MENGAMBIL LARUTAN DALAM LEMARI ASAM.

TANPA MENGGUNAKAN MASKER KARBON,”ucapku berapi-api. “Siap lupa bawa masker karbon Bu,”ucapnya makin membuat emosi di kepala ku meledak-ledak. “PRODI APA DAN SEMESTER BERAPA KAMU!!!???,”tanyaku.

“Siap D3 Petro Oleo Kimia semester 3 Bu,”ucapnya ragu. “SEMESTER 3 MASIH NGGA TAU ATURAN MASUK LEMARI ASAM!!?? ADEK MABA ANGKAT SEMUA MASKER KARBON DI ATAS. KALO NGGA BAWA SILAHKAN KELUAR!!!!???,”ucapku memecah keheningan.

Semuanya serempak mengangkat masker karbon di udara. “Malu ngga kamu semester 3 ngga bawa masker karbon?,”tanyaku. “Siap malu,”ucapnya ragu. “Siapa dospem mu,”tanyaku judes tak terbantahkan. “Bu Melinda,”ucapnya ketakutan.

Dengan cepat ku langkahkan kaki ku keluar dari lab menuju lab di lantai 2 tanpa peduli panggilan dari mahasiswa tadi. Ini bahaya kalo sampai dia masuk ke lemari asam dan terpapar langsung. Gimana kalo nanti berpengaruh di medical sewaktu daftar kerja?

Itu yang ku pikirkan makanya emosi. Sayang banget ngga sih kalo nilai mu bagus skill mu mumpuni gagal hanya karena kecerobohan kecil begini. “Permisi Bu Melinda,”ucapku masuk ke dalam lab. “Iya ada apa ya Bu Dyan,”tanya Melinda.

“Saya rasa ada yang lupa gimana cara aman ambil larutan dari lemari asam,”ucapku implisit. “Astaga. Makasih banyak Bu Dyan. Mana mereka itu,”ucap Melinda dengan suara menggelegar di akhir sarat akan emosi yang membumbung di ubun-ubun.

Meninggalkan emosi sesaat di lantai atas dan duduk manis menghafalkan lagi lagu yang katanya romantis itu dengan wajah kusut. “Bu Dyan jangan lupa bawa gandengan ya,”ucap Keyla. “Aduh masa boleh mas mas Gojek di comot bawa masuk Bu,”ucapku mengundang gelak tawa seisi ruangan.

---

Jalanan kota Samarinda tampak ramai dengan aktivitas manusia yang berlalu lalang. Seperti kebiasaan ku sebelum pulang pasti berhenti membeli buah tangan. Apalagi Bapak, Ibu dan Kak Deva sudah datang jadi makin rame.

Tapi bukannya kalimat rindu atau gimana. Justru mempermasalahkan perban yang menutup sebagian tangan kiri ku. Sama aja reaksinya dengan kak Tiara yang paniknya nauzubillah padahal ini tuh biasa aja jadi mau gimana lagi.

Tapi bentuk kepedulian mereka berempat ini juga menjadi salah satu alasan kenapa aku masih ngga minta nikah sama sekali. Kalo ada keluarga yang jelas kasih sayangnya kenapa harus cari yang lain dan belum tentu baiknya.

Menikmati coffe late di sebuah bangku dimana bangku lain banyak mahasiswa dengan wajah kusut nya tengah menikmati sore dengan cara mereka sendiri. Namanya kehidupan ngga ada yang enak dan ada ngga enaknya masing-masing.

“Dyandra,”sapa seseorang duduk di depan ku dengan wajah berbinar. Tapi wajahnya tampak tidak asing bagiku membuat pertanyaan dalam benakku. “Putri Kadhita kan,”ucapku menebak.

“Allahuakbar kenapa lagi ini tangan,”ucap Putri mengangkat tangan ku tinggi-tinggi. “Ngga publikasi juga kali Put. Biasa me vs mahasiswa ada kecelakaan kecil di lab,”ucapku santai. “Kebiasaan buruk santai disaat semuanya jantungan. Sendirian aja,”tanya Putri.

“Hmm kalo aku emangnya mau sama siapa. Kan baru pulang dari kampus paling sama jas lab di tas,”ucapku. “Memang masih sebatu yang dulu sih,”ucap Putri membuat ku tersenyum. “Kamu masih akuntan di perpajakan setelah nikah?,”tanyaku penasaran.

“Iyalah sama aja kayak kamu yang setia bersama mahasiswa. Ngomong-ngomong boleh nih kapan-kapan reuni bareng Anita sama Grace. Semenjak kami berkeluarga jarang betul bisa temuin kamu Yan,”ucap Putri.

“Ya kan kalian punya keluarga yang harus di urus. Its Okey. Aku kan memang ya begini-gini aja dari dulu,”ucapku. “Pesanan nya Mbak,”ucap pelayan mengantarkan pesanan yang sudah siap. “Oiya Put Maaf banget ngga bisa lama-lama. Soalnya belum izin pulang lambat,”ucapku.

“Nggak papa kali Yan harusnya kita buat janji temu dulu. Hati-hati sama Get well soon tangannya,”ucap Putri mengantarku ke parkiran. “Maaf tapi tangan ku ngga bisa bilang makasih,”ucapku membuatnya tergelak.

---

“Kayak putri Bugis gini,”ucapku berkomentar sebelum pergi ke pernikahan Rafka. Tampilan manis harusnya tapi malah jadi salah fokus sama perban yang ngajak kelahi ini. “Pak Bu. Dyan berangkat dulu ya,”ucapku berpamitan.

“Yakin bawa mobil sendiri?,”tanya Harsa.

"Insya Allah bisa pak. Orang sudah kering kok cuma tinggal perban aja,"ucapku. "Hati-hati ya Nduk. Kamu sudah cantik gini kapan giliran ada yang datang ke rumah. Nggak bosan datang ke undangan terus,"ucap Maheswari mengusap kepala ku.

"Tunggu kalo aku minat,"ucap Deva berjalan ke ruang tamu bersama dengan Tiara. Wew pasangan favorit di rumah. Kemana-mana harus ya barengan. "Gotcha 100 buat kak Deva,"ucapku. "Eh Yan ngga iri liat Bapak gandengan sama Ibu. Aku sama Kak Deva kamu??,"tanya Tiara.

"Pilar di teras masih bisa di peluk juga. Oke Dyandra berangkat Assalamu'alaikum,"ucapku berlalu pergi. Sebenarnya bukan sekali pertanyaan itu dilayangkan tapi semua kembali pada topik awal. Aku nggak minat.

Mengendarai mobil memasuki sebuah hotel bintang lima milik Rafka sendiri. Dari luar aja sudah ramai sekali, apalagi di dalam. "Mbak Dyan,"ucap Augitra mendekati ku. "Bu Augitra,"ucapku tersenyum tipis. "Jangan Bu lah. Mau tampil muda gitu.

Pangling ya Allah cantiknya Mbak Dyan. Tinggal acc aja,"ucap Augitra. "Suami nya mana Mbak kok nggak datang,"ucapku. "Kebiasaan ini kalo sudah ditanya masalah jodoh langsung hilang. Suami lagi ada seminar jadi nggak bisa datang"ucap Augitra menggandeng ku masuk.

Tanpa nikah ada juga yang ku gandeng untuk datang undangan. Seusai mengisi nama, Augitra membawa ku duduk di barisan kedua bersama jajaran dosen satu jurusan lainnya seperti Melinda, Angela dan Keyla. "Ya Allah pangling aku Mbak Dyan,"ucap Angela.

"Bisa aja Mbak,"ucapku duduk di sebelah mereka. "Aura dekat pelaminan semakin kuat. Tinggal acc pokoknya,"ucap Angela membuat ku tersenyum tipis. Enggan menanggapi hal yang berbau ke sana. Lagian stop bahas nikah karena itu bukan hal yang menarik untuk di bahas.

Aku memang nggak minat nikah tapi aku suka sesuatu yang berbau Adat dalam pernikahan. Serasa bisa datang ke suku atau asalnya. Wow sekali Indonesia ku tersayang punya beragam jenis kebudayaan. Istri Rafka juga terlihat mirip sekali dengan Rafka. Itu kategori jodoh?

Padahal bisa aja wajah mirip itu ketidaksengajaan. Jadi nggak semua yang mirip jodoh. "Permisi ya kak,"ucap seorang tamu yang lewat. Tapi dari wajahnya itu aku pernah melihatnya di jurusan ku.

"Kok kak sih Del. Itu Bu Dyan,"sahut yang lain.

"Masa iya. Bu Dyandra Androdiaz Zhafira Rajasa???,"ucap nya tak kalah kaget.

"Iya masa kamu nggak ingat wajah nya sih,"

"Yang itu kayak malaikat Munkar Nakir. Nah itu loh kating mana bening pula,"

"Bu Dyan kan memang bening. Makanya jangan neko-neko pasti liat kalemnya,"

"Bisa ini hastag dosen ku cinta ku,"

Aku hanya menggeleng pelan mendengar obrolan tak masuk akal mereka. Lagian yang taruh kandidat dosen killer kan juga dia. "Cieee Mbak Dyan idaman mahasiswa nih,"ucap Angela menyenggol lengan ku. "Nanti ketemu di kampus di sumpahi lagi Mbak,"ucapku.

"Maklum Mbak. Namanya mahasiswa mau gimana pun tetap gitu adanya. Tapi kalo memang ternyata sama mahasiswa gimana,"ucap Keyla. "Skip Mbak. Saya kurang sreg kalo sama mahasiswa sama kayak anak kecil,"ucapku dengan senyum di ujung bibir. Kembali mata ku fokus dengan perhelatan di depan sana.

Kenapa harus nikah jika ujungnya ada kata cerai? Meskipun latar belakang ku bukan dari keluarga broken home bahkan terkenal setia seumur hidup. Namun ada aja pertanyaan yang mengganjal di benak ku seputar pernikahan.

---

Baju kuning dengan pernak pernik yang di pakai kan perias membuat kesan manis pengguna nya. Tapi kembali lagi ke perban yang nggak ada habisnya. Mana mahasiswa berseliweran menyapa seolah aku adalah orang lain malam ini.

"Dyandra,"

Aku menoleh mendapati perempuan berbaju nuansa biru dengan banyak aksen mendekati ku. "Selamat ya Bu. Samawa,"ucapku. Bukannya menjawab ucapan ku malah mendekap tubuh ku. Dengan sedikit demi sedikit isakan terngiang.

"Makasih ya Mbak. Ternyata nyata kalo doa bakal terkabul. Dari lama aku suka dengan Rafka ngga bisa dekat karena beda jurusan apalagi Rafka memang masih terbayang sosok Dyandra Androdiaz Zhafira Rajasa. Mbak ajari aku jadi Mbak biar Pak Rafka bisa benar-benar jatuh hati ke saya,"ucapnya membuat ku tersentak.

"Ehh kok saya. Gini Mbak dalam teknik kimia kami saling melindungi seolah keluarga. Pak Rafka memperlakukan saya demikian karena hanya saya anggota yang belum menikah di Teknik Kimia. Oiya harusnya saya yang minta maaf. Pak Rafka pernah titip bunga buat Mbak.

Tapi karena kirain orang iseng ya saya kasih mahasiswa. Semua itu karena Pak Rafka memang memilih Mbak. Saya cuma rekan dosen saja,"ucapku menjelaskan. Apaan ini kok jadi aku tokoh utamanya. Apa orang setelah menikah juga masih takut kehilangan?

Jadi untuk apa menikah jika hanya untuk khawatir sepanjang hidup. Ku usap titik air mata yang sempat jatuh menuruni pipi nya. "Sudah Mbak nanti buatin saya keponakan yang banyak lah pokoknya,"ucapku tersenyum menularkan wajah bahagia nya.

"Mbak Dyan. Ehh Mbak manten kok disini,"ucap Augitra. "Tadi mau ketemu sama Mbak Dyan aja kok. Saya permisi dulu ya,"ucap nya berlalu. "Bau-bau habis ada tangis pecah ini. Ikhlaskan aja pasti ada yang lebih baik,"ucap Augitra. "Kok jadi saya. Buat ada yang datang tapi nggak ada minat,"ucapku terkekeh.

"Iya deh Mbak. Ayo nanti dicari yang lain,"ajak Augitra menarik ku ke anggota jurusan yang tengah bersiap untuk tampil. "Aduh Bu Dyan bikin pangling. Bingung nanti tamunya ini mana pengantin nya kok sama-sama bening,"ucap Angela. "Bisa aja Bu,"ucapku tersenyum tipis.

Tak lama menunggu tibalah saatnya untuk menampilkan persembahan untuk Rafka. Semoga aksen Bugis ku ngga terdengar aneh bercampur dengan Jawa.

---

"Dyandra putrinya Pak Harsa Rajasa sama Dokter Maheswari Rajasa kan. Yang keluarga dokter itu,"ucap Lili, ibu Rafka saat menyalami pengantin dan keluarganya. "Iya Bu,"ucapku dengan senyum tipis. "Memang mungkin bukan takdir kami bersanding dengan keluarga Rajasa ya Bu. Semoga cepet nyusul ya Nak,"ucap Alif, bapak Rafka.

"Semoga cepet nyusul,"

Kalimat itu yang paling terngiang sampai berada di perjalanan pulang. Kenapa kalimat orang selalu berhubungan dengan cepat nyusul.

Cih

Nikah apa semudah itu sampai banyak orang berlomba untuk nikah. Kemarin ku datangi pernikahan MBA seorang mahasiswa sekarang ku datangi pernikahan rekan kerja ku. Hmm sudut pandang orang berbeda jadi nggak mungkin aku judge sembarangan.

Di saat melintasi jembatan Mahakam malam ini, hujan turun dengan derasnya membuat mau nggak mau terjebak macet akibat banjir di jalan poros menuju perumahan ku. Sembari menunggu bisa lewat, pikiran ku mengacu pada setiap kata nikah.

Harapan dua insan yang ingin bersanding seumur hidup. Rawan dengan kata perpisahan. Artinya banyak duka yang tercetus di dalamnya. Jadi untuk apa menikah jika bakal kehilangan zona nyaman. Sayang banget harus keluar pada zona yang jelas jelas bahagia kenapa harus melangkah hanya untuk mencari gejolak.

Dingin nya AC berpadu dengan dinginnya diri ku yang enggan tersentuh. Salah kah pikiran ku? Aku cuma nggak mau kehilangan zona nyaman hanya gejolak tak berarti yang ujungnya hanya air mata...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status