Share

Rubah Api ch. 8 : Petunjuk Pertama

Kelas kembali berjalan seperti yang seharusnya, tanpa membicarakan Luc lagi. Pengaruh Luc telah hilang bersama kepergiannya, tetapi dia telah meninggalkan tanda tanya di benak Daniel. Lelaki itu sering menoleh padaku seolah ingin mengatakan sesuatu, kemudian kembali berbicara dengan teman-temannya lagi. Tentu saja, aku tahu dia akan bertanya cepat atau lambat, terutama ketika aku mendengar dia bertanya pada teman-temannya, dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti.

Rasa penasaran akhirnya benar-benar mengalahkannya di pergantian kelas ke dua, Daniel segera berdiri dan mendatangi mejaku. Joce memandang terheran-heran. Ada sedikit kecemburuan konyol yang dia arahkan padaku, tetapi dia menarik tali tasnya dan melambai. Aku tidak bisa menyalahkannya, Daniel memang mempesona, dan tentu saja dia menyukainya.

“Tentang cowok tadi,” kata Daniel tanpa menungguku menatapnya. “Siapa dia?”

“Kenalan.”

Aku berjalan ke kelas berikutnya, sedangkan Daniel mengikutiku.

“Dia bertindak sangat aneh, dan semua orang lupa tentangnya.” Aku tidak menjawab. Lagi pula, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak ada hal yang bisa disembunyikan dari Daniel, dan bila kekuatan sebesar Luc tidak mampu mempengaruhinya, tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Akan tetapi, Daniel mencekal tanganku. Cekalannya kuat, jarinya yang panjang dan telapak tangannya yang lebar mengelilingi lenganku dengan sempurna. Tidak ada sihir yang berdesir di sana, seolah sentuhan Daniel memblokir semua sihir di sekitarnya. “Dia bukan pelakunya, kan?”

“Siapa? Luc?” Daniel mengangguk serius. Sehingga aku tertawa renyah. “Bukan. Dia hanya orang aneh.”

“Orang yang membunuh dan membakar mereka juga orang aneh,” desaknya. “Hyde! Apa kau sungguh mengenalnya? Dia tampak berbahaya. Katakan saja aku konyol karena mempercayai instingku, tetapi aku tahu instingku hampir tak pernah salah.”

Insting Daniel tidak salah. Luc adalah makhluk berbahaya, bukan pembunuh tetapi lebih mengerikan dari itu. Dia adalah pengumpul jiwa, pencabut nyawa, malaikat maut tanpa rasa. Luc tidak peduli tentang orang lain, selama dia berpikir harus memenuhi peraturan dunia orang mati yang keras. Dia tega membunuh orang-orang yang terlahir dari jiwa orang mati yang melarikan diri. Tidak peduli bayi, anak-anak, gadis tak berdaya, bahkan ... Daniel.

Orang itu tidak akan menyerah hanya karena perkataanku. Memang dia bertingkah aneh hari ini. Aku tidak bisa mengenyahkan sekelumit kekecewaan yang tersirat di ucapannya. Aku tidak tahu kemana dia pergi, atau apa yang dia lakukan, atau apakah dia akan kembali. Kami tidak memiliki hubungan yang baik, terutama setelah Luc melakukan hal itu pada Gadis Rembulan.

Aku masih bisa mengingat sosoknya yang dingin, saat berdiri di depanku, menutupi cahaya bulan. Sabitnya yang hitam legam berkilat. Matanya yang merah darah menatap kami dingin. Sebelumnya Luc tidak sekejam itu, menyebalkan, tetapi tidak pernah mengerikan. Malam itu, aku seperti melihat sosok yang berbeda. Sedangkan suaranya ....

“Hyde!”

Aku tersentak. Kami ada di depan ruang kelas, dan Daniel tampak sangat bingung. Aku menggeleng-geleng.

“Ada apa?”

“Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua?”

Pertanyaan Daniel tidak memerlukan jawaban. Dia menanyakannya karena serta merta karena khawatir. Aku baru mengenalnya tiga hari ini, dan dia begitu mengkhawatirkanku. Sedikit tidak masuk akal, tetapi dikhawatirkan memang selalu membuatku merasa lebih manusiawi.

Aku menepuk bahunya. “Tidak ada apa-apa. Hanya masalah, kau tahu, dua remaja.”

Daniel tidak puas dengan jawabanku, tetapi bel menghentikannya. “Aku akan mendatangimu nanti. Oke?”

Daniel meninggalkanku tanpa menunggu jawaban.

Naomi kembali menjadi satu-satunya orang yang tidak memiliki teman sebangku. Dia mengangguk padaku, dan kembali menatap ke depan. Guru telah masuk dan meminta kami menutup buku. Ada kuis dadakan hari ini. Semua orang melenguh tidak senang. Begitu pula denganku. Kuis dadakan selalu menjadi hal paling menyebalkan yang pernah kuterima.

Akan tetapi, kuis hari itu tidak semengerikan yang kukira. Soal-soalnya masih sangat kuingat, sesuatu yang pernah menjadi obsesi sesaatku. Sebagai makhluk abadi, terkadang aku memiliki waktu luang yang sangat membosankan. Hal itu membuat tertarik pada hal-hal yang terkadang tidak perlu. Lagi pula, aku tidak mengharapkan ada buruan setiap waktu, karena artinya semakin sedikit masalah dan korban di dunia. Bukan berarti mereka pernah berhenti membuat masalah.

Aku memutar pulpen di jari. Semua soal essay sudah terisi, dan tidak ada hal lain yang bisa kulakukan. Aku melirik ke jendela, sudut mataku melihat Naomi yang tampak serius mengerjakan soal. Dia menyentuh baris demia baris soalnya dengan jari telunjuk. Salah satu tangannya menopang dagu.

Guru di depan berdeham, dan aku kembali menatap lembar soal yang telah selesai. Sepertinya aku menemukan sesuatu yang baru tentang rekan sebangkuku ini. Lima belas menit sebelum kelas berakhir, guru meminta kami mengumpulkan soal dan sebagian besar siswa melenguh. Beberapa merasa lega, beberapa terlihat khawatir dengan hasilnya.

Di sebelahku, Naomi tampak tidak terganggu. Dia mengeluarkan buku sesuai perintah guru. “Soalnya sulit?”

Naomi mendongak, dan tersenyum. “Tidak sesulit itu. Kau mengerjakannya dengan baik. Sudah pernah dipelajari di sekolahmu sebelumnya?”

“Ya. Sekolah sedikit lebih cepat.”

Dia mengangguk. Tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Naomi bukan gadis yang ceroboh. Dia menempatkan sesuatu hati-hati. Dilihat dari caranya menjawab, dia benar-benar teliti saat membaca soalnya. Caranya menatap orang lain juga penuh perhitungan. Dia selalu menjeda ucapannya sebelum mengatakannya dengan sedikit senyuman tipis.

Dia bukan penyendiri yang pemalu, melainkan orang yang penuh perhitungan.

Kelas selesai setelah guru memberi tugas untuk dikumpulkan hari kamis. Ini menyebalkan, guru itu tidak memberi banyak waktu untuk mengerjakannya. Dengan sedikit kesal, aku berpindah ke kelas lain. Begitu seluruh kelas selesai, Daniel sudah menunggu di depan. Joce mencoba mengajaknya mengobrol, tetapi begitu melihatku keluar, Daniel segera tersenyum lebar dan melambai. Hal itu sontak membuat Joce mendengus sebal.

Bukan salahku Daniel melakukan itu.

“Hi!” kataku pada Daniel, dan dengan sengaja menatap Joce. “Pembicaraan kalian menyenangkan?”

Joce mengangkat bahunya sambil lalu. “Aku hanya ingin mengajak Danny ke pantai akhir minggu depan. Kau juga boleh ikut. Smith, Angela, John, dan tiga yang lain akan datang.”

Kami berjalan bersama ke loker. Aku dengan sengaja memusatkan perhatianku pada pembiacaraan Joce, untuk menghindari pertanyaan Daniel. Lelaki itu tampak gelisah, dan mencoba untuk menengahi tetapi tidak pernah bisa menemukan waktu.

“Kita bisa membakar sesuatu kalau memang harus kamping,” kata Joce saat kami sampai di loker. “Tempat itu sangat cocok untuk kamping.

“Kupikir itu bukan ide bagus,” ucap Daniel saat dia memperoleh kesempatan. “Dengan kasus yang terjadi, kamping sepertinya berbahaya.”

Joce memutar bola matanya. “Duh! Kita pergi beramai-ramai, Danny. Di sana pasti banyak orang lain. Dia pasti sangat ingin tertangkap kalau melakukannya di sana.”

Sekumpulan remaja yang tengah kamping tidak akan menakutinya. Hal itu malah akan memberikan banyak korban di satu waktu. Akan tetapi, kamping sepertinya ide bagus. Kalau aku bisa menyelesaikan kasus ini sebelum minggu depan. Itu waktu yang lumayan lama, kalau saja aku punya petunjuk yang sangat membantu.

“Aku akan menghubungimu nanti bila bisa ikut.”

“Tentu,” kata Joce. “Dan kau Danny?”

“Yeah. Maksudku, aku akan menghubungimu juga nanti.”

Joce tampak kecewa, tetapi dia menjawab, “Tentu.” Lantas berbalik dan meninggalkan kami dengan sedikit menghentakkan kaki.

“Bukankah seharusnya kau mengiyakan ajakannya, ya?”

Daniel mengusap belakang kepalanya. “Entahlah,” dia terdiam. Matanya terfokus pada lokerku yang lagi-lagi diisi kertas. Astaga, dia baru melakukannya kemarin. Tidakkah lebih baik dia memberikanku nomor telepon atau apa? “Kau populer, ya? Dua hari berturut-turut mendapat pesan rahasia.”

Aku mendengus, mengambil kertas itu, lantas menutup pintunya agak keras. Daniel tersenyum geli. Saat keluar dari sekolah dia masih mengekoriku seperti anak ayam. Dia bahkan mengitari mobil, dan berdiri di depan kursi penumpang.

“Apa yang kau lakukan?”

“Makan siang bersama?”

Aku mengangkat sebelah alih heran. “Siapa?”

“Kau dan aku?”

“Kenapa?”

Daniel tampak pura-pura berpikir. “Karena aku sudah bilang akan mendatangimu, dan kau terlalu sibuk bicara dengan Joce hingga melupakanku.” Aku mendegus tidak percaya. “Atau kau ingin menggunakan mobilku saja?”

“Masuklah!”

Dia masuk begitu saja ke kursi penumpang. “Kau bisa menurunkanku di sekolah lagi nanti untuk mengambil mobil.”

Aku tersenyum miring, dan menatapnya main-main. “Siapa yang bilang akan mengantarkanmu kembali ke sekolah lagi?”

“Oh, astaga,” dia tertawa, “kau jahat sekali, Hyde.”

“Kau yang seenaknya mengajakku makan siang.”

Mobilku tersendat oleh kemacetan. Beberapa orang lewat dengan tertawa-tawa, dan aku melihat Naomi. Dia mendekap bukunya dan berjalan sendiri. Dia tampak awas menatap sekeliling, seolah seseorang akan menyerangnya entah dari mana.

Daniel menyadari tatapanku, dan dia menggeleng. Aku tersenyum miring, lantas mencondongkan tubuh ke kursi Daniel untuk menurunkan kaca mobil. Naomi tersentak kaget. Matanya menatap awas padaku seolah takut aku akan menusuknya.

Daniel berbisik, “Oh my God.”

“Naomi, kau ada waktu? Mau makan siang dengan kami?”

Naomi menatap sekeliling seolah bukan dirinya lah yang diajak bicara. Dia menggeleng segan.

“Aku ... ada hal yang harus kulakukan.”

“Ayolah, Naomi!” desakku. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

Dia melirik Daniel, dan aku baru menyadari betapa tegang tubuhnya. Astaga, betapa manisnya. Dia terlihat seperti lelaki populer yang tahu cara menghadapi wanita, tetapi baru mendapat perlakuan seperti ini dia sangat gugup. Matanya menatap lurus. Hal itu membuatku semakin ingin mengerjainya, tetapi aku tidak memiliki waktu sebanyak itu.

“Ayolah, Naomi!”

Naomi mendesah menyerah. Dia mengangguk, lantas memasuki pintu belakang mobil. Daniel menghembuskan napas lega, seolah dia menahannya sedari tadi.

“Kau manis sekali, Danny.”

Danniel memutar bola matanya. “Sangat lucu.”

Baru saja aku akan mengunci pintu, tiba-tiba saja, pintu penumpang di belakangku dibuka kasar. Naomi memekik terkejut, begitupula aku dan Daniel yang segera menoleh ke belakang. Luc tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke kursi, dan menatap kami bergantian, seolah kami lah yang melakukan hal aneh.

Sebelah alisnya terangkat heran. “Apa?”

Astaga. Setelah keributan yang dilakukannya tadi pagi, setelah percakapan penuh emosi, setelah dia meninggalkanku seolah-olah tidak akan kembali, makhluk itu dengan santai memasuki mobilku. Aku mendesah lelah. Tentu saja, dia itu Luc. Makhluk paling tak berperasaan yang pernah kukenal. Seharusnya aku menyadari hal itu, dan bukannya terganggu dengan kesedihan khayalan yang kudengarkan.

“Kalian tidak akan berkata aku tidak boleh ikut, kan?”

“Terserahlah, Luc,” gerutuku.

Akan tetapi, mobil itu menjadi sangat hening sepanjang perjalanan. Luc tidak peduli, dia menopang dagunya dan menatap ke jalanan. Naomi sesekali melirik Luc, dan ke arahku serta Daniel. Daniel sendiri juga mencoba menahan diri. Dan aku? Aku ingin pulang saja.

Oh my God.

To Be Continued

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status