Share

Rubah Api ch. 9 : Makhluk yang Tak Pernah Ada

Ini adalah atmosfir makan siang paling buruk selama lima puluh tahun kehidupanku. Kalau tahu jadinya akan seperti ini, lebih baik aku ke Mcdonals dan makan sendiri. Luc memainkan kursi dan kentang gorengnya acuh. Dia tidak peduli pada Daniel yang menatapnya kesal, Naomi yang malu-malu, dan aku yang ingin pergi saja.

“Maaf ya,” kataku pada Naomi. “Aku ingin membelikanmu makan siang untuk terima kasih, karena meminjamkanku buku kemarin lusa, tetapi malah membuatmu terjebak di sini.”

Naomi mengangguk. “Tidak masalah.”

Akhirnya sepuluh menit berlalu, dan Daniel tidak sabar lagi. “Kau mengacaukan segalanya. Kau tiba-tiba datang dan sok kenal, dan sekarang ikut seenaknya saja ikut dengan kami. Kau ini siapa, Bung?” Luc mengangkat kentang gorengnya dan memakannya sambil memainkan kursi. Seenaknya saja. Sontak, hal itu membuat Daniel semakin kesal. “Hei!”

“Lucas Manson,” katanya acuh. “Sepupu Hydenia. Hyde pindah kemari karena dia dikejar penguntit di Phoenix, dan ibunya tidak tega membiarkannya tinggal sendiri. Jadi, aku akan tinggal dengannya mulai sekarang,” dia menatap Daniel tajam, “puas dengan jawaban itu?”

Aku mendelik. “Tidak akan.”

Luc menatapku dan senyum miringnya tak bisa dibantah. “Ibumu sangat khawatir, Hyde.”

Apanya yang ibu. Ibuku sudah meninggal puluhan tahun yang lalu, dan cerita karangan itu sulit untuk dibantah. Daniel menatapku dalam-dalam seolah baru menemukan sesuatu yang aneh padaku. Aku memijat kepalaku.

“Kau dikerjar penguntit?” tanya Daniel prihatin. “Itukah alasan kau pindah kemari sendirian?”

“Ya,” sambar Luc. Dia menantang Daniel terang-terangan. “Dan Bajingan itu memulai aksinya dengan bersikap sangat baik. Setengah dari itu salah Hyde, karena dia terlalu baik untuk menolaknya.”

“Hei!” bentakku kesal. “Hentikan itu!”

Luc menatapku sembari mengangkat alisnya. “Aku hanya berkata jujur, penguntit itu sangat mengganggumu sebelumnya, dan di sini, aku melihat orang yang sama.”

Wajah Daniel memerah. “Aku bukan penguntit. Aku tidak akan menguntitnya.”

“Itu yang dia katakan sebelumnya.”

Aku segera berdiri. “Oke berhenti!” Daniel dan Luc mendongak. Sementara itu, Naomi terlihat semakin mengecil. Astaga, aku memang tidak ingin Danel bertanya-tanya tentang Luc karena itulah aku mengajak Naomi, tetapi kalau seperti ini semuanya akan berantakan. Orang-orang bahkan mulai melihat ke arah kami. “Luc, aku tahu tentang itu. Jadi, tolong jangan coba-coba membuat keributan dengan Daniel! Aku bisa menjaga diri.”

“Ya. Kau benar-benar bisa menjaga diri,” gerutu Luc sembari melirik Daniel. Daniel menggeram kesal. Luc mendengus ketika melihatku mendelik. “Aku hanya memperingatkannya.”

“Itu yang kumaksud!” geramku kesal. Luc tidak menjawab. Dia hanya memainkan kentang gorengnya, dan mulai tidak peduli dengan sekitar. Aku kembali duduk. “Maafkan aku. Dia hanya  khawatir.”

“Apa itu benar tentang penguntit?” tanya Naomi.

“Yeah,” balasku berbohong. Aku sudah melakukannya bertahun-tahun hingga terbiasa untuk mengikuti kebohongan rekanku. Akan tetapi, ini adalah kali pertama seseorang berbohong tentang aku yang menjadi incaran sesuatu. Entah karena Luc ingin menjauhkan Daniel, atau dia pembohong yang payah. “Sesuatu yang gila kadang terjadi.”

“Maafkan aku,” kata Daniel, seolah dirinya bertanggung jawab atas hal itu. “Aku tidak tahu kau baru saja melewati hal yang mengerikan.”

Mata Luc memicing ketika menatap Daniel. Aku segera berkata, “Tidak apa. Itu sudah terlewat. Dia sudah ditangkap dan diberi ultimatum. Aku juga sudah pindah. Jadi, semuanya baik-baik saja.” Luc hendak mengatakan sesuatu, tetapi aku menendang kakinya. “Diamlah!”

Luc menggerutu kesal, tetapi pada akhirnya diam juga.

“Kuharap begitu. Kalau ada sesuatu kau bisa menghubungiku,” tawar Daniel sungguh-sungguh.

“Aku juga,” kata Naomi malu-malu. “Uh ... kau bisa menyimpan nomorku.”

“Terima kasih,” jawabku. Aku dengan senang hati menyimpan nomor mereka, meski kesulitan saat melakukannya. Setelah lima menit berlalu dengan bantuan Daniel, akhirnya aku berhasil menyimpan nomor mereka. Aku tertawa malu, dan menggoyangkan telepon pintarku. “Handphone baru. Maaf.”

“Tidak masalah,” jawab Daniel sembari terkikik geli. “Ternyata kau ada sisi manisnya.”

“Oke cukup,” gertak Luc tidak sabar. Dia segera berdiri dan menarik tanganku. “Kita sudah makan siang. Saatnya pulang!”

“Hei!” Daniel mencoba untuk menghentikan Luc, tetapi tangannya berhenti di udara. Aku bisa melihat dia ingin menolong, tetapi tidak tahu sampai mana dia bisa ikut campur. “Jangan terlalu kasar dengannya!”

“Tak apa.” Aku mengangkat tanganku yang bebas, dan Daniel tampak keberatan. Aku tersenyum. “Ayo! Aku akan mengantar kalian ke sekolah.”

Kami mengikuti Luc yang pergi lebih dulu. Dia segera masuk ke kursi samping kemudi, yang membuat Daniel semakin kesal. Sialan. Makhluk ini benar-benar bersikap seenaknya. Dia tidak mempedulikan Daniel ataupun Naomi. Dia hanya menopang dagu dan menatap ke luar jendela. Sehingga aku hanya bisa mendesah lelah, dan mengemudikan mobil ke sekolah.

Luc akhirnya berhenti membuat ulah setelah aku menurunkan Daniel dan Naomi. Sebagai gantinya, dia membuka tasku tanpa permisi. Aku tidak berniat melarangnya, tidak ada hal yang benar-benar berharga hingga aku tidak ingin dia melihatnya di sana. Akan tetapi, aku masih kesal dengan perilakunya tadi.

“Kau benar-benar mengacaukan suasana, Luc. Apa-apaan dengan penguntit?”

“Apa lebih baik aku memberi tahunya bahwa dia adalah Makhluk yang tak seharusnya ada?” tukas Luc sengit. Dia mengambil kertas dalam tas, dan membukanya. “Temui aku di tempat kemarin, dan ajak rekanmu. Gadis itu benar-benar berpikir kau tidak mengenalinya, ya?”

Aku mengambil kertas itu kesal dan memasukkannya ke tas. “Aku berjanji untuk bergerak di jarak amannya.” Luc tampak keberatan dengan itu tetapi dia tidak memprotes. “Kupikir kau akan pergi setelah tadi pagi.”

Luc memutar bola matanya. “Aku tahu kau ceroboh, tetapi memposisikan dirimu di tengah dua makhluk berbahaya. Astaga, apa kau gila?”

“Mereka bukan makhluk berbahaya.”

“Satu Makhluk yang tak seharusnya ada dan Rubah Api yang kemungkinan adalah pelakunya. Ya, mereka benar-benar tidak berbahaya.”

Aku menatap Luc tajam. Tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. “Apa yang kau dapatkan, Luc?”

“Aku akan menjelaskan tentang pembakaran itu nanti ketika kita bertemu Rubah Api kolegamu. Itu pun kalau dia bisa dipercaya.” Dia menatapku mencemooh. Aku memutar bola mata sebal. “Dan aku punya banyak hal untuk Lelaki cantik kesukaaanmu.”

Aku memarkirkan mobil begitu sampai di pelataran apartemen, dan segera masuk dengan diikuti Luc. Makhluk ini sudah memutuskan untuk tinggal bersamaku, dan aku tidak bisa menolaknya begitu saja. Percuma juga ditolak. Luc pasti datang seenaknya, meski aku menutup pintu rapat-rapat. Malaikat Maut dan sistem berpindahnya yang menjengkelkan.

“Ceritakan.”

Luc mendengus, tetapi dia belum mulai menceritakannya bahkan hingga kami sampai di apartemen. Rasanya aneh membawa Luc ke dalam apartemenku begini, terutama setelah yang terjadi tadi pagi. Bukankah akan terasa aneh jika aku membawa seseorang yang kuancam akan kubunuh ke dalam apartemen?

Aku menjilat sudut bibir. “Kau serius akan tinggal di sini?”

Luc menatapku cukup lama. Aku tidak begitu mengerti apa arti tatapannya, tetapi kemudian tatapan itu berubah menjadi pandangan mencemooh. “Kau sudah hidup lima puluh tahun, tetapi masih bersikap seperti gadis remaja.”

“Maaf saja. Aku masih remaja,” gerutuku. “Dan akan terus begitu.”

Luc duduk di sofa. Kakinya terangkat ke meja. Aku terlalu lelah untuk mengingatkannya, jadi aku memilih pergi ke dapur dan mengambil air. Luc tidak mengatakan apa pun dalam beberapa menit. Bukan berarti aku berharap kita mengobrol atau apa, hanya saja meninggalkan Luc di ruang tamu begitu saja tidak terlalu menenangkan.

Saking diamnya, kupikir Luc telah pergi, ternyata dia masih di sana. Dia tengah menopang dagu dan larut dalam pemikirannya. Aku meletakkan gelas air di depannya. Luc tersentak ketika melihat gelas air di sebelah kakinya, dia terdiam sekilas kemudian tertawa. Aku selalu menyukai tawa Luc. Caranya tertawa membuatnya terlihat lebih hidup. Dari seluruh Malaikat Maut yang kutemui, Luc adalah orang yang paling dekat dengan kehidupan. Akan tetapi, kejadian dua tahun lalu kembali mengingatkanku bahwa Luc tetaplah Malaikat Maut yang tidak memiliki belas kasih.

Hanya saja, disaat-saat seperti ini. Saat kami bisa meletakkan status kami sebagai makhluk non manusia—setidaknya tidak sepenuhnya untukku—Luc dan aku tak ubahnya dua teman yang saling bersenda gurau.

“Kau tetap saja naif,” ujarnya. “Padahal kau berniat membunuhku tadi pagi.”

Aku memutar bola mata. “Kau di sini. Dan aku biasa memberimu minum.”

“Yeah,” katanya merenung. Dia menurunkan kakinya, mengambil gelas, dan meminumnya dalam tegukan-tegukan panjang. Luc menatap gelas itu seolah dia sangat merindukannya. Kalau dia sehaus itu, kenapa tidak mengambil air sendiri saja? “Kau benar. Kita terbiasa menjadi teman sebelumnya.”

Aku terdiam. Luc bukan haus akan air, melainkan hubungan kami yang rusak.

“Tidakkah kita bisa kembali pada seharusnya kita di masa lalu?”

Luc enggan menatapku, dan aku tidak tahu harus mengatakan apa. Memang benar kita dulu berteman. Pertemanan yang jauh lebih baik daripada seluruh hubungan Malaikat Maut dan Pemburu Artemis yang pernah ada. Luc dan aku sering terlibat dalam masalah yang sama. Kami sering bekerja sama untuk menghadapinya. Kami sering bersenda gurau sebelumnya. Aku sering memberinya air putih setiap kali dia datang. Akan tetapi, semua itu hancur. Aku tidak tahu apakah aku sudah bisa memaafkannya, apalagi kembali menjadi teman. Kesedihan di mata Luc segera menghilang bersama dengan suara benturan gelas pada meja kaca, seolah kesedihan itu tak pernah hinggap di sana.

“Tentang bocah itu.”

“Daniel,” koreksiku. Ikut bermain dalam ketenangannya yang dipaksakan. Dia tidak ingin membahas pertemanan kami lebih jauh, begitupula denganku. “Ada apa dengannya?”

“Jiwa yang melarikan diri dari Negeri Orang Mati adalah ibunya,” katanya. “Tidak secara teknis ibunya. Tetapi, dia memasuki tubuh ibunya saat Daniel berusia dua bulan dalam kandungan.”

“Aku tahu,” gumamku. “Ayahnya adalah Sherif.”

Luc mendengus. “Jiwa itu sudah kembali, dan memenuhi hukumannya. Akan tetapi, dia tidak pernah mengatakan telah melahirkan seseorang. Aku juga tidak mengatakan apa pun soal Daniel, kalau kau mau tahu.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”

“Kau melarangku melakukan sesuatu padanya,” gerutu Luc. Dia tidak mau menatapku. “Selama dia tidak berbahaya, aku akan membiarkannya.”

Aku tersenyum, tetapi Luc hanya tersentak dan sedikit kesedihan itu kembali ke matanya sebentar. Aku berpura-pura tidak menyadarinya.

“Kalau mereka mati, maksudku orang yang tak pernah ada, apa yang akan terjadi pada jiwa mereka? Secara teknis bukankah mereka seharusnya tak ada?”

Luc mengernyit. Dia memainkan ujung gelas di meja. “Dia akan menjadi bagian dari kami.” Darahku terasa membeku. Karena tidak mendengar responku, Luc melanjutkan, “Kami adalah jiwa-jiwa yang tidak seharusnya ada. Saat kami mati, kami akan dihukum bertahun-tahun kemudian diberi pilihan. Menjadi Malaikat Maut dan bersumpah tidak akan melanggar aturan, atau dilenyapkan.”

Aku menjilat sudut bibir gugup. Tidak ada kata-kata yang keluar di kepalaku.

“Sekalipun kami memilih menjadi Malaikat Maut, rasanya tetap seperti hukuman. Semakin lama kami hidup sebagai manusia, semakin menyakitkan bagi kita untuk mengambil nyawa orang-orang itu. Semakin dekat kita dengan manusia, semakin menyakitkan saat mengambil nyawanya.” Dia tersenyum miring. “Kehidupan memang selalu menyakitkan. Kalau kau ingin Daniel melewati itu juga, terserah padamu. Tetapi, menjadi manusia sekarang akan membuatnya seperti berlian emas yang berkilau. Semua makhluk menginginkannya. Menjadi manusia yang seharusnya tak pernah ada berarti memiliki fisik lemah yang bisa dimanfaatkan makhluk supernatural lain. Vampir akan sangat kuat dengan meminum darahnya. Dan dia bisa merobek gerbang negeri orang mati bila menginginkannya. Karena itulah, kami harus segera membawanya kembali. Terima kasih untuk seseorang yang melarangku melakukannya.”

Aku tahu Luc ingin menutupi kesedihannya dengan bersikap kurang ajar. Dia selalu begitu, tetapi matanya yang semerah darah itu tidak bisa berbohong, sebaik apa pun dia mencoba menyembunyikannya di balik seringai miring menyebalkannya.

“Dan kau juga melaluinya. Seluruh hukuman itu. Kau juga mencabut nyawa-nyawa manusia. Melihat mereka sekarang di sepanjang hidupmu. Apa kau tetap kesulitan menghadapinya?”

Luc tersenyum kejam. “Waktu itu sudah lama berlalu.”

Akan tetapi, rasa sakit itu tidak pernah hilang hingga sekarang, itulah yang dikatakan matanya. Atau begitulah menurutku.

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status