Jenar memutar tubuhnya satu kali dengan gerakan tangan yang begitu indah. Ia merasa sudah begitu siap untuk melakukan serangan pamungkas. Tusuk konde emas sudah cukup lama berputar-putar di atas kepala. Benda itu seolah mengumpulkan energi untuk menghunjam dengan kekuatan penuh.“Aku memang mencintaimu, tapi bukan berarti aku tak akan membunuhmu! Sudah cukup menyakitiku dengan berbagi cinta dengan Rara Anjani. Kau tak akan kubiarkan hidup jika menyakiti putraku!”Tatap nyalang Jenar mengawali hentakan kaki dan gerakan tangan tegas mengarah pada suaminya. Sementara Arya masih menutup mata. Ada seutas senyum di sudut bibir lelaki itu. Ia memang tak melihat. Namun datangnya energi besar dan cepat itu dapat ia deteksi dengan begitu gamblang.Tepat sebelum tusuk konde emas itu menghujam keningnya, Arya mengatupkan kedua telapak tangan di kening sembari menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya tertarik oleh gravitasi dan membawanya masuk ke dalam jurang gelap itu. Lelaki itu mampu menangk
“Dimana Arya, Jenar?” tanya Rara Anjani kepada madunya itu.Jenar tak menyahut sedikit pun. Perempuan itu duduk terpaku di dalam kereta yang ditarik empat ekor kuda dalam pengawalan empat prajurit. Mereka disambut oleh Senopati Jatiwungu dan satu peleton pasukan berkuda Astagina.“Jenar!” pekik Rara Anjani mengiringi langkah kereta kuda itu. Sedang Jenar sama sekali tak menoleh pada istri kedua suaminya itu.“Gusti,” hormat Senopati Jatiwungu pada rajanya yang tampak berbeda.Jenar menoleh dengan tatap mata tajamnya. “Mengapa kau di sini, Senopati?” tanyanya.“Ampun, Gusti. Patih Danapati meminta hamba untuk membawa pasukan ke mari,” jawab Senopati Jatiwungu sembari terus mengiringi kereta kuda rajanya.“Kembali lah! Kau tak diperlukan di sini!” titah Jenar dingin.“Sendika, Gusti!” sahut Senopati Jatiwungu cepat. Lelaki itu segera menghentikan langkahnya dan kembali ke rombongan pasukan berkuda pimpinannya.“Jenar! Dimana Arya?” Rara Anjani mencoba mendapatkan jawaban sekali lagi. Ia
“Dimana ini, Kakek Legawa?” tanya Aruna begitu ia, Legawa dan Ki Bayanaka tiba di sebuah kumpulan bangunan dari bambu.“Selamat datang di Rakajiwa, Pangeran Aruna,” ucap Legawa setelah menyelesaikan Lembat Brabat-nya.“Kakek, mohon jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku sudah sepakat dengan Ki Bayanaka untuk tak lagi mengenakan gelar itu di depan namaku,” pinta Aruna sekilas melirik Ki Bayanaka.Legawa tersenyum lembut. Ia memandang Ki Bayanaka yang tampak memperhatikan sekitar padepokan sembari mengusap janggutnya. Pria tua bertoya itu mengangguk tanda setuju. Itu memang sudah menjadi kesepakatannya dengan Aruna agar putra Arya dan Jenar itu mau ikut dengannya.“Baik lah. Namun boleh kah kau memanggilku dengan Ki saja? Aku merasa berada di istana dengan panggilan Kakek,” pinta Legawa setengah tersenyum.“Tentu saja, Ki,” sahut Aruna dengan senyum merekah. “Lantas, apakah aku akan tinggal di sini? Bukan kah Rakajiwa sudah lama hancur?”“Ya, kita akan tinggal di sini, Aruna. Rakaj
Aruna menghampiri jasad kakeknya yang kembali diletakkan di atas balai bambu oleh orang-orang Baka Nirdaya. Wajah teduh pria paruh baya itu terlihat begitu tenang. Bibirnya memucat, beberapa titik kulit wajah tampak membiru. Pangeran Astagina itu terus berusaha menahan tangis yang kembali terpacu oleh keharuan orang-orang di padepokan ini.“Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Ki Bayanaka.“Kakek dan ayahanda selalu mengatakan bahwa kami memiliki unsur pembentuk api dalam darah,” ucap Aruna sembari menyingkap kain yang menutup tubuh Sanggageni.“Lantas?” Ki Bayanaka penasaran.“Bukan kah manusia berasal dari tanah?” tanya Aruna sambil terus memperhatikan seluruh tubuh kakeknya, terutama pada bagian jantung.“Ya, benar!”“Entah mengapa aku yakin bila seseorang mati maka dia akan kembali menjadi tanah seperti asalnya,” jawab Aruna sama sekali tak memperhatikan lawan bicaranya.“Lantas?” tanya Ki Bayanaka lagi.“Unsur penyusun api itu, Ki. Meski sudah berada dalam tubuh sejak lahir, ia te
“Apa yang harus aku perbuat dengan benda ini, Ki?” tanya Aruna pada Ki Bayanaka, sosok paling senior di padepokan kini.“Simpan lah. Aku tak tahu apa kah berguna atau tidak. Tapi mustika itu berasal dari tubuh kakekmu. Selain kau dan Arya tak ada yang lebih berhak untuk menyimpannya,” jawab Ki Bayanaka bijak.Aruna mengangguk tanda setuju. Pemuda itu menggenggam kembali Mustika Api dari tubuh kakeknya itu. Ia menyambut uluran tangan Legawa untuk dapat berdiri dan memulai prosesi pemakaman Sanggageni.“Perdana!” panggil Legawa. Seorang pemuda lebih tua sedikit dari Aruna muncul dari kerumunan yang nyaris tak mampu dibedakan.“Ya, Guru,” sahut pemuda bernama Perdana itu.“Antarkan Aruna ke bilikmu. Kalian akan menjadi teman satu bilik. Sementara berikan dia pakaianmu. Setelah itu segera bergabung untuk mengurus pemakaman Tuan Sanggageni!” titah Legawa.“Baik, Guru!” sahut pemuda itu dengan penuh hormat. “Mari, Tuan Aruna.”Perdana mempersilahkan Aruna untuk mengikutinya. Sebuah gestur p
“Apa yang terjadi, Jenar?” tanya Patih Danapati begitu raja Astagina itu tiba di istana.Jenar tak menjawab. Perempuan itu terus berjalan cepat menuju istananya diiringi dua pengawal dan beberapa pelayan. Patih Danapati ikut mengekorinya hingga sampai di ambang gerbang istana raja.“Kau tanyakan saja pada Jatiwungu, dia mengetahui semuanya,” ucap Jenar dingin. Perempuan itu segera masuk dan meminta penjaga untuk menutup pintu sekaligus mencegah Patih Danapati untuk masuk.Patih Danapati tertegun. Pasti sudah terjadi peristiwa besar hingga Jenar bersikap demikian. Sekacau-kacaunya ia memimpin kerajaan sebesar Astagina, ia tak pernah begitu acuh dan dingin kepada orang yang lebih tua meski semua bawahannya.Lelaki bertubuh tegap dengan tato di lengan kiri itu beranjak dari istana raja. Tujuannya hanya satu, mencari informasi sebanyak-banyaknya kepada Senopati Jatiwungu. Ia juga tak melihat Putra Mahkota dan kedua penasihat raja. Padahal mereka pergi dari istana bersama-sama dua hari lal
“BRAKK! Jenar menghantam meja di hadapannya hingga terbelah menjadi dua. Patih Danapati dan Senopati Jatiwungu terhenyak. Tak pernah mereka mendapati rajanya sedemikian marah. Kedua mata Jenar dipenuhi emosi yang meledak-ledak. Wajah cantiknya memang masih terlihat, namun ada senggurat kebencian dan dendam di sana. “Apa sudah kau lakukan sesuai perintahku, Jatiwungu?” bentak Jenar. “Ampun, Gusti, kami sudah mencari di dasar jurang itu. Bahkan dua orang prajurit menjadi korban karena terperosok saat mencoba naik ke permukaan,” lapor Senopati Jatiwungu. “Persetan dengan prajurit itu! Aku yakin Arya masih hidup. Tusuk konde emasku tak kembali dan api Cundhamani di istana tak kunjung padam!” ketus Jenar. Baginya lebih baik Arya mati di hadapannya dari pada tak memberi kepastian seperti ini. “Jenar, mohon dimengerti. Medan pencarian teramat sulit dan memang suamimu tak bisa ditemukan,” ucap Patih Danapati mencoba membuat emosi Jenar mereda. Jenar menatap sinis Patih Danapati. Di istan
Aruna berjongkok di sisi pusara kakeknya. Sudah tiga purnama sejak kejadian naas itu dan ia masih tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Kematian kakeknya bermula dari ketidakmampuannya mengendalikan diri hingga menewaskan Kertajaya, kakeknya dari ibunda Rara Anjani. Sebelumnya pemuda itu sudah melukai ayundanya dan mungkin luka itu akan terus disandang Rara Sati seumur hidup.Pemuda itu membersihkan dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di makam Sanggageni. Hal yang selalu ia lakukan acap kali berkunjung. Tiada bakti yang sempat Aruna persembahkan kepada mantan pimpinan Baka Nirdaya itu semasa hidup.“Kakekmu pasti senang selalu kau kunjungi, Aruna,” suara berat pria tua menghentikan lamunan Aruna.“Guru....”“Aku sudah menceritakan semua tentang kakekmu. Beliau nyaris tak punya kekurangan. Hal tentangnya hanya keberanian dan panutan,” ucap Legawa setelah berjongkok pula di sebelah muridnya itu.“Ya, tidak seperti aku, Guru. Aku lah penyebab tak langsung kematian kakek,” ucap Aruna penu