SANG surya masih malu-malu menampakkan diri di kaki langit sebelah timur. Embun masih menempel di ujung-ujung dedaunan, bersama kabut yang belum sepenuhnya sirna dari udara pagi. Suasana yang masih cocok untuk tidur berselimut tebal. Namun Kridapala justru belum memicingkan mata sejak tadi malam. Selepas menerima perintah dari Rakryan Tumenggung, bekel tersebut langsung sibuk mempersiapkan pasukannya. Ini jadi kali pertama Kridapala mendapat penugasan sejak rencana busuk Senopati Arya Agreswara terungkap. Bahkan kali pertama pula ia kembali menginjakkan kaki ke jeron beteng istana. Kridapala sungguh beruntung sekali. Tak satupun yang mengendus keterlibatan dirinya dalam persekongkolan jahat rancangan Agreswara. Jika tidak, tentulah ia sudah dipancung di alun-alun sebagaimana anggota komplotan lain. "Ke mana kita akan mulai melakukan pencarian, Ki Bekel?" tanya Widarpa kepada Kridapala yang tampak termenung memandangi barisan prajurit di hadapannya. Widarpa adalah salah satu lurah
KRIDAPALA memungut seragam prajurit di balik semak-semak. Dengan kening masih mengernyit, dia memerhatikan benda tersebut dengan seksama. Sementara berbagai dugaan berkelebatan di kepala. "Seragam siapa ini?" desis Kridapala, seraya menjembreng pakaian di tangannya. Ada setidaknya tiga lubang pada seragam prajurit tersebut. Satu di bagian samping dan dua lagi di punggung. Ukuran ketiga lubang sama persis. Sepertinya ketiga lubang itu bekas tusukan anak panah, sebab di sekelilingnya terdapat noda darah yang telah mengering. Artinya, prajurit pemilik seragam itu terkena lesatan anak panah dan terluka. Jika menilik letak lubang pada bagian punggung seragam, itu artinya si prajurit dibokong dari belakang. Bisa dipastikan luka yang diterima prajurit tersebut sangat parah, bahkan boleh jadi menyebabkannya tewas di tempat. "Apa maksudnya ini? Mengapa ada pengawal Gusti Puteri yang merasa perlu melepas seragamnya dan meninggalkannya di sini?" gumam Kridapala, masih dengan kening berkerut.
DARI dua orang di dalam ruang tahanan, Senopati Arya Lembana yang paling kaget. Parasnya sontak berubah begitu sosok yang berucap tadi muncul. Benar, dialah Rakryan Tumenggung."G-Gusti Tumenggung?" ucap Arya Lembana tergagap, sembari cepat-cepat berdiri.Sedangkan Kridapala menyeringai lebar. Kini sang bekel berada di atas angin. Jika saat menemukan seragam prajurit di balik semak-semak tadi dia sekadar menaruh dugaan, kini niat jahatnya muncul.Sejak peristiwa perampasan upeti dari Wurawan beberapa purnama lampau, Kridapala memang menaruh dendam pada Arya Lembana. Dia selalu mencari-cari kesempatan untuk membuat celaka atasannya sendiri.Itu sebab Kridapala menerima ajakan Arya Agreswara untuk merong-rong wibawa kerajaan. Namun ternyata rencana busuk itu dibongkar oleh Tumanggala. Melihat kesempatan kini datang padanya, tentu Kridapala tak mau melepasnya begitu saja."Di mana kau temukan seragam itu?" tanya Rakryan Tumenggung yang sudah berdiri menjajari Kridapala. Telunjuknya terar
TAHU rencananya berhasil dan Rakryan Tumenggung termakan hasutan, Kridapala semakin berani saja. Tepat saat mereka tiba di ujung tangga, bekel tersebut menghentikan langkah sang panglima. "Mohon ampunkan jika dianggap bersikap lancang, Gusti Tumenggung," ujar Kridapala, sembari memberi sembah, "tetapi saya tengah bertanya-tanya, siapa kiranya yang akan Gusti Tumenggung perintahkan untuk mencari dan mengejar Tumanggala?" Rakryan Tumenggung langsung menatap tajam pada Kridapala. "Mengapa kau ingin tahu, Ki Bekel?" "Sekali lagi saya mohon ampun, Gusti ..." Kridapala kembali memberi sembah hormat. "Jika Gusti Tumenggung belum menentukan, saya bermaksud mengajukan diri untuk tugas itu." "Hmm...." Rakryan Tumenggung mengusap-usap dagu dengan tangan kiri, sementara tangan satunya bersedekap di depan dada. Sepasang matanya masih menatap tajam pada Kridapala. Seolah bermaksud menyelidiki apa sebenarnya niatan bekel tersebut. Melihat Rakryan Tumenggung seperti ragu-ragu, buru-buru Kridapal
SANG surya baru setinggi galah. Langit biru cerah, meski beberapa gumpal besar mega putih menggantung di angkasa. Angin semilir bertiup dari selatan, mengantar angin laut yang lembab dari pesisir nun jauh. Di jalan tanah sepanjang sisi selatan Bengawan Sigarada, sepasang anak muda berboncengan menunggang seekor kuda. Langkah hewan yang mereka tunggangi tidak terlalu kencang juga tidak terlalu lamban. Penunggang kuda laki-laki berwajah cakap dengan tubuh tegap lagi kekar. Sedangkan yang perempuan berwajah bulat telur nan ayu dengan rambut sehitam jelaga, terjuntai lurus hingga ke pinggang. "Kau tidak sadar jika sedari tadi kita jadi pusat perhatian orang-orang, Kakang?" ucap penunggang kuda perempuan yang duduk di depan. Sambil berkata demikian, perempuan itu menoleh ke belakang untuk menatap lawan bicara. Rambut panjangnya seketika terlempar, ujungnya mengenai wajah dan dada penunggang kuda laki-laki. "Abaikan saja, Kara," sahut penunggung kuda laki-laki. Dadanya yang terkena kele
BEGITU keluar dari tembok istana, Kridapala langsung mengarahkan kudanya ke pinggiran Kotaraja. Menyusuri jalan tanah berdebu yang semakin jauh ke arah luar Kotaraja semakin jarang rumah. Tiba di sebuah perkebunan sayur-mayur nan luas, Kridapala memperlambat laju kuda tunggangannya. Sepasang mata bekel kerajaan itu menatap sepanjang kiri-kanan jalan dengan sorot tajam, seperti tengah mencari-cari sesuatu. "Ah, pasti itu tempatnya!" seru Kridapala perlahan saat melihat satu-satunya rumah dalam luasan perkebunan. Rumah itu sangat sederhana, khas kediaman rakyat jelata di Kerajaan Panjalu. Dindingnya berupa geribik, dengan tiang-tiang penyangga berupa lonjoran kayu bulat utuh. Anyaman daun nipah lebar-lebar menjadi atap. Kridapala menyentak tali kekang kuda, mengarahkan hewan tunggangannya itu masuk ke halaman rumah. Setelah mengamat-amati keadaan rumah sejenak, bekel kerajaan itu melompat turun. "Siapa di luar?" Satu suara berat dari dalam rumah menyambut kedatangan Kridapala. Diiri
KRIDAPALA langsung melanjutkan perjalanan setelah urusan dengan Sudawarman selesai. Bekel kerajaan itu pergi dengan wajah menyunggingkan seringai bercampur senyuman. Bertambah sudah kekuatannya untuk membalaskan dendam pada Tumanggala. Dari balik rumpun bambu di mana dirinya dan Sudawarman berbicara, Kridapala langsung mengambil jalan pintas ke perbatasan Kotaraja. Tujuan selanjutnya adalah mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh Triguna padanya kemarin. Sayang, bagaimanapun hati-hatinya Kridapala, tanpa ia sadari seorang lelaki muda membuntutinya sejak keluar dari tembok istana tadi. Si penguntit membuntuti dalam jarak aman, sehingga bekel tersebut benar-benar tidak sadar. Penguntit itu memang sempat kehilangan jejak saat Kridapala menemui Sudawarman. Namun begitu Kridapala keluar dari persembunyiannya dan menuju perbatasan Kotaraja, lelaki muda itu kembali membuntuti di belakang. Suiiiittt! Belum terlalu jauh meninggalkan perbatasan Kotaraja, tiba-tiba saja Kridapala mendengar s
SEPANJANG pagi itu Senopati Arya Lembana mondar-mandir di dalam ruang tahanannya. Lama ia berpikir-pikir bagaimana caranya untuk menemui Ganaseta dan meminta keterangan. Otaknya serasa buntu,Yang jelas sejak teringat pada Ganaseta, sang senopati yakin betul perampok tersebut dapat memberi keterangan berharga. Sebagai sesama penjahat biasanya saling mengenali.Tinggal tunjukkan saja anak panah yang dipakai gerombolan penculik itu, yang beberapa di antaranya masih menancap di jasad para pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana. Arya Lembana sempat menyerahkan anak panah itu pada Rakryan Tumenggung sebagai bukti, juga kepada Rakryan Rangga."Tapi bagaimana caranya aku menemui Ganaseta? Tak mungkin aku keluar dari kurungan sialan ini!" desis Arya Lembana kebingungan.Seakan mendapat restu dari semesta, di kala sang senopati tengah kebingungan sendiri seperti itu terdengar suara berisik dari pintu. Agaknya gembok pada daun pintu besi itu tengah dibuka."Siapa...?"Belum sempat Arya Lembana menu