"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
SENJA menjelang manakala kesunyian di sepanjang tepian Bengawan Sigarada pecah. Suara keteplak ladam dan ringkikan kuda seketika memenuhi udara. Burung-burung yang hinggap pada pucuk-pucuk perdu rendah kaget, lalu terbang berserabutan ke langit. Serombongan prajurit berkuda tampak melaju di jalan tanah tak jauh dari tepi sungai. Diiringi kepulan debu tebal di belakang mereka. "Heeyyaa! Heeyyaa!" teriak para prajurit menggebah kuda masing-masing. Rombongan itu berderap dalam kecepatan sedang. Mereka mengiringkan satu kereta kuda berhias bagus. Dari bentuk ukiran serta hiasan-hiasan di sekujur badannya, mudah dikenali jika kendaraan tersebut merupakan kereta istana. Artinya, siapa pun yang berada di dalam kereta pastilah kerabat dekat raja. Ini dapat terlihat pula dari banyaknya prajurit yang mengawal. Berjumlah tak kurang dari dua puluh orang. Dibagi dalam dua kelompok, masing-masing sepuluh di depan dan sepuluh di belakang. Namun ada keanehan. Tak lama setelahnya terlihat pula sek
TUMANGGALA baru saja mencapai deretan kuda-kuda penarik kereta saat tiba-tiba saja telinganya mendengar satu bentakan keras dari arah depan. Disusul munculnya beberapa sosok tubuh dari balik semak-semak di kanan-kiri jalan. "Berhenti!" Seruan itu terdengar menggelegar, bak hantaman petir di siang bolong. Seluruh anggota rombongan pengawal Dyah Wedasri Kusumabuwana sontak kaget. Dari tempatnya berada Tumanggala dapat menyaksikan Ki Bekel Wikutama langsung menarik tali kekang kuda. Kusir tua yang mengendalikan kereta tak kalah kaget. Untung saja lelaki itu sudah berpengalaman. Dalam sekali gerak saja ia berhasil menghentikan empat ekor kuda penarik kendaraan yang membawa junjungannya. Jika tidak, pastilah hewan-hewan yang kaget tersebut bakal menyeruduk para prajurit di depan. Tumanggala mendengar jeritan perempuan dari dalam kereta. Naluri kelelakiannya mendorong agar ia mendekati kendaraan tersebut. Namun sang arya memilih terus menuju ke arah Ki Bekel Wikutama. "Jagad dewa bathar
TUMANGGALA sempat dibuat bingung melihat Ki Bekel Wikutama malah menyerang musuh. Bukankah tadi atasannya itu sudah membagi tugas? Dan menghadapi keempat lelaki bercadar di hadapan mereka menjadi tanggung jawab Tumanggala. Amarah yang membuncah agaknya membuat sang bekel lupa pada segala-galanya. Termasuk ucapannya sendiri. Alih-alih menunggu lawan melakukan serangan, lelaki tersebut justru terlebih dahulu menyerbu. Namun sudah terlanjur. Serangan Ki Bekel Wikutama sedikit lagi sampai. Maka Tumanggala cepat mengambil tindakan. Ia pun memberi isyarat tangan pada Wyara, meminta sahabatnya itu untuk mengamankan kereta. "Lindungi kereta! Mereka menginginkan yang kita bawa!" seru Tumanggala. Sengaja ia mengatakan ‘yang kita bawa’ agar tidak tegas-tegas menyebut nama Dyah Wedasri yang tengah diincar para pengadang. Wyara cepat mengangguk, lalu tampak memberi perintah pada beberapa prajurit lain. Mereka memusatkan kekuatan di sekitar pintu kereta. Sementara serangan Ki Bekel Wikutama k
SUARA-suara jeritan yang saling susul membuat suasana bertambah mencekam. Lebih-lebih bagi dua perempuan di dalam kereta. Pelukan Dyah Wedasri Kusumabuwana pada simbok emban semakin erat saja. Di kaki langit sebelah barat, matahari telah berubah menjadi bulatan jingga nan sempurna. Siap berlabuh di peraduannya. Gelap sebentar lagi datang. Sementara pertarungan berlangsung semakin tak seimbang. Para prajurit Panjalu boleh saja masih unggul dalam jumlah. Tapi kemampuan rata-rata mereka nyata sekali berada di bawah lelaki bercadar. Alhasil, dikeroyok dua-tiga pun tidak menyulitkan bagi komplotan pengadang. Crasss! Crasss! “Aaaaaaa!” Dua lagi prajurit Panjalu di sebelah belakang kereta roboh ke tanah. Luka lebar tampak menganga di dada dan perut mereka. Darah segera saja membasahi sekujur tubuh keduanya, lalu mengalir turun ke permukaan tanah. Kini jumlah pasukan pengawal kereta tinggal sepuluh orang. Empat di depan menghadapi tiga lawan, enam lagi di belakang menghadapi empat orang.
KAGET Tumanggala bukan alang kepalang. Pedangnya yang nyaris menghabisi lawan dibuat mental oleh sabetan sebilah golok. Diiringi suara berdentrang nyaring menusuk telinga. Belum usai kekagetan Tumanggala, dua sosok hitam sudah muncul di hadapannya. Lalu dua bilah golok terayun, mengancam dada dan lehernya sekaligus! “Mati kau, prajurit keparat!” bentak salah seorang dari dua lelaki bercadar sembari ayunkan golok. Tumanggala tak sempat berpikir lebih jauh. Tanpa senjata di tangan, ia memilih melompat menghindar. Namun lawan tak memberinya kesempatan. Belum lagi kakinya kembali menjejak tanah, dua lelaki di hadapannya sudah menyambut. Wuuuttt! Wuuttt! Suara menderu dahsyat mengiringi sambaran dua golok. Tumanggala menggeram marah. Ia tak mau kakinya buntung kena babat. Tapi keadaan dirinya tidak memungkinkan untuk bergerak menghindari serangan. “Bedebah!” Tumanggala hanya dapat memaki geram. Ia pasrah pada apa pun yang bakal menimpa. Tapi alih-alih merasakan tajamnya sambaran golo
DUA pekan berlalu sejak kematian Agreswara di tangan algojo istana. Pihak-pihak yang selama ini mencurigai niat busuk bekas senopati itu menyambut tindakan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya dengan suka cita. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya terkait dengan rencana jahat senopati tersebut menjadi ketar-ketir. Salah satu di antaranya adalah Kridapala. Sejak Agreswara dipenggal di alun-alun, bekel paruh baya itu tak berani menampakkan diri. Ia lebih banyak mengurung diri di rumah. Belum sekali pun ia menginjakkan kaki ke istana lagi. Juga ke kediaman Senopati Arya Lembana, karena dalam dua pekan ini dirinya belum pernah mendapatkan penugasan. "Untung saja Wipaksa dan Ranajaya juga sudah modar di tangan Tumanggala. Jadi tak akan ada yang bisa memberi kesaksian kalau aku terlibat dalam rencana senopati gemuk sialan itu," desis Kridapala, lalu mendesah panjang. Saat itu si bekel tengah termangu-mangu di halaman belakang rumah. Kegiatan yang sejak dua pekan terakhir lebih seri