KRIDAPALA tersentak. Benar-benar kaget mendengar penuturan Triguna barusan. Ia jadi berpikir Triguna agaknya sudah lupa siapa Dyah Wedasri, sampai-sampai berani menculik puteri Panjalu tersebut.
"Kau sepertinya terkejut, Ki Bekel?" tanya Triguna sembari tersenyum lebar. Satu senyum puas karena berhasil mengagetkan Kridapala.
"Kau sudah gila, Triguna!" desis Kridapala sembari geleng-gelengkan kepala. "Kau tentu tahu Dyah Wedasri salah satu putri kesayangan Gusti Prabu. Kau baru saja mencari mati karena telah berani-berani menculiknya!"
Triguna malah tertawa mendengar ucapan bekas atasannya tersebut.
"Singkirkan jauh-jauh kekhawatiranmu itu, Ki Bekel. Kalau memang ada yang bakal mati sebagai buntut dari penculikan Dyah Wedasri, aku yakinkan padamu orang itu bukanlah aku. Tapi Tumanggala!" sahut Triguna dengan penuh percaya diri.
Kridapala masih geleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar tak percaya ada seorang buronan kerajaan berani berlaku seneka
Agar tidak bingung dengan nama-nama yang disebutkan dalam kisah ini, juga siapa saja mereka, ada baiknya untuk membaca kisah sebelumnya: ARYA TUMANGGALA; PEMBALASAN SANG PRAJURIT.
ISTANA Dahanapura dilanda kegemparan. Kabar mengenai penyerangan yang dialami rombongan Dyah Wedasri Kusumabuwana sampai di telinga para pembesar kerajaan petang itu juga.Adalah kusir kereta kencana yang membawa kabar buruk ke istana. Sebelumnya, lelaki tua tersebut langsung bersembunyi di balik semak-semak saat pertarungan pecah. Ia tak mau mendapat luka, apalagi sampai mati konyol terkena serangan nyasar.Begitu melihat komplotan lelaki bercadar yang mengadang berada di atas angin, tanpa berpikir panjang lagi si kusir melarikan diri ke Kotaraja. Beruntung para pengadang tidak mengetahui pelariannya. Jika tidak, bisa-bisa kusir itu sudah tewas dengan punggung tertancap anak panah.Si kusir tua benar-benar berlari menuju Kotaraja. Sampai akhirnya ia bertemu sebuah pedati yang berbaik hati mau mengantar hingga ke kediaman Senopati Arya Lembana."Apa yang terjadi?" tanya Arya Lembana begitu si kusir tua dihadapkan padanya. Rona kecemasan tampak jelas pada
MESKI Rakryan Rangga dan Senopati Arya Lembana sudah sejak tadi-tadi pergi, Rakryan Tumenggung masih duduk termenung di tempatnya. Dalam diam sang panglima kerajaan tengah berpikir-pikir apa yang sebaiknya ia lakukan. Sama halnya Rakryan Rangga dan Arya Lembana, Rakryan Tumenggung sangat mengkhawatirkan murka dari Sri Prabu Jayabhaya. Karena itu sempat tebersit di kepalanya untuk menyimpan rapat-rapat kabar ini. Jangan sampai sang raja dan siapa pun tahu. Namun, cepat atau lambat berita ini tentu akan menyebar juga. Pada akhirnya Sri Prabu Jayabhaya bakal tahu. Terlebih Dyah Wedasri seharusnya sudah tiba di istana sebelum gelap. Pastilah timbul pertanyaan jika sampai semalam ini sang puteri belum kembali. "Kalau sampai Sri Prabu tahu apa yang terjadi pada Gusti Putri dari orang lain, bukan dariku, bisa-bisa kemarahannya akan jauh lebih besar lagi," pikir Rakryan Tumenggung kemudian. Hatinya jadi bimbang luar biasa. Setelah menghela napas panjang, Rakr
MALAM sudah larut ketika pasukan yang dikirim untuk memeriksa tempat diadangnya rombongan Dyah Wedasri kembali. Suasana Kotaraja Daha yang sepi mendadak ramai oleh suara keteplak ladam kuda serta gemuruh roda kereta dan gerobak. Senopati Arya Lembana memimpin sendiri pasukan tersebut. Rombongan berkekuatan dua lusin prajurit itu melambatkan laju kuda-kuda mereka saat mendekati pintu gerbang istana. Prajurit penjaga gerbang buru-buru membukakan regol. Wajah lelah Arya Lembana tampak tegang saat membawa pasukan tersebut memasuki kawasan jerong beteng. "Kita menuju ke alun-alun!" perintah Arya Lembana. Suaranya lantang menggelegar, memecah heningnya suasana malam. Alun-alun yang dituju berjarak sekitar 110 depa (kisaran 200-an meter) dari gerbang istana. Begitu tiba di
PARAS Rakryan Rangga dan Senopati Arya Lembana langsung berubah. Kedua perwira sama-sama mengernyit keheranan. Mereka berharap telah salah mendengar ucapan Rakryan Tumenggung tadi. "G-Gusti Tumenggung, mohon maaf sebelumnya, apakah ini tidak salah?" Arya Lembana memberanikan diri bertanya. Biar bagaimana pun sang senopati tak rela melihat Tumanggala, salah satu prajurit terbaik dalam pasukannya, dipenggal begitu saja. Sementara belum tentu terbukti prajurit tersebut lalai dalam menjalankan tugas pengawalan. Rakryan Tumenggung menampakkan wajah muram. Panglima Panjalu itu juga sebetulnya merasa ragu-ragu hendak menjalankan titah Sri Prabu Jayabhaya. Terlebih ia tahu titah tersebut dikeluarkan dalam keadaan dikuasai amarah. Namun setiap ucapan raja adalah sebuah hukum. Berani melawan sama saja minta mati. Lagi pula, sebagai seorang panglima Rakryan Tumenggung berkewajiban menegakkan wibawa raja. Maka, tidak ada pilihan lain baginya kecuali bersikap patuh. "Lembana, aku tahu apa yang
HAWA pengap langsung menyergap manakala Tumanggala dan yang lain-lain dibawa memasuk ke ruangan tahanan bawah tanah. Suasana sangat hening di dalam sana, sampai-sampai langkah kaki mereka saat menuruni undak-undakan tangga terdengar sangat jelas.Begitu tiba di ujung tangga, deretan ruang-ruang tahanan menyambut mereka. Tidak ada orang hukuman yang sedang ditahan. Karena itu tidak terlihat satu pun prajurit yang berjaga-jaga di sana.Rakryan Tumenggung menghentikan langkahnya di tengah-tengah ruangan. Semua orang di belakangnya ikut berhenti pula. Semua diam menanti perintah dari panglima Kerajaan Panjalu itu."Jebloskan mereka semua ke dalam ruang tahanan," ujar Rakryan Tumenggung kemudian, sembari berbalik badan.Para prajurit yang tengah memegangi lima pengawal Dyah W
ARYA Lembana mengembuskan napas dengan kesal mendengar penolakan Tumanggala. Sepasang tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Tampak agak bergetar karena menahan amarah yang tiba-tiba saja merambat naik.Sang senopati jadi ingat cerita Wyara dulu. Sikap keras kepala seperti ini pulalah yang sempat membawaTumanggala pada keadaan bahaya. Membuat prajurit Panjalu tersebut hampir meregang nyawa dikeroyok Ranajaya dan komplotannya di Gua Lawendra."Tumanggala, kalau saja bukan kau yang bersikap semenyebalkan ini, pastilah sudah aku kepruk batok kepalamu itu," geram Arya Lembana dengan suara bergetar.Yang diajak bicara tahu atasannya tidak senang dengan sikapnya. Ia lantas berlutut dan menyatukan kedua telapak tangan di atas kepala. Sementara kepalanya menunduk dalam-dalam."M
PARA prajurit yang baru keluar dari dalam tembok langsung menyebar. Para pembawa obor di sebelah depan, sedangkan prajurit bersenjata di bagian belakang. Derap langkah mereka yang berlari cepat terdengar sampai jauh.Di balik sebatang pohon besar, paras Arya Lembana langsung berubah mendengar seruan tersebut. Ia mengenali siapa pemilik suara tadi. Itu adalah Rakryan Tumenggung!"Gawat! Aku dan lima prajurit ini tidak boleh sampai tertangkap oleh mereka!" desis Arya Lembana dengan dada berdebar-debar."Gusti, para prajurit itu sepertinya memburu kita. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Tumanggala setengah berbisik."Kita harus segera menjauh dari tempat ini. Mereka tidak boleh mencium keberadaan kita di sini. Sekali kita tertangkap, bisa gawat!" sahut Arya Lembana, seray
REMBULAN berada di puncak langit malam manakala Tumanggala dan Wyara tiba di kediaman Rakryan Rangga. Kedatangan mereka disambut dengan hunusan tombak oleh setengah lusin prajurit yang berjaga-jaga di gerbang paduraksa. "Siapa kalian? Mau apa malam-malam datang kemari?" bentak salah satu dari enam prajurit jaga. Sorot matanya menyiratkan kecurigaan. Tumanggala hampir saja menyebutkan siapa dirinya dan Wyara, tetapi segera ia urungkan niat tersebut. Pada pikirnya, tak ada guna menyebutkan nama. Lebih baik langsung menyebutkan apa keperluannya datang kemari. "Maafkan kami, Prajurit. Kami hanya menjalankan perintah. Kami berdua datang kemari atas perintah Gusti Senopati Arya Lembana," sahut Tumanggala kemudian. Prajurit jaga yang membentak tadi memandangi lima rekannya. Mereka sama-sama tahu jika antara Rakryan Rangga dan Arya Lembana terjalin hubungan yang sangat dekat sebagai atasan dan bawahan. Namun demikian, tentu saja para prajurit jaga tahu mereka tidak boleh bersikap gegabah.