Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan.
"Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara.
"Iya, Pak."
Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana.
"Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."
Doni tercengang. 'Lagi? Apakah kehadiran Rara belum juga menyadarkan bos-nya itu jika kondisi perusahaan yang ia pimpin sedang di ujung tanduk?'
"Pak...."
"Tidak usah membantah. Lakukan saja." Raka mengalihkan tatapannya dari Doni. Wajah Rara saat berbincang dengan Doni yang tertangkap olehnya di layar laptop, kembali membuat emosinya tersulut.
'Mengapa gadis itu masih bisa tertawa? Apakah penolakan yang ia lakukan tadi sama sekali tidak membuatnya menyerah?' Raka kini mengambil pena dan secarik kertas. Ia menuliskan beberapa kalimat.
"Berikan ini pada gadis itu. Dan katakan padanya, aku harus sudah menggunakan laptop itu dua jam lagi. Jangan sampai melewati batas waktu yang sudah aku berikan!"
'Mari kita lihat. Siapa yang akan menyerah lebih dulu?' Senyum penuh misteri Raka membuat Doni mengkhawatirkan Rara. Apakah gadis itu sanggup menghadapi Raka?
"Baik, Pak."
"Ya sudah. Pergi sana!. Ingat pesanku tadi."
Doni mengangguk kemudian berjalan mundur dan memutar tubuhnya, berjalan keluar meninggalkan ruangan Raka. Ia berjalan cepat. Ia belum menyimpan nomor Rara, dan saat ini ia tidak tahu sedang ada di mana gadis itu. Jika sampai ia terlambat menemukan Rara, maka gadis itu akan mendapatkan masalah.
Dengan setengah berlari, Doni berjalan menuju ruang keamanan untuk mengetahui Rara lewat kamera cctv yang ada di semua ruang di gedung ini.
"Tampilkan padaku semua ruangan sekarang juga." Perintahnya terucap seiring dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Ia berpacu dengan waktu. Setidaknya, ia harus membantu Rara. Jangan sampai gadis itu mendapat masalah baru.
Doni meneliti setiap bagian gedung itu, mencari sosok Rara. Lebih dari lima menit Doni akhirnya berhasil menemukan Rara yang kala itu baru saja berhenti di depan lift lantai lima. Ia bergegas keluar dari ruang operator keamanan, menuju ke lantai empat. Ia memilih untuk menunggu Rara di depan pintu lift lantai empat.
Langkah kaki Doni dibuat begitu lebar agar bisa segera mencapai pintu lift lantai empat. Ia harus bergerak cepat. Waktu kini sudah berkurang lima belas menit, yang artinya Rara hanya memiliki seratus lima menit lagi.
Doni baru mencapai seperempat bagian dari lantai empat, saat pintu lift yang kebetulan berhadapan dengannya, terbuka. Begitu sosok Rara terlihat, Doni dengan setengah berlari menyusul gadis yang saat ini tengah menengok ke sebelah kanan tempatnya berdiri.
"Rara!" seru Doni sedemikian keras, membuat semua orang yang baru saja keluar dari lift melihat ke arahnya.
"Aku tidak memanggil kalian. Sana pergi!" Doni menatap kesal mereka yang menatap dirinya dengan mimik ingin tahu.
"Ya. Ada apa, Pak?" Rara sedikit mengernyitkan wajahnya melihat wajah Doni yang kini penuh dengan keringat. Sangat berbeda saat mereka bertemu beberapa menit yang lalu.
Doni mengangkat tangannya, meminta Rara untuk menahan pertanyaannya dulu. Ia ingin menetralkan pernapasannya yang kembang kempis sejak tadi. Seakan paham dengan kondisi Doni, Rara mengangguk dan menunggu hingga Doni berhasil mengatur pernapasannya kembali.
Doni menatap Rara yang kini mengangsurkan satu botol kecil air mineral yang ada di rak tak jauh dari tempat mereka berada.
"Mungkin Bapak membutuhkan air mineral?"
Doni menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Waktumu tinggal sembilan puluh lima menit lagi. Segera pergi ke toko komputer. Belilah laptop dengan spek untuk gamer. Yang terbaik." Doni menatap Rara begitu serius.
Rara mencoba memahami perintah Doni. "Bapak memerlukan laptop baru?"
"Bukan, Rara. Bukan. Bukan aku, tapi bos barumu. Dan beliau hanya memberimu waktu dua jam sejak aku menerima perintah itu dan kini..." Doni melihat ke arah arlojinya di tangan kirinya. "Waktumu semakin berkurang. Sembilan puluh menit lagi, sebelum waktu yang diberikan habis."
Rara masih terpengkur mendengar perkataan Doni.
"Ayolah, Rara! Aku tidak ingin kamu terkena masalah. Cepat pergi dari sini! Temukan laptop sesuai dengan yang aku katakan tadi!"
Rara, tanpa ia sadari, kini menjadi gugup. Ia menatap arloji di tangan kanannya, mencoba menghitung waktu yang ia butuhkan untuk kembali sampai di gedung ini.
"Dan ini..." Doni menyerahkan secarik kertas yang sudah dilipatnya kepada Rara. "Beliau menitipkan ini untukmu. Buka saja di jalan. Sekarang bergegaslah," ucap Doni terus mendesak Rara.
Rara menggenggam erat kertas itu, dan masuk kembali ke dalam lift, menekan angka satu, menuju lobi. Begitu lift bergerak turun, Rara membuka lipatan kertas yang diberikan Doni.
"Menyerahlah sekarang atau aku akan terus menekanmu untuk keluar dari perusahaan ini!"
Mata Rara membulat sempurna. Diremasnya kertas itu hingga tidak lagi berbentuk.
'Sialan! Kau benar-benar mengajakku berperang?' desis Rara penuh amarah.
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k