Dengan malas, Agaf sudah kembali berkata, “Basi. Nyatanya, kebanyakan orang mengulangi hal yang sama setelah ngomong itu.”
“Itu ‘kan orang lain, Pak. Bukan saya,” bela Starla.
“Oh ya?”
Starla menaikkan bibirnya sedikit. “Iya. Kalau Bapak gak percaya. Kita liat aja besok,” tantang wanita itu.
Agaf mendengkus. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kamu siapa seenaknya menyuruh saya?”
“Yang jelas saya asisten Bapak.”
“Bukan berarti kamu berhak menyuruh saya.” Nada suara Agaf semakin datar saja.
“’Kan saya gak ada menyuruh Bapak,” papar Starla dengan cara bicaranya yang membela diri sendiri.
“Kamu masih mau berdebat?” Agaf kesal.
“Bapak yang ngajak saya ngomong.”
Agaf membuang nafas panjang. Teman baik Jake yang satu ini berhasil membuatnya sakit kepala dari awal pertemuan. Yang herannya, mengapa Jake masih mempertahankan teman yang seperti ini. Apa lelaki itu tidak memiliki wanita lain untuk diajak berteman?
“Ck! Udah. Saya butuh pakaian saya sekarang.”
“Bapak udah mandi?” tanya Starla.
“Menurut kamu kenapa saya butuh pakaian kalau bukan saya udah mandi?”
Bibir Starla manyun sedikit. “Mana tau Bapak menunggu saya.”
“Saya gak pernah menunggu orang telat.”
Lagi-lagi, Starla tersenyum pahit. “Tapi, serius, Pak. Bapak udah mandi? Sendiri? Bapak bisa mandi sendiri?”
“Bisa.”
“Kok bisa?” kaget Starla.
“Astaga. Kamu ini sebenarnya punya otak gak, sih? Saya emang buta. Tapi, kaki sama tangan saya masih berfungsi dengan baik.”
Bibir Starla membulat. Meski dicecar dengan kata-kata Agaf yang kasar. Namun, Starla tetap takjub dengan kehidupan Agaf yang serba bisa.
“Saya punya otak kok, Pak. ‘Kan saya nanya aja. Mana tau Bapak butuh bantuan saya untuk mandi. Saya bisa, kok.”
Meski sedikit, Agaf terlihat sedikit terkejut dengan perkataan Starla. “Bisa apa?”
“Bantuin Bapak mandi.”
“Kamu mesum?!” serang Agaf.
“Loh? Kok mesum? Itu ‘kan pekerjaan. Apapun itu, bukannya kita harus profesional?”
“Profesional ndas-mu!” umpat Agaf dengan menggebu. Lelaki itu dengan pakaian mandinya langsung berdiri dan menuju nakas untuk meraih ponselnya.
“Loh-loh, Bapak mau ngapain?” tanya Starla sembari mendekati Agaf.
“Mau nelpon Jake supaya cariin saya asisten yang gak mesum kayak kamu!”
*****
Setelah kejadian di kamar, baik Agaf maupun Starla sama-sama diam di meja makan. Sebenarnya, yang lebih takut-takut untuk ngomong adalah Starla. Sebab, ia lah yang menyebabkan perdebatan di pagi tadi.
Tapi, setelah Starla pikir, mengapa juga ia harus merasa bersalah untuk hal sekecil tadi? Untuk itulah, wanita itu perlahan mendekat ke Agaf hingga berdiri di sebelah lelaki itu.
Sudah Starla duga, lelaki itu pasti akan menghentikan pergerakan makannya dengan kepala yang mengarah ke arah dirinya.
“Apa?”
Meski sudah menduga, Starla lagi-lagi merasa takjub. Lelaki di sampingnya—memiliki kepekaan yang tinggi dan cerdas. Di mana lagi Starla bisa menemukan lelaki seperti ini di dunia?
“Apanya, Pak?” tanya Starla dengan wajah polosnya.
“Ck! Kamu kenapa dekat-dekat?”
“Ntar kalau jauh-jauh, Bapak nyariin saya.”
“Kamu—”
“Kata Pak Jake saya gak boleh jauh-jauh dari Bapak. Jadi, sekarang saya lagi deket sama Bapak.” Starla langsung menyela.
Agaf mengerutkan dahi.
“Jake bilang gitu bukan berarti kamu terlalu dekat kayak gini.”
“Apa Bapak gak nyaman?” bisik Starla.
“Sangat.”
Starla menarik kedua sudut bibirnya terpaksa. Diperhatikannya para pembantu yang memerhatikan mereka dengan kondisi wajah yang penuh dengan cengiran, Starla ingin menutup semua wajah mereka sekarang juga.
“Hari ini Bapak ada jadwal cek mata. Kebetulan, tadi Jake nelpon saya, dia bilang kalau dia gak bisa ikut nemenin Bapak. Bapak ngasih izin ke saya buat ikut, ‘kan?”
“Jake juga udah bilang itu tadi.”
“Jadi? Saya boleh ikut?” tanya Starla penuh harap.
“Hm.”
Starla langsung bersorak ria dalam hati. Namun, sebisa mungkin ia tetap kalem dengan senyuman penuh kebahagiaan.
“Artinya, Bapak gak jadi pecat saya dan cari asisten baru, ‘kan?”
“Kamu mau saya gitu?”
“Enggak!” tegas Starla.
“Lagian, tergantung kamu juga. Kalau kamu mesum, beneran saya pecat.”
Setenang itu Agaf berbicara. Tanpa memikirkan bahwa semua pembantunya akan mendengar perkataan itu. Starla menyengir tak sedap. Kepalanya pun kembali turun dan berbisik kepada Agaf.
“Apa Bapak harus ngomong itu di semua orang?”
“Oh. Itu supaya kamu gak macem-macem sama saya.”
Mata Starla melebar. ‘Oh’ dia bilang? Apa Agaf pikir Starla akan semesum itu dengan dirinya? Starla kembali berdiri tegak. Wanita itu tetap menyengir walau dalam hatinya sudah sepanas lahar.
Alias. Ingin mengumpat.
“Satu lagi. Saya ingin kamu yang membawa kendaraan hari ini.”
“Iya, Pak.”
“Beli dulu kebutuhan sebelum ketemu Aldo.”
“Aldo?”
“Dokter Aldo namanya.”
Starla langsung membulatkan bibirnya. “Ooh, temen Bapak?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Kenapa kamu jadi banyak tanya?” Agaf tiba-tiba kesal.
‘Iya juga.’ Starla membatin. Selain banyak tanya, sepertinya juga ia seperti orang yang kepo terhadap kehidupan seseorang.
Starla meringis sendiri.
“Oke, Pak. Saya minta maaf.”
Agaf hanya membalasnya lewat dirinya yang tetap menyuap nasi ke dalam mulut. Sepertinya, kata ‘hm’ lebih baik daripada diam seperti itu. Starla tidak tahu lagi bagaimana cara memancing Agaf untuk membalas perkataannya.
Dan memilih diam. Starla membiarkan Agaf makan dengan tenang.
***
Di dalam perjalanan, Agaf tetap dengan sikap yang penuh dengan keterdiamannya. Starla tersenyum miris.
“Pak, saya boleh tanya satu hal?” ucap Starla memecah suasana.
Seperti biasa, Agaf tidak langsung menjawab. Lelaki itu berada di belakangnya dengan tatapan lurus ke depan. Tidak sedikitpun terganggu.
Starla membuang nafas panjang. Setelah dipikir-pikir, Agaf sangat menyia-nyiakan keberadaan mulutnya. Lelaki itu sangat pelit untuk mengeluarkan suaranya. Bukankah pelit itu sangat diharamkan? Tetapi, Agaf melakukannya. Dasar lelaki pelit.
Di tengah berpikir seperti itu, tanpa Starla duga, seekor kucing malah dengan ligat melintas yang membuat Starla rem mendadak dan hampir ditabrak oleh kendaraan belakang. Untungnya, posisinya saat itu tidak berada di tengah jalan dan tidak berada di jalanan yang ramai.
Dan yang pertama kali Starla pikirkan saat itu adalah Agaf. Ia langsung menoleh ke belakang dan mendapatkan lelaki itu tetap tenang dengan memegang pegangan di atas kepalanya.
“Maaf, Pak. Bapak baik-baik aja, ‘kan?”
“Iya.”
“Sekali lagi, saya minta maaf ya, Pak. Saya akui saya ceroboh.” Starla benar-benar merasa bersalah.
“Kamu mau tanya apa?” tanya Agaf tiba-tiba.
Starla mengerjap bingung.
“Ya?”
“Tadi kamu mau nanya, 'kan? Nanya apa?”
Apakah harus di saat seperti ini Agaf menanyakan itu kembali? Harusnya tadi di saat ia masih fokus pada jalanan dan sebelum kejadian yang hampir membuat jantungnya terlepas.
Kenapa harus sekarang Bapak Agafta Argadhana yang terhormat?
“Enggak jadi, Pak. Lupain aja.”
“Hm.”
Demi apapun, Starla kesal. Wanita itu kembali menghadap ke depan dan mencoba menetralkan suasana hatinya saat ini. Setelah berhasil, wanita itu kembali melajukan mobilnya.
Berbeda dengan Agaf yang mendadak kepalanya pening. Dengan sekuat tenaga, Agaf meruntuhkan segala ketakutannya saat Starla rem secara mendadak tadi. Mungkin Starla melihatnya sebagai sosok yang tenang dan tidak merasakan guncangan apapun dari tindakannya. Namun, yang Starla tidak sadari adalah betapa eratnya Agaf memegang pegangan di atas kepalanya sampai kuku Agaf hampir memutih.
Agaf kembali teringat dengan kejadian dua tahun lalu. Kejadian yang membuat penglihatannya menghilang.
“Starla,” panggil Agaf dan berhasil menghentikan Starla yang mengoceh panjang lebar sedari tadi. “Iya?” “Kamu suka, ya, sama saya?” Starla terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, ia menjawab, “iya, Pak. Saya suka sama Bapak.” Dan beberapa detik kemudian. What?! *** Starla membuka matanya lebar sembari mendudukkan dirinya di sofa. Wanita itu terkejut. Ia juga baru menyadari bahwa kejadian sebelumnya berada di alam mimpi. “Sumpah, lo, La? Ternyata lo mimpi,” ringis Starla. Ia mengacak rambutnya yang kemudian dijambak dan berteriak pelan. “Tapi, gak gitu juga anjir mimpinya. Masa iya lo confess begituan sama Pak Agaf?” Beberapa saat Starla diam. Ia baru menyadari perkataannya. “Wait. Confess?! Enggak! Gue gak suka sama Pak Agaf! Itu namanya ngelantur, Begoooo.” Rasanya, Starla ingin menghilang saja dari bumi. Starla menyingkap selimut yang masih melekat di tubuhnya. Ia juga baru menyadari bahwa ia tertidur di sofa akibat belum selesai mengerjakan pekerjaannya tadi malam. “T
Starla hampir berteriak melihat dokumen-dokumen pekerjaan milik Agaf yang berserakan di meja kerja miliknya. Setelah Jake memberikan pekerjaan tambahan yang tentu saja menyebalkan, Jake meminta Agaf untuk menyediakan ruangan kerja Starla dan lelaki itu menyetujuinya. Jake tidak menyarankan meja kerja Starla berada di kamar tidurnya sendiri karena Jake tahu Starla tidak bisa fokus ketika melihat ranjang alias suka mengantuk.Dan di sinilah Starla berada sekarang. Di rumah Agaf. Di ruang kerja baru miliknya. Dengan kondisi wajah yang berantakan. “Oh my God! La! Udah jam 1 malam. Eh, dini hari, deng. Masa iya lo belum tidur sama sekali.” Starla merengek melihat keadaannya sendiri.Dia menjatuhkan pulpen di atas kertas dokumen dan menegak segelas air putih. Baru dua hari bekerja saja dirinya sudah selelah ini, apalagi dua bulan mengerjakan hal yang sama. Starla selalu berharap bahwa tubuhnya baik-baik saja untuk ke depannya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu terdengar dan mengalihkan atens
“Starla. Kita ada di mana sekarang?”Pertanyaan itu memecah keheningan yang terjadi antara Starla dan Agaf. Starla tersenyum tipis, ia sedikit mendekatkan wajahnya ke Agaf yang terlihat bingung.“Apa yang Pak Agaf dengar sekarang?”“Motor. Suaranya besar. Dan….saya ngerasa ini sedikit panas. Saya tau ini lagi di tepi jalan. Tapi, kamu mau apain saya? Ngejual saya?”Starla hampir tertawa.“Saya langsung kaya kalau misalnya ngejual Pak Agaf sekarang juga. Tapi, bukan itu kok maksud dan tujuan saya.”“Terus, apa?”“Bentar. Bapak jangan bergerak. Saya gak akan lama.”Belum sempat mencegah Starla. Starla sudah lebih dulu menjauhi Agaf. Agaf hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dan beberapa menit kemudian, Agaf bisa merasakan bahwa seseorang mendekatinya. Sudah pasti bahwa itu Starla.“Nih! Coba Pak Agaf rasain!” kata Starla seraya menyodorkan sebuah es krim berbentuk kerucut kepada Agaf.Tentu kening Agaf langsung berkerut. “Maksud kamu apa?”Starla meraih tangan kanan Agaf dan mengambi
Berulang kali, Starla melirik Agaf dari kaca kecil mobil yang berada di atas kepalanya. Meskipun perjalanan mereka diterpa oleh kemacetan Kota Jakarta, bagi Starla, hal ini tentu tidak mengapa. Ia jadi bisa melihat Agaf sepuas mungkin sekarang.“Pak Agaf.”“Hm,” jawab Agaf, seperti biasa.“Mau tau satu hal?”“Apa?”“Pak Agaf ganteng banget hari ini.”Uhukkk!Agaf langsung tersedak saat itu juga. Kepalanya yang tadinya menoleh ke arah jendela, kini tertuju ke depannya—lebih tepatnya ke Starla. Ekspresi lelaki itu kesal bukan main.“A-apa kamu gak bisa fokus aja nyetirnya?”“Lagi macet, Pak. Apa Bapak gak ngerasa kita belum bergerak selama 5 menit?”“Kalau gitu, cari cara lain!”Bibir Starla mengerucut. “Kok Bapak tiba-tiba marah? Apa Bapak marah dibilang ganteng?”“Kamu bisa diam? Saya pusing banget dengerin kamu bicara yang gak penting dari tadi pagi!”Menghela nafas, Starla akhirnya menoleh ke belakang dan memosisikan wajahnya selurus dengan Agaf. Untuk sesaat, justru dialah yang mer
[ Flashback ]Starla menepikan mobil di tepian jalan dengan posisi yang benar saat sudah tiba di tempat martabak tujuannya. Tempat itu berada di seberang jalan dan membuatnya harus berpikir bagaimana cara menyeberangi jalan yang seramai ini.‘Sialan. Kok bisa pada rame banget, sih, malam ini?”Starla merasa kesal sendiri. Untung saja, tempat martabak itu tidak memiliki antrian yang panjang. Dan kalau saja itu terjadi saat ia tiba tadi, ia yakin emosinya kembali naik seperti sebelumnya.Tanpa berlama lagi, Starla menarik napas dan membuang perlahan untuk bersiap tempur bersama kendaraan yang berlalu lalang.Dirinya merentangkan tangan kanannya sebesar 45 derajat ke bawah sebagai tanda bahwa ia ingin menyebrangi jalan dan meminta para pengendara untuk memberinya ruang jalan.Nasib baik Starla, orang-orang tersebut memahaminya. Tidak semua pengendara melajukan kendaraannya dan di situ Starla mulai berjalan cepat untuk
“Gaf, kamu baik-baik aja? Aku…Serena.”Kata-kata itu kembali mengingatkan Agaf ke satu jam yang lalu karena kedatangan Serena secara tiba-tiba.Marah? Tentu saja amarah Agaf naik. Lelaki itu tanpa berpikir panjang langsung memutar tubuhnya untuk menghadap Serena. Meskipun ia tidak bisa memastikan posisi Serena berada lurus di depannya atau dimanapun, tapi lelaki itu sangat yakin posisi Serena tidak jauh dari dirinya.“Aku lupa untuk mengingatkan ke siapapun supaya melarang kamu untuk gak menginjak rumahku lagi,” cecar Agaf dengan amat sangat datar.Serena tersenyum manis.“Kenapa, Gaf? Kamu paling seneng kalau aku udah datang ke rumah kamu.”“Kamu yakin itu aku yang sekarang?” balas Agaf.Perlahan, senyum Serena meluntur. Namun, sebisa mungkin tetap menarik kedua sudut bibirnya meski Agaf tidak bisa melihat hal itu.“Aku sedang berusaha untuk melakukannya.”