Agaf diam. Perihal asisten baru, apakah ia benar-benar membutuhkan itu?
“Lo bisa atur itu semua sendiri, Jake?”
“Tenang. Gue udah mikir ini, kok. Dan gue bakal nyari yang terbaik buat lo.”
“Ya udah kalau gitu,” jawab Agaf.
“Deal?”
“Hm. Gue mau mandi sekarang, terus kita lanjut kerja.”
Jake menaikkan sudut bibirnya. Lalu, membantu Agaf untuk mandi dan dilanjutkan dengan bekerja.
For your information, selama dua tahun sejak Agaf kecelakaan, Jake selalu menjadi tangan kanan Agaf dalam hal pekerjaan.
Segala hal yang berkaitan dengan kantor, Jake yang sering pergi ke sana. Dan Agaf selalu memantau dari rumah.
Agaf jarang sekali keluar dari rumah kalau tidak untuk hal-hal yang penting yang mengharuskannya untuk hadir.
***
ADTA Group, Jakarta.
Tampak Jake sedang menelepon seseorang dan menghadap menatap kota Jakarta Pusat dari lantai 25. Lebih tepatnya, ruang kerja milik Agaf.
“Besok gimana? Berapa menit dari tempat lo ke rumah Agaf?” kata Agaf ke seseorang yang diteleponnya.”
“Sekitar 30 menitan. Tergantung macet juga, besok Hari Selasa.”
“Gimana kalau lo ke kantor Agaf dulu? Baru kita sama-sama pergi ke rumah Agaf.”
“Pak Agaf udah tau ini?”
“Gue udah minta persetujuan dia. Dan dia bilang terserah gue mau milih asisten dalam bentuk apa. Asalkan cocok sama gue, Agaf bakalan milih itu juga.”
“Oke. Gue bakal ke sana, besok. Lo di sana dari pagi atau gimana?”
“Iya. Gue dari pagi.”
“Hm. Kalau gitu sampai ketemu besok. Gue tutup dulu.”
Jake pun bergumam. Setelah ikut mematikan layar ponselnya, ia menatapnya sebentar. Ia juga berpikir, apakah ini terlalu cepat untuk menempatkan asisten baru untuk Agaf?
“Gue bakal nikah sebulan lagi. Anggap aja ini waktu yang udah cukup baik supaya Agaf nyaman dengan orang baru.”
***
Kini, hari sudah berganti menjadi besok harinya. Jake mendekati Agaf yang sedang memakan sarapannya.
“Gue pikir lo gak tidur di sini.”
Jake menarik kursi untuk duduk di seberang Agaf dan mengambil roti lalu mengoles selai di atasnya.
“Tadi malam gue pulang telat. Mungkin sekitar jam 1. Dan gue cuma ngeliat lo yang udah tidur nyenyak.”
“Banyak yang lembur?”
“Lumayan, karna ini juga akhir bulan.”
Agaf hanya mengangguk.
“Oh ya. Gue lupa bilang, kalau kemarin yang lo nolak perusahaan Arta, mereka pengen ngadain pertemuan sama lo.”
“Gue gak mau.”
Jake tersenyum tipis. “Udah gue tebak. Lo pasti gak bakalan mau. Tapi, gue juga bakal ngusulin hal yang sama kalau-kalau otak lo lagi kegeser.”
Agaf menipiskan bibirnya. Ketika ia hendak berbicara, dengan cepat Jake menyela. “Satu lagi, asisten yang bakal gantiin gue bakalan datang nanti sama gue. Gue pengen lo berkenalan dulu sama dia.”
“Memangnya kapan lo nikah?”
Mata Jake sedikit melebar. “Gue belum ada ngasih tau lo? Gue bakalan nikah bulan depan.”
Agaf sedikit terkejut. “B-bulan depan?”
Apa setiap perjodohan emang cepat seperti ini? Secepat itu juga Agaf membatin.
“Terus, pasti lo sekarang lagi sibuk-sibuknya ngurusin pernikahan lo?”
“Hm, boleh dibilang gitu. Makanya, gue juga mikir gak ada salahnya bawa asisten baru lo mulai dari sekarang.”
Bibir Agaf menganga setengah. “Wah, ini bakal jadi berita besar karna seorang Jake menikah.”
“Lo pikir gue selebritas?” decak Jake.
“Track record sialan lo yang bikin tenar.”
“Sialan,” umpat Jake. Agaf menarik kedua sudut bibirnya lantaran pasti sangat lucu bila melihat ekspresi Jake yang tertekan.
“Jadi, dia ke sini? Asisten baru yang lo sebut?”
“Gue mau ke kantor bentar. Nanti, gue sama asisten baru lo bakalan ke sini sama-sama.”
Agaf kembali mengangguk. “Terserah.”
***
“Lo gak pernah bilang kalau dia cewek?”
Si wanita yang berada di sebelah Jake langsung tersenyum tipis, sedangkan Jake mendekati Agaf dan duduk di sebelah lelaki itu yang berada di sofa.
“Lo juga gak pernah minta kalau dia cowok.”
Agaf berdecak. “Gak ada orang lain? Kenapa harus cewek, Jake?”
“Perasaan gue pekerjaan rumah lebih bagus kalau ditangani sama cewek.”
Agaf mengurut keningnya pelan. Jake benar-benar….menyebalkan.
“Perkenalan.”
Jake tersenyum. “Maksud lo?”
Agaf mengerang. “Minta dia perkenalan diri.”
Jake semakin melebarkan senyumnya hingga menampakkan deretan giginya. Kemudian, menatap si wanita yang masih berdiri tegak di hadapan mereka.
“La, lo bisa perkenalkan diri sekarang.”
Wanita itu kembali tersenyum. Berdeham pelan, kemudian berkata, “perkenalkan, nama saya Starla Rasitya. Umur saya 26 tahun. Memiliki pengalaman kerja yang baik. Dan semoga saja Bapak menerima saya dengan senang hati.”
Agaf langsung mengangguk sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu. Untuk beberapa saat, ada beberapa hal yang hadir di kepala Agaf dan Agaf merasa aneh. Sebentar, rasanya Agaf seperti mengenali suara wanita ini.
“Alih-alih bilang gak penting. Kenapa kamu gak nanya siapa aku?” Potongan perkataan itu…
Dia….
“Kamu terlalu terus terang. Langsung aja, cowok kayak kamu tuh tipe idealku.”
Agaf mengenal suara ini!
“Lo…,” Agaf yang tadi wajahnya menghadap ke lantai, kini menjadi mendongak menghadap Starla. “Cewek yang di bar?”
Seketika Starla kembali tersenyum. Jika Agaf mengetahuinya, ia pun begitu. Siapa sangka perkataannya kemarin bisa membawa dirinya kembali kepada Agaf?
Apa ini definisi dari dipertemukan karena takdir?
Ah… Starla suka definisi seperti itu.
“Senang bisa bertemu Bapak kembali,” kata Starla yang sukses membulatkan mata Agaf.
Agaf langsung berdiri. “L-lo?! Lo beneran cewek di bar kemarin?!”Jake menatap Agaf dan Starla secara bergantian. “Loh? Kalian pernah ketemu?”“D-dia cewek yang godain gue di Bandung kemarin. Dia Jake! Ngapain lo bawa dia ke sini?!” terang Agaf.Starla menggeleng kepala cepat. “Saya gak pernah godain Bapak. Apa Pak Agaf ngerasa gitu?”Agaf menggeram. “Minta nomor hp dan bilang kalau lo tertarik sama gue. Apa lagi kalau bukan lo godain gue?!”“Tapi saya gak pernah ngajak Bapak tidur.”Jake yang di belakang Agaf hanya bisa tertawa sembari mengacak rambutnya acak. Sementara Agaf, matanya semakin melebar dan sekarang ia malah tampak gagap.“Gue bisa gila kalau punya asisten kayak lo. Jake, apa gak ada orang lain? Kenapa harus cewek ini?!”“Karna cuma dia yang gue tau punya karakter kerja keras kayak gue.”“Tadinya, gue hampir toleransi karna dia cewek. Tapi, kalau ceweknya kayak dia—”Agaf menjambak rambutnya frustasi. Sialan. Sebanyak manusia yang berada di Jakarta, kenapa harus wanita i
Starla tau jika Agaf adalah salah satu lelaki yang bersifat dingin. Namun, Starla juga tidak menyangka bahwa suasana makan Agaf benar-benar hening kalau saja tidak ada suara sendok yang berdenting.“Gaf, gue bakalan pulang malam ini. Starla juga udah mulai tidur di sini. Jadi, lo bisa manggil dia kapan aja,” kata Jake sembari memandang Starla yang berdiri lurus depan Agaf di kursi seberang.Starla pun mengangguk yakin. Ia juga memberi senyum kepada Jake.“Hm.”Dan, gumaman itu membuat Starla menatap Agaf ngeri, lelaki itu… ah, memang sama sekali tidak bisa berbicara sedikit pun.“Ingat ya, Gaf. Jangan diem-diem aja. Terkadang, gue juga takut sama lo yang terus-terusan diem. Udah kek hantu aja,” celetuk Jake.Agaf akhirnya berdecak. “Bawel, Jake. Gue mau makan,” gerutu lelaki itu tanpa mengubah sedikitpun gerakan makanannya.Dalam mata Starla, gerakan makan Agaf sangat teratur dan nyaris Starla tidak percaya bahwa Agaf adalah sosok lelaki tampan namun buta. Dengan tangan yang bergerak
Dengan malas, Agaf sudah kembali berkata, “Basi. Nyatanya, kebanyakan orang mengulangi hal yang sama setelah ngomong itu.”“Itu ‘kan orang lain, Pak. Bukan saya,” bela Starla.“Oh ya?”Starla menaikkan bibirnya sedikit. “Iya. Kalau Bapak gak percaya. Kita liat aja besok,” tantang wanita itu.Agaf mendengkus. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kamu siapa seenaknya menyuruh saya?”“Yang jelas saya asisten Bapak.”“Bukan berarti kamu berhak menyuruh saya.” Nada suara Agaf semakin datar saja.“’Kan saya gak ada menyuruh Bapak,” papar Starla dengan cara bicaranya yang membela diri sendiri.“Kamu masih mau berdebat?” Agaf kesal.“Bapak yang ngajak saya ngomong.”Agaf membuang nafas panjang. Teman baik Jake yang satu ini berhasil membuatnya sakit kepala dari awal pertemuan. Yang herannya, mengapa Jake masih mempertahankan teman yang seperti ini. Apa lelaki itu tidak memiliki wanita lain untuk diajak berteman?“Ck! Udah. Saya butuh pakaian saya sekarang.”“Bapak udah mand
Usai tiba di tempat Aldo, Starla keluar untuk mencari angin di taman rumah sakit. Wanita itu duduk di kursi panjang, di bawah pohonan rindang, dan sedikit memandang orang-orang yang berada di taman tersebut.Starla membuang nafas lelah. Sebenarnya, tadi Starla ingin menemani Agaf di dalam ruangan Aldo. Dan sayangnya, lelaki dingin itu tidak memperbolehkannya.Starla pun tidak ingin memaksakan diri. Ia membiarkan dua lelaki itu di dalam ruangan yang sama. Mungkin, ada pembahasan lain yang tidak boleh Starla dengar. Maka dari itulah, Agaf menyuruh Starla keluar.“Duh! Bolanya kena kaki Kakak!” Lamunan Starla langsung buyar ketika ada bola yang mengenai kakinya. Wanita itu menoleh ke anak yang mendekatinya sembari memasang raut yang sedih.“Rina minta maaf ya, Kak. Rina beneran gak sengaja,” ucap anak itu merasa sangat bersalah.Starla yang malah merasa baik-baik saja, menarik kedua sudut bibirnya sampai tersenyum manis. Kalau dari pandangannya, anak tersebut berumur 7 tahun. Agak cadel
“Makasih ya, Dok. Kalau begitu, kami pamit dulu.”Starla memberikan senyuman yang manis kepada Dokter Aldo setelah konsultasi selesai. Aldo yang memang memiliki sifat ramah tinggi, membalas senyuman wanita itu dan mengangguk sekilas.“Sama-sama. Hati-hati di jalan, La.”“Bahkan lo tau nama dia?” ucap Agaf tiba-tiba.Dokter Aldo terkekeh pelan. “Jake udah ngasih tau gue. Lagian, lo juga gak kenalin dia sama gue. Ya udah, sih. Informasi dari Jake berguna juga buat gue.”Agaf hanya memberikan respon cueknya. Sementara itu, Starla yang menjadi bahan pembicaraan saat ini, melihat Dokter Aldo dan Agaf secara bergantian.“Loh. Kalian temen deket?” tanya Starla dengan wajah penasaran.“Hahaha! Memangnya ada temen yang gak pake gue-lo saat ketemuan?” Dokter Aldo memperlihatkan sederet gigi putihnya. Untuk sesaat Starla terkesima. Mengapa begitu banyak lelaki tampan yang berada di sekitarnya. Namun! Setampan apapun lelaki itu, tetap Pak Agaf yang paling tampan menurutnya. Dasar Starla bucin.“O
“Hm. Setelah kecelakaan, ceweknya pergi. Di satu sisi, gue pikir Agaf bener-bener ngelupain dan benci banget sama dia karna sewaktu tau ceweknya kayak gitu, Agaf tu bener-bener marah.” “Tapi?” tanya Starla penasaran. “Tapi, di satu sisi juga, gue bingung. Kenapa kenangan sama cewek itu masih Agaf simpan sampai sekarang.” *** Starla kembali ke kamar Agaf dan menatap lelaki itu yang sedang duduk di sofa sembari mendengarkan berita dari radionya. Walau masih terbayang percakapannya dengan Jake, Starla berusaha tersenyum tipis--meski tak mungkin dilihat pria itu. Starla kemudian mendekati Agaf beberapa langkah. “Pak Agaf!” Agaf yang tadinya fokus, langsung menekan salah satu tombol remot pada tangannya hingga suara radio tidak terdengar lagi di penjuru kamar. Pandangan Agaf naik, tepat saat itu Starla sudah sejurus berhadapan dengannya. “Apa lagi?” Jika seperti ini, pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa pria ini tidak bisa melihat. “Apa lagi?” beo Starla. “Padahal, setelah
Tubuh Starla mendadak lemas ketika sudah sampai di dapur. Tadinya, dia sangat berlagak mengatur lelaki itu dengan semena-mena. Namun, begitu keluar dari kamar Agaf, dirinya tidak sanggup lagi untuk menahan betapa lemas kondisinya sekarang. Lebih tepatnya, ia lemas sekaligus lega karena Agaf tidak lagi mengucapkan hal-hal aneh kepada dirinya.“Hhhh! Asli, lama-lama gue bisa drop kalau ngadepin Pak Agaf yang kayak gitu. Kalau gue dipecat, dari mana lagi gue dapat 20 juta dalam sebulan? Terlebih, gue gak bisa lagi dong ngeliat dia,” ujar Starla. Wanita itu juga tersenyum masam. “Bego lo, La. Masih aja kepikiran si Pak Agaf. Udah deh, gue harus siapin makanan dia.”Starla menguatkan dirinya sendiri.Setelah memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu mulai menempatkan beberapa makanan di dalam nampan yang disertai air minum. Di saat ia ingin mengangkat nampan, justru ia dikejutkan oleh suara seseorang.“Hayoo, lemes ya, lo? Hahaha!”Starla langsung memutar tubuhnya ke arah sumber suar
Dalam beberapa hari ini, sikap Agaf begitu tak biasa terhadap Starla. Selain kejam dan tidak berperasaan, sudah Starla ingatkan bahwa Agaf juga merupakan lelaki yang dingin. Namun, Starla tidak pernah terpikir sikap Agaf akan sangat menguras emosi dan tenaganya. “Kenapa Bapak manggil saya?” kata Starla setelah berada di dalam ruangan Agaf, ia berada di depan Agaf yang sedang meraba huruf brailenya di kursi kerja. Ya, lelaki itu sedang membaca. Agaf pun yang tadinya fokus, langsung menggerakkan kepalanya sedikit dan menutup buku. “Kamu sibuk?” Mata Starla sedikit menyipit. “Tumben Pak Agaf nanya? Padahal Pak Agaf selalu nyuruh saya tanpa nanya kondisi saya gimana.” Agaf sedikit termangu. “Nyuruh saya nyapu halaman yang segeda gaban. Nyuruh saya berkebun, nyuruh saya manen cabe. Nyuruh saya pergi beli pupuk—apa Pak Agaf gak nyadar kalau Pak Agaf udah ngasih perintah yang aneh-aneh dalam beberapa hari ini?” ungkap Starla dengan nada kesalnya. “Pa