Arsen terlalu malu untuk berada di rumah setelah apa yang terjadi di meja makan. Alhasil, dia pergi setelah itu tanpa banyak bicara dengan Leina.Leina tahu kalau pria itu hanya ingin melarikan diri. Dia tak terlalu mempermasalahkannya, dan kembali mengurus pekerjaan rumah.Saat semua kegiatan di rumah selesai, dia lanjut dengan mengurus berkas-berkas pekerjaan, dan bersiap memasak."Tadi Arsen bilang akan pulang saat jam makan siang, jadi mending aku masak ..." ucapnya sambil menaruh daging, asparagus dan beberapa bahan makanan di atas meja dapur.Aktifitas memasaknya terhenti usai mendengar bel berbunyi. Dia menoleh— tidak mungkin Arsen menekan bel. Apa mungkin tamu? Calon klien?Tapi, jarang ada yang kemari jika tanpa melakukan kontak terlebih dahulu.Leina melepaskan celemek, lalu segera turun anak tangga— menuju lantai bawah.***“Ngomong-ngomong, Arsen—” Hans menyerahkan satu map coklat kepada Arsen. "Ini berkas yang kamu minta."Keduanya sedang berada dalam satu mobil. Mobil it
Malam harinya ...Arsen terpaksa membawa Leina untuk menangkap sang pembunuh berantai. Alhasil, di dalam satu mobil, selain mereka berdua, sudah ada Serena dan Hans.Serena tampak tidak nyaman duduk di kursi penumpang dengan Leina. Dia terus melirik ke kaca depan—sempat bertukar pandangan dengan Arsen yang menyetir lewat situ.Leina sendiri sedikit aneh. Dia agak pendiam dari biasanya, dan melihat keluar jendela sejak berangkat. Sesekali, dia melihat ke layar ponsel seakan menunggu ada pesan atau panggilan masuk."Leina? Kamu nanti tetap di sini, oke?“ Serena membuka obrolan. Tidak tahan dengan keheningan di antara mereka."Iya." Leina menjawab dengan dingin.Hans merasa sesak berada di mobil itu. Setiap kali Leina bersama Serena, udara di sekitarnya perlahan menipis. Dia menoleh ke Arsen— seperti ingin menyalahkannya.Arsen tak peduli. Semua ini demi keselamatan mereka bersama. Dia tidak mungkin meninggalkan Leina di rumah sendirian setelah tahu siapa dalang penculikannya waktu itu.
"Aku mau kamu ..."Itulah yang terus dikatakan oleh sang pembunuh berantai bernama Norman itu. Aura yang menyelimuti pria ini gelap nan menakutkan. Aroma mawar juga menebar di sekitarnya— seolah-olah dia baru saja mandi air kelopak bunga mawar.Leina sesak berada di posisi itu, terjepit di antara dada Norman dengan tembok. Andaikan dia bisa menjejak selangkangan pria ini— maka kesempatannya kabur terbuka.Tetapi, dia semakin tak berdaya tatkala Norman mengeluarkan pisau lipat dari saku mantel. "Sayang ... kamu cukup berani ternyata, biasanya wanita lain akan menangis dan memohon agar aku lepaskan," kata pria itu sembari menodongkan mata pisau ke bawah dagu Leina.Leina bisa merasakan sensasi dingin dari bilah pisau tersebut. Meski takut, tapi tak dia tunjukkan. "Jika kamu memang mau membunuhku, bunuh saja sekarang. Percuma menakut-nakutiku segala.""Oh— asisten detektif memang punya mental yang agak berbeda dari kebanyakan wanita, tapi ini yang membuatku suka padamu."Leina mencoba b
Arsen membawa Leina pulang. Dia menutup seluruh pintu, menguncinya serta mengaktifkan alarm keamanan darurat. Usai memastikan kondisi rumah itu aman, dia naik ke lantai tiga.Di atas, Leina masih diam di depan pintu kamarnya. Dia diliputi perasaan bersalah sekaligus bingung."Arsen ..." Dia menatap Arsen.Arsen mendekat, lalu memberikan pelukan padanya. "Sudah, kamu cepat tidur, ini sudah lewat tengah malam.""Aku minta maaf.""Ini bukan salahmu.""Ini salahku. Misi kita hampir gagal karena aku ... aku mengacau.""Siapa bilang mengacau? Sejak awal kita berniat memancingnya keluar. Kamu sudah baik berani jadi umpan." "Tapi ...""Sudahlah." Arsen melepaskan pelukannya. Senym hangat tampak mengiasi bibirnya. Dia mengulurkan tangan kepada Leina.Dia berkata, "oh iya, berikan ponselmu.""Untuk apa?""Tadi, ingatan terakhirmu sebelum bertemu pembunuh itu, kamu masih ada di mobil 'kan?""Iya.""Hans bilang kamu sedang menelpon seseorang, jadi mungkin ada hubungannya dengan telepon kamu.""T
Leina tidak tahu kalau dirinya sedang dibawa menemui teman Hans yang ahli dalam dunia hipnotis. Alhasil, dia sama sekali tak sadar kalau sedang menjalani terapi untuk menghilangkan efek hipnotis dalam dirinya.Wanita itu kemudian dibiarkan tidur di atas sofa panjang. Arsen hanya melihat dengan tatapan sedih."Bagaimana?" Pria itu bertanya.Si ahli hipnotis, seorang wanita berusia tiga puluh tahunan, menatapnya sekilas, lalu kembali melihat tubuh Leina yang terbaring di sofa. "Tenang saja, sudah aku urus. Ini jenis hipnotis yang serius, Leina harusnya bertemu dengan orang ini sekali.""Apa kamu bisa dapat informasi pelaku yang melakukan hipnotis?""Tidak terlalu spesifik, ingatan Leina tentang pelaku itu masih buram.""Ya sudah, tidak apa.""Tapi, jangan khawatir, Arsen, efek hipnotisnya sudah kuhapus. Leina tidak akan terpengaruh lagi jika mendengar kata kunci dari suara pelaku.""Aku sudah curiga sejak awal. Dia tidak ingat apapun setelah menerima panggilan telepon asing. Jadi, pasti
Dengan menggunakan taksi, Leina pulang sendirian ke rumah. Sepanjang perjalanan, perasaannya tidak enak. Entah mengapa— dia seolah akan menjauh dari Arsen.Dia mengenang sejak awal bertemu dengan Arsen. Karena hal tersebut, bibirnya menyunggingkan senyuman manis. Meskipun pria itu sangat menyebalkan, tetap saja— dia begitu baik.Tiga tahun yang lalu, ketika dia baru lulus SMA, dia mendapat kabar kematian sang ayah akibat kecelakaan mobil. Dia tak punya sanak keluarga lain, tak punya kerabat dekat.Setelah acara pemakaman, dia tidak mau pulang ke rumah— memilih pergi ke taman kota, dan menghabiskan waktu dengan duduk di ayunan berjam-jam.Hari sudah semakin gelap, tapi Leina masih tetap di situ, sendirian— tertunduk dan menangis. Rok yang dia pakai sebagian basah oleh air matanya sendiri. Kematian sang ayah terlalu mengejutkan."Papa ..." gumamnya lirih.Tak berselang lama, ada kelompok pemuda berandalan berjumlah lima orang datang menghampiri ayunan itu."Hei, cantik," sapa salah satu
Seperti halnya Arsen, kantor detektif Serena juga satu bangunan dengan rumah. Bedanya, bangunan itu memiliki dua tingkat saja. Di tingkat dasar adalah kantornya. Dia sudah hidup sendiri selama sepuluh tahun belakangan, jadi tak membutuhkan tempat yang luas.Leina dibawa masuk ke kantor. Dia diminta untuk duduk di sofa, sementara Serena sendiri baru masuk sambil membawa secangkir kopi.Wanita itu duduk di tepian meja kerja, menghadap ke Leina. Wajahnya masih terlihat tak suka."Kamu tahu tidak siapa yang kamu temui tadi dengan Arsen?" Dia membuka obrolan. Sesekali menyeruput kopi dari cangkir.Leina menjawab, "nona Ritta, kenalan Hans, calon klien kami.""Oh calon klien?""Iya.""Ritta itu temanku juga. Arsen berbohong padamu— dia bukan calon klien kalian. Dia itu ahli hipnotis."Kening Leina mengerut. Dia bingung, "hipnotis? Apa maksudmu?""Arsen tidak memberitahumu 'kan? Kamu itu sebenarnya terkena efek hipnotis beberapa hari belakangan.""Aku kena hipnotis?""Kamu tidak sadar waktu
Sakit hati.Leina benar-benar sakit hati.Tetapi, jauh di lubuk hatinya, dia juga tidak mau terjadi sesuatu pada Arsen. Dia tak peduli siapa pria itu di masa lalu, kenyataannya— selama ini, hanya dia yang selalu ada untuknya, selalu melindunginya dan membuatnya bahagia.Leina tulus mencintai Arsen.Dia sudah memikirkan ini baik-baik, dan apa yang dikatakan oleh Serena harus dilakukan. Jika memang ini terbaik untuk dirinya dan Arsen— itu harus dilakukan.Di kamar, dia bersandar di belakang pintu, menangis tanpa suara. Lututnya lemas hingga tubuhnya perlahan jatuh di atas lantai.Dia meringkuk, memeluk diri sendiri. Hari ini— Arsen tidak di rumah, entah ada di mana pria itu. Ini semakin membuat diri Leina cemas sekaligus takut. Bagaimana kalau di luaran sana dia dalam bahaya?Musuhnya— pria bernama Nathan itu bukan sembarang orang."Arsen ... aku mencintaimu, tapi ini yang terbaik— jika ucapan Serena benar, maka aku hanya akan membuatmu dalam bahaya. Kamu harus fokus melindungi dirimu s