"... Akui saja kalau suka padaku!" "Mana mungkin aku suka gadis ingusan sepertimu?" Sudah tiga tahun, Leina menjadi asisten Arsen, detektif yang biasa menangani kasus berat dimana polisi tak bisa ikut campur. Selama itu pula, wanita dua puluh tahun itu memendam rasa cinta. Tetapi, perbedaan usia yang cukup jauh selalu menjadi alasan Arsen enggan mengaku cinta kepada Leina. Dia juga sadar diri kalau memiliki banyak musuh akibat pekerjaan berbahayanya. Karena itulah, dia tak mau menjalin hubungan serius dengan siapapun. Leina tidak peduli dengan semua itu. Dia tetap ingin memperjuangkan cintanya. Namun, sikap Arsen yang terus-terusan menghindar membuatnya sakit hati. Di sisi lain, musuh-musuh juga mengetahui kelemahan Arsen yaitu Leina. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang akan dilakukan Arsen? Bagaimana hubungan mereka selanjutnya?
View More"Ate, inom ka muna ng tubig. Namumutla ka na."
Pinunasan ko ang pawis sa noo habang nakaupo sa plastic chair sa tabi ng hospital bed ni Jenny. Three hours na akong tulala dito, nakatitig sa reseta at hospital bill na nasa table. The numbers kept swimming before my eyes: ₱89,456 for this week's treatment alone. "Jenny, paano ba natin—" Naputol ang sasabihin ko nang makita kong tulog na pala siya. Even in sleep, kitang-kita ko ang pagod sa mukha ng kapatid ko. Seventeen years old pero ang dami nang pinagdaanan. Life's unfair that way. My phone buzzed. Text from my online ESL student canceling our 6 AM class. Great. That's another ₱500 gone. Tumayo ako at kinuha ang coffee shop uniform ko. At least may shift pa ako sa The Daily Grind later. Baka kung maaga ako dumating, payagan akong mag-overtime. "'Te..." Jenny stirred slightly. "Wag ka mag-overwork ha?" "Matulog ka na nga." I kissed her forehead. "Text mo ko kung may kailangan ka." The morning air was crisp as I walked to the coffee shop in BGC. Manila was just waking up, pero ang dami nang corporate employees na nagmamadaling pumasok. Must be nice, having stable 9-to-5 jobs with benefits. Not that I'm complaining. Between my barista work and online teaching gigs, I was making ends meet. Barely. "Good morning, Isa!" bati ni Tita Baby, our shop manager, as I entered through the back door. "Aga mo yata?" "Morning po, Tita. Puwede po bang mag-extra shift?" She gave me a concerned look. "Naku, anak. Over 40 hours ka na this week. Baka—" "Please po?" I tried not to sound desperate. "Kay Jenny po kasi..." Her eyes softened. "Sige na nga. Pero promise me kakain ka ng proper lunch today ha?" I nodded quickly, already tying my apron. The morning rush was intense as usual. Executives wanting their caffeine fix, varied orders flying left and right. I was in my zone, efficiently making drink after drink. "One Americano!" called out my co-worker. "Got it!" I grabbed a cup, careful not to make mistakes despite my exhaustion. The shop was packed, and I could feel my hands starting to shake from fatigue. That's when I heard it. A commanding voice that seemed to make everyone else's chatter fade into background noise. "Black coffee. No sugar." I looked up and nearly dropped the cup I was holding. Standing at the counter was quite possibly the most intimidating man I'd ever seen. Tall, impeccably dressed in what looked like a hand-tailored suit. His features were sharp, aristocratic – half-Filipino, half-European maybe? But it was his eyes that caught my attention. Dark, intense, and completely devoid of warmth. "Sir?" my co-worker squeaked. "Your name po?" "Alexander." His tone made it clear he wasn't interested in small talk. I forced myself to focus on making his drink. Just another customer, Isa. Kahit mukhang may-ari ng building na 'to. My hands were still shaking as I carefully poured the hot coffee. Then everything happened in slow motion. My grip slipped. The cup tilted. Hot liquid splashed. Right onto his pristine suit. "Oh my god!" I gasped. "Sir, sorry po! Patay ako nito!" The entire shop went dead silent. I grabbed napkins frantically, trying to dab at the growing stain on his jacket. From the fabric alone, alam kong mas mahal pa 'to sa isang buwan kong sweldo. "Stop." His voice was eerily calm. I froze, napkins suspended mid-air. "Sir, I'm really sorry po. I can—" "This suit," he said slowly, "costs fifty thousand pesos." My heart stopped. Fifty thousand? Lord, paano ko babayaran 'to? "I-I'll pay for it po," I stammered, knowing full well that was impossible. "Monthly installment po pwede?" To my surprise, instead of anger, something else flickered in his eyes. Interest? Amusement? "Monthly installment?" He actually smiled, but it didn't reach his eyes. "And how long exactly do you plan to pay me back?" I did quick mental math. "Mga... ten years po?" He raised an eyebrow. "Ten years." "Five po kung mag-donate ako ng isang kidney?" I wanted to smack myself. Bakit ganun ang nasabi ko? But to my shock, he let out a short laugh. It transformed his whole face, making him look younger, almost... human. "What's your name?" he asked. "Isabella po. Isabella Santos." Something changed in his expression at the mention of my surname. He studied me more intently. "Santos... Any relation to Eduardo Santos of Santos Construction?" I stiffened. "He was my father po." "Was?" "He passed away po. Five years ago." He was quiet for a moment, then reached into his pocket and pulled out a business card. "Come to this address at 2 PM today. We'll discuss your... payment terms." I read the card: Alexander Del Rosario, CEO, Del Rosario Industries. "But sir, my shift—" "I'll speak with your manager." He turned to leave, then paused. "Don't be late, Miss Santos. I hate waiting." As he walked away, leaving coffee drips in his wake, I couldn't shake the feeling that my life was about to change dramatically. Hindi ko lang alam kung para sa ikabubuti o ikasasama ko. Little did I know, that spilled coffee would lead to the most complicated deal of my life.Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments