"Tidak! Jawabanku adalah tidak!"Howard menyandarkan badannya pada sandaran kursi rotan, pandangan tertuju jauh ke depan, melintasi tubuh Karmo -yang memiliki nama asli Yosef. Ia terkesima dengan warna kemuning padi yang terhampar luas, menandakan musim panen telah tiba."Yosef, ini perjanjian dua keluarga. Kau tidak bisa mengingkarinya!"Yosef memandang lekat kedua mata teduh dari sahabat mendiang Ayahnya itu. Bukannya ia mau mangkir dari perjanjian antar dua keluarga, Yosef hanya tidak mau lagi kehilangan. Ia terpaksa kehilangan satu putrinya, sekarang ia harus menyerahkan putri lainnya untuk diperjodohkan?"Aku kira dengan memberikan Raya untuk diasuh keluarga lain, dia akan terlindungi dari Longbottom. Sungguh, aku tidak menyangka dia justru masuk ke wilayah perbatasan musuh. Markus itu seorang Rodney? Bagaimana bisa aku melewatkannya?""Aku yakin Raya akan baik-baik saja di tangan Rodney. Longbottom tidak akan bisa menyentuhnya. Yang harus kaupikirkan sekarang adalah keselamatan
Pria berperawakan gagah itu mengusap peluh yang membasahi dahi. Ia baru pulang kerja dan mendapati kedua putrinya bermain dengan adik bungsu mereka di halaman belakang rumah. Seketika rasa lelah itu sirna. Tawa ceria ketiganya mampu menjadi penyembuh pedih yang selama ini ia sembunyikan. Istrinya selalu mengingatkan untuk melupakan masa lalu dan fokus pada kelima anak mereka. Ia rasa istrinya itu benar. Masa lalu tak bisa diubah, dan hidup tak memberi pilihan untuk kembali. Yang bisa dilakukan hanyalah menjaga masa kini dan merancang masa depan. Tidak ada yang namanya time travel untuk memperbaiki masa lalu. Misal ada pun, ia tidak akan mau memanfaatkan kesempatan itu untuk merubah takdir keluarganya. Karena hal itu akan berimbas dengan masa sekarang. Kehilangan ketiga anaknya? Tidak, itu bukan suatu pilihan."Pak? Bapak sudah pulang? Syukurlah!"Seorang remaja laki-laki tanggung sudah berdiri di belakang pria itu. Ia bergegas mencium telapak tangan sang Ayah."Dimana Ibumu, Ris?" Tan
"Aku mengaku salah, Aya." Elizabeth tertunduk. Di kanan-kirinya duduk Rengganis dan Aya."Aku meminta paksa apa yang seharusnya bukan milikku. Kini, dia menemukan jalan pulang."Aya mengernyit, "aku tidak paham maksudmu, Liz.""Kalian pasti pernah mendengar tragedi besar yang menimpa sebuah keluarga konglomerat di Belfast. Mereka dibantai satu persatu, tanpa menyisakan satu pun ahli waris.""Sebuah keluarga imigran sukses dari kawasan Asia. Ayahku pernah sekali dua kali bercerita." Rengganis menanggapi.Elizabeth menatap lekat Aya, "mereka salah! Mereka mengira telah menghabisi semua tapi Welsh berhasil menyelamatkan seorang. Ia meminta tolong Kakekku dan Howard untuk menyembunyikan remaja yang baru berusia 13 tahun itu."Elizabeth mengambil kedua tangan Aya, menggenggamnya erat. "Howard Prince membawanya ke Indonesia, ke sebuah desa kecil di kawasan kota Wonogiri." Kedua matanya berkaca-kaca, bersiap menumpahkan air mata.Rengganis yang duduk di sebelah kirinya menegakkan badan. Ia m
Setiap bibir mereka bersentuhan, Wiwid merasakan friksi luar biasa yang mengaliri seluruh nadinya. Memabukan hingga membuatnya hilang kewarasan, seperti sekarang. Aya, mungkin mendukung keputusannya beberapa saat lalu, tetapi tidak untuk yang satu ini.Wiwid menarik pinggang Rebecca agar semakin menempel pada tubuhnya. Ia membutuhkan sebuah kekuatan lain untuk mempertahankan wanita itu. Dan dengan mencumbu Rebecca, Wiwid mempunyai alasan untuk memperjuangkannya."Apa yang kaulakukan, Nang?!"Teriakan nyaring penuh amarah dari Aya terpaksa menyudahi cumbuan mereka. Namun, Rebecca bukannya menjauh, justru ia semakin mengeratkan pelukan, mencari perlindungan dari sosok yang selama ini memporak-porandakan hati dan kewarasannya.Wiwid memandangi mereka satu persatu, termasuk Rengganis yang tubuhnya oleng. Beruntung Allyson segera menangkapnya lalu menuntunnya untuk duduk. Lalu, ia menoleh ke arah sang Kakak yang memandangnya tajam, warna merah menguasai wajahnya karena amarah. Beau dan Hen
Tangis Rengganis kian pecah. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Aya yang mencoba meraih tangannya ia tampik. Rengganis berdiri, bermaksud pergi dari ruangan ini. Namun, Wiwid menangkap tubuhnya. Mendekap erat sembari mengecupi puncak kepala Rengganis."Maafkan aku, Nis. Aku mencintaimu.""Tidak!" Rengganis memukul-mukul badan Wiwid, mencoba lepas dari pelukan pria itu."Kau membohongiku selama ini. Kau tega telah menjadikanku yang kedua!"Tangis Rengganis kian keras. Terasa pedih dan menyayat setiap yang mendengarkan. Betapa tidak? Diduakan, diselingkuhi atau dimadu oleh suami saja mampu membuat remuk perasaan wanita mana pun. Apalagi jika mengetahui fakta bahwa dirinyalah merupakan orang kedua dalam mahligai pernikahan sang suami."Aku mencintaimu, Nis. Kumohon."Wiwid berusaha mencium bibir Rengganis, tapi Rengganis memalingkan wajah. Ia masih saja memberontak. Yang Rengganis inginkan saat ini adalah memeluk putranya, Arsa."Jangan pergi dari sisinya, Nis."Permintaan Elizabeth mampu m
"Namanya Daniyah Julianne Semito." Ucapan Wiwid seketika membuat Elizabeth menoleh, pria itu masih menggendong Daniyah. "Aku sudah mengurus surename Dani, Liz," lanjutnya.Wiwid seolah menjawab sirat tanya yang terpancar dari manik biru Elizabeth. Wanita itu tersenyum, ia berdiri lalu mencium kedua pipi Daniyah. "Mommy ..." Yang dibalas dengan sebuah panggilan merdu dari Daniyah.Wiwid tahu mereka semua terkejut dan mungkin bingung. Tapi, segera, Wiwid akan mengungkap semuanya. Ia tidak peduli meski pun Aya melayangkan sinyal larangan.Wiwid pun menurunkan Daniyah dari gendongan. Ia menggandengnya, mengajaknya melangkah mendekati Rengganis. 'Kita berkenalan dengan Mama Ninis dulu ya sebelum bertemu Dek Arsa?"Daniyah mengangguk. Bahkan, saking antusiasnya, Daniyah menyeret Papanya untuk berjalan ke arah Rengganis duduk. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan di hadapan Rengganis."Mama Ninis, namaku Daniyah, tapi panggil saja Dani. Dani boleh ya bertemu Dedek Arsa?"Gadis kecil di