Share

Asmara untuk Abinawa
Asmara untuk Abinawa
Author: candraksara

Pulang

"Aku dan dia tersenyum. Dia tersenyum manis karena akhirnya bisa pulang ke rumah dan aku tersenyum kecut karena dirundung nestapa"

Aku mulai bangkit dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahku yang terlihat mengenaskan karena terlalu banyak menangis. Sudah 7 hari berlalu sejak ia dikuburkan di dalam tanah merah di kuburan desa, namun dadaku masih saja sesak setiap tak sengaja melihat barang-barangnya di rumah kecil ini. 

Aku membuka kenop pintu kamar perlahan dan melangkah dengan gontai menuju ke ruang tamu yang masih dipenuhi oleh suara para tetangga yang membantuku mengadakan acara mitung dino  kematian IbuBukannya tidak ada saudara yang datang hanya saja ibuku adalah anak tunggal sekaligus yatim piatu yang tinggal di salah satu kampung kecil di kaki Gunung Merapi jai wajar kalau yang membantuku mulai dari pemakaman sampai acara tahlilan seperti ini adalah ara tetanggaku yang kasian kepadaku. Aku mendekat ke kumpulan para tamu yang sudah duduk melingkar beralaskan karpet dan duduk disebelah Bu Retno yang merupakan Ibu Kades sampai akhirnya acara mitung dino ini selesai.  Aku hanya bisa  menggumamkan kata terimakasih sambil bersalaman kepada satu persatu tetangga yang telah membantu dan menyempatkan diri untuk datang ke acara ini. 

----

Keesokan harinya sekitar jam 06.00 pagi aku telah siap dengan menenteng 2 tas jinjing berukuran besar yang berisikan barang-barang pribadiku. Kemarin dia datang dan mengatakan menemuiku dan membawaku pulang ke rumahnya karena disini aku sendirian. Aku menolak tapi Bu Retno menasehatiku bahwa aku tak mungkin hidup sendirian disini, apalagi aku masih kelas 2 SMA, jadi beliau memintaku untuk pulang saja dan menetap disana. Aku tak ingin pergi tapi keadaan yang tak menguntungkan memaksaku untuk pergi. Ku tatap lagi rumah kecil berdesign joglo ini dengan perasaan yang berkecamuk. Hati dan logikaku saling bertentangan, disatu sisi aku masih ingin berada disini namun disisi lain ada alasan lain sehingga aku harus meninggalkan tempat ini. 

"Ta, sampai kapan kamu mau disini?", tanya lelaki tua itu padaku. Aku hanya menoleh sebentar lalu membantunya memasukkan tasku ke dalam bagasi mobil yang telah ia bukakan dan melangkah menuju kursi penumpang di samping kemudi. Sepanjang perjalanan ke Jakarta hanya ada suara radio yang terdengar. Aku memilih diam dan laki-laki tua tadi hanya menyetir dengan ekspresi wajah datar yang kuartikan bahwa dia juga enggan membuka obrolan. 

Setelah 10 jam akhirnya mobil kami berhenti di depan rumah minimalis berwarna putih yang merupakan rumah laki-laki tua ini. Ia mulai membuka bagasi dan menurunkan semua tasku, sedangkan aku masih terdiam sambil mengamati rumahnya yang kecil namun terlihat nyaman. 

"Ayo masuk", ujarnya dengan intonasi datar yang membuatku tersentak dari lamunanku. 

Aku mengikutinya dari belakang dengan langkah kecil sambil mengamati bagian dalam rumahnya sampai akhirnya kami sampai didepan pintu berwarna putih yang katanya merupakan kamar untukku. 

"Ini kamar kamu dan yang di depan itu kamar Ayah", ujarnya sambil memberikan kunci pintu berbandol bunga mawar merah yang kuterima dengan setengah hati. 

"Terimakasih", ucapku dengan lirih dan Ayah meninggalkanku sendiri karena mungkin baginya aku butuh ruang dan waktu untuk beradaptasi di kamar baruku. 

Tidak ada yang spesial dari kamar ini,  ukurannya hanya berkisar 3x3 m dengan kamar mandi di dalam jadi aku tidak perlu repot-repot keluar kamar hanya untuk mandi dan membuang hajat, dindingnya berwarna putih dengan ranjang  dan lemari ukuran sedang yang berwarna putih pula.  Aku membuka lemari putih itu dan memastikan bahwa didalamnya bersih untuk kemudian membuka resleting tasku dan mulai mengambil baju-bajuku untuk kumasukkan ke dalam lemari baruku. Setelah selesai memasukkan dan menata ulang barang-barangku aku berdiri diujung kamar dan mulai mengamati lagi isi dari kamar baruku sampai akhirnya netraku melihat laci di bawah ranjangku yang ternyata setelah kubuka berisi beberapa potong sprei dan bed cover berwarna putih gading. Aku tersenyum kecil dan mulai mengerti alasan mengapa aku menyukai warna putih.  

Hari sudah beranjak malam ketika aku selesai membersihkan badan, ku letakkan handuk basahku di  tempatnya dan mengambil salah satu figura yang ku pajang di meja dekat  ranjangku. Aku mulai membaringkan tubuhku di atas ranjang yang lebih empuk daripada ranjang di rumahku yang dulu. Ku elus-elus foto Ibu dan diriku sambil tersenyum tipis, ku peluk figura itu dalam diam selama beberapa saat hingga samar-samar terdengar suara ketukan di pintu kamarku. 

Tok tok tok...

"Ayo makan malam dulu ta", ujar suara yang tak asing di telingaku namun kuhiraukan karena tubuhku yang kelelahan, bahkan terlalu lelah hanya untuk sekedar makan malam bersamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status