Dua tahun kemudian, aroma laut Uskudar berganti dengan wangi tanah basah di pinggiran kota Bogor. Rumah yang mereka tempati kini jauh dari keramaian, dikelilingi pohon kopi dan ladang kecil yang menguning saat musim panen tiba. Bima, yang sudah pensiun dari dinas militernya, lebih sering mengenakan kaos polos dan celana pendek, berjalan tanpa alas kaki sambil menggendong bayi kecil di pundaknya."Pelan, Pak Komandan. Bayinya belum bisa dikasarin," seru Arafah dari dapur."Namanya bukan kasar, ini latihan jadi tentara," jawab Bima sambil mencium pipi bayi itu, yang langsung tertawa renyah.Anak perempuan mereka, Aksara, kini berusia 11 bulan. Lahir dengan rambut hitam tebal dan tatapan yang penuh rasa ingin tahu, seperti Arafah. Tapi setiap kali dia tertidur di dada Bima, tak ada yang bisa menyangkal bahwa dia juga punya ketenangan yang hanya dimiliki oleh ayahnya.Bima masih ingat hari itu—seperti napas pertama setelah tenggelam terlalu lama. Aksara baru lahir dua minggu. Kulitnya mas
Udara pagi di Uskudar masih dingin saat suara langkah kaki kecil menggema dari arah rumah putih itu. Panca, bocah lima tahun dengan rambut acak dan tawa khas yang memecah sunyi, berlari-lari kecil menuju taman belakang. Di tangannya ada dua gelas susu cokelat, satu untuk dirinya, satu lagi untuk orang yang tak henti dia sebut sebagai "ayah."Bima menyambutnya dengan senyum yang tidak lagi menyimpan ragu. Dia duduk di bangku taman yang sama, tempat melamar Arafah malam–malam sebelumnya. Matanya menatap langit yang mulai membiru, lalu beralih ke wajah anak itu—wajah yang kini tak asing, tak lagi mengundang pertanyaan."Aku bawa ini, Ayah," kata Panca bangga."Terima kasih, Nak," jawab Bima. Kata 'Nak' meluncur begitu saja, ringan dan hangat seperti matahari pagi yang mulai naik.Tak lama, Arafah muncul dari balik pintu kaca, membawa selimut dan roti panggang yang baru matang. Dia tak lagi mengenakan baju rumah, tapi sebuah sweater panjang warna lembut dan rok sederhana. Berkerudung sepe
Bima menatap Panca yang berlari-lari kecil di taman yang tak jauh dari rumah. Tawanya lepas, seakan dunia tidak memiliki beban sedikit pun di bahunya. Bocah itu berlari menuju ayunan dan meminta Bima untuk mendorongnya lebih tinggi.Bima tersenyum samar, berjalan ke belakang Panca, lalu mendorong ayunan perlahan. Setiap tawa bocah itu adalah suara yang menenangkan, tetapi sekaligus menyakitkan bagi Bima—karena dia baru mendengar suara itu sekarang, lima tahun terasa begitu terlambat.Di sisi lain, Arafah duduk di bawah pohon, memperhatikan mereka dari jauh. Dia mengira melihat Bima dan Panca bersama akan membuatnya merasa takut. Dia mengira, jika Bima mulai terlibat dalam hidup mereka, dirinya akan merasa cemas bahwa dia akan kehilangan putranya. Namun, kenyataannya, melihat mereka bersama justru menimbulkan perasaan lain—perasaan yang jauh lebih dalam dari sekadar ketakutan. Kerinduan. Lima tahun, Arafah hidup dalam ketidakberadaan Bima di sisinya. Lima tahun, dia membangun din
Sejak hari itu—hari ketika mata Bima bersirobok dengan masa lalu yang tak pernah benar–benar dia kubur—waktu seolah berjalan begitu pelan. Pertemuannya dengan Arafah di Masjid Biru telah mengguncang segala yang selama ini dia usahakan untuk dikubur dalam-dalam: kenangan, cinta, dan luka yang tidak pernah sembuh.Bima menyimpan pertemuan itu rapat–rapat di dalam dada, seperti bara yang tak padam. Namun malam-malam di Istanbul tak memberinya cukup ruang untuk tenang. Kenyataan bahwa perempuan itu masih hidup telah mengaduk isi jiwanya. Terlebih saat menyadari kemungkinan besar bahwa anak itu—anak bernama Panca—mungkin adalah darah dagingnya.Di sebuah penginapan kecil di pinggiran Eminönü, Bima duduk membisu di balkon, membiarkan dingin senja menempel di kulit. Cahaya matahari terakhir mengalir ke sela dedaunan, seolah mencoba menyelinap ke celah hatinya yang tertutup rapat.Bima mengangkat ponsel dan menekan nama yang telah lama menjadi tempatnya bersandar—dokter Yudha. Sambungan tersa
Sudah tiga kali Bima melangkahkan kaki ke Masjid Biru, namun baru kali ini hatinya terasa benar–benar kosong.Kunjungan pertama, niat awalnya hanya ingin mencari damai. Menyendiri dari riuh dunia yang terasa asing sejak kepergian Arafah, Kirana, juga putranya yang tak sempat mengenal dunia. Namun, di sela langkah para pengunjung yang saling berpapasan, Bima melihatnya—sosok perempuan berkerudung putih. Sekilas, cukup untuk mengguncang dadanya. Wajah itu, bahu yang sedikit miring ke kiri, gerak bibir yang pelan saat membaca ayat—semuanya menyerupai Arafah. Tapi seperti bayangan, perempuan itu lenyap sebelum sempat dia pastikan.Kedua kalinya, Bima datang membawa harapan kecil yang nyaris tak bernama. Di pelataran masjid, seorang bocah lelaki dia selamatkan. Bocah itu menoleh dan tersenyum, menyapa dengan nama yang terlalu manis untuk dilupakan."Namaku Panca," katanya riang. Ada yang aneh di wajahnya—seperti cermin yang menampakkan masa lalu. Alisnya, garis rahang, cara diamemiringkan
Sejak hari itu—hari ketika Bima mengira melihat siluet Arafah di antara ribuan jamaah Masjid Biru—Istanbul tidak lagi terasa sama.Ada yang berubah. Bukan pada langitnya, bukan pula pada arsitektur masjid yang tetap megah menantang waktu. Tapi pada dadanya. Pada sesuatu yang tiap sore datang sebagai degup yang tak mau diam, sebagai tanya yang menggantung di ujung-ujung langit senja.Maka setiap kali tugas berakhir, ketika suara tembakan dan perintah komando sudah berubah jadi bisikan-bisikan azan, Bima selalu kembali ke sana.Ke Masjid Biru.Bukan hanya untuk bersujud, melainkan untuk berharap. Barangkali Tuhan berkenan menyusun ulang waktu. Barangkali takdir kali ini tak berlalu.Sore itu, langkah Bima mengarah ke tempat wudhu di sisi utara masjid. Hujan turun perlahan, tak deras, tapi cukup membuat bebatuan marmar di sekitar masjid jadi licin. Bima baru saja menggulung lengan bajunya ketika matanya menangkap sosok kecil berlari-lari di antara keran wudhu.Seorang anak lelaki kecil—r