Bima duduk di ruang kerja sembari terus menatap tiket pesawat tujuan Turki yang sudah dia genggam sedari tadi. Jemarinya mengepal di atas kertas seolah berharap benda mati itu bisa membawanya langsung ke Arafah tanpa harus melalui semua kesulitan yang ada.Napas lelaki berparas tampan itu lebih berat dari biasa, dadanya sesak. Bima sudah menyiapkan segalanya. Tapi meski begitu, entah mengapa seolah ada sesuatu yang menariknya kembali—ke neraka yang dia tinggalkan sejak Arafah pergi.Dan neraka itu datang dalam bentuk Kirana."Kamu nggak boleh pergi.""Jangan pernah berpikir tinggalin aku sendiri.""Aku nggak ijinin kamu pergi, Bima. Aku serius!"Suara wanita yang usianya lebih muda dari Bima itu terdengar tajam, hampir seperti perintah dan bentakan. Kirana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan—antara dingin dan penuh keyakinan yang memuakkan.Bima meremas tiket di tangannya, berusaha menahan diri. "Saya tidak peduli dan tidak butuh ijin darimu, Kirana. Saya
Malam pertama di Istanbul begitu sunyi. Kota megah itu berdiri kokoh, tetapi bagi Arafah semua terasa asing. Setibanya di Turki, Arafah melangkah keluar bandara dengan hati yang masih diliputi perasaan hampa dan kosong. Udara dingin menyapa kulitnya, kontras dengan panas yang masih tertinggal di dada. Semua terasa jauh dari rumah—jauh dari Bima.Di parkiran, seorang sopir telah menunggunya sedari tadi, sesuai dengan yang telah diatur Kirana. Tanpa banyak bicara, Arafah masuk ke dalam mobil dan membiarkan pikirannya melayang entah ke mana sepanjang perjalanan ke hotel."Mas Bima, aku sampai di Turki," bisiknya, berdialog dengan diri sendiri. "Semoga kamu ridhoi. Semoga kamu tidak terlalu shock mendengar kabar kepergianku."Setibanya di hotel, Arafah disambut oleh resepsionis yang sudah mengantongi namanya. Kirana benar-benar membuktikan janji dengan mengurus segala kebutuhan Arafah. Kamar sudah dipesan, bahkan ada berkas-berkas pekerjaan yang ditinggalkan di meja, seolah-olah masa depa
Orang-orang berlalu lalang dengan koper dan tas di tangan mereka, sibuk akan perjalanan masing-masing. Namun, di salah satu sudut terminal keberangkatan internasional, ketegangan memuncak antara dua perempuan yang berdiri saling berhadapan.Arafah, perempuan berhijab dengan gaun sederhana berwarna biru muda itu menggenggam erat paspor di tangan. Bibirnya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena keragu–raguan yang dia tahan.Di hadapannya, Kirana berdiri dengan dua tangan terlipat di dada, matanya memancarkan tatapan tajam yang sulit diartikan—antara amarah dan keteguhan."Kasih saya waktu sebentar—""Astaga! Kamu pikir dengan tetap di sini, kamu bisa membuat Bima bahagia?" Kirana memotong cepat, menatap Arafah dengan pandangan tajam dan penuh tekanan.Helaan napas perempuan yang begitu bersemangat memisahkan Arafah dengan suaminya terdengar panjang. "Pergi, Arafah. Jangan banyak berpikir dan membuat semuanya bertambah rumit," sambung Kirana geram.Arafah menunduk, kedua tangannya m
[Selamat tinggal, Mas Bima. Dari seseorang yang pernah menjadi istrimu.]Bima terduduk di kursi, menatap surat di tangannya dengan ekspresi beku. Rahang yang ditumbuhi bulu halus itu mengeras, dadanya naik—turun perlahan, mata elang prajuritnya tetap terpaku pada tulisan tangan yang begitu dia kenal.Jemari Bima mengepal erat hingga kertas yang diberi Jihan nyaris remuk. Hatinya terasa dicabik-cabik, tapi tubuhnya membatu, seolah menolak menerima kenyataan.Jihan, yang berdiri di seberang Bima, semakin cemas. Sudah berulang kali gadis muda itu memanggil nama sang kakak, tetapi lelaki itu tetap diam. Tidak ada reaksi, tidak ada kedipan. Hanya sunyi yang semakin menyesakkan."Abang, bilang sesuatu, dong!" pekik Jihan bergetar, suaranya tercekat. "Jangan diem gini. Abang bikin aku takut. Katakan sesuatu, aku khawatir."Bima tetap tidak bergerak. Hanya napasnya yang semakin berat, semakin dalam."Abangggg!" Kali ini Jihan meninggikan suara. Sudah tidak tahan lagi melihat kakak laki–lakiny
Malam yang panjang terasa begitu dingin. Bima melangkah tanpa arah di sepanjang trotoar, melewati lorong-lorong kota yang masih ramai meski hari sudah larut. Matanya nanar, dipenuhi harapan yang makin menipis. Dia tlah mencari ke setiap sudut yang memungkinkan, berharap bisa menemukan Arafah di antara keramaian.Stasiun. Tempat yang paling masuk akal untuk dikunjungi. Bima berdiri di peron, matanya menyapu setiap sosok yang berlalu lalang. Hatinya berdebar saat melihat seorang wanita berkerudung biru berjalan menjauh. Langkahnya cepat, tubuhnya mungil. Tanpa pikir panjang, Bima berlari menyusulnya."Arafah!" suaranya parau, dipenuhi ketegangan dan kerinduan.Wanita itu menoleh. Namun bukan Arafah. Bima tertegun, dadanya sesak. Sudah berapa kali dia mengalami hal yang sama? Halusinasi. Harapan yang begitu kuat hingga pikirannya menipunya.Bima melanjutkan pencariannya hingga pagi menjelang. Langit mulai terang, tetapi tubuhnya makin lunglai. Kaki Bima sudah hampir tak sanggup melangkah
Bima hampir merobohkan seluruh isi rumah dalam upayanya mencari sesuatu—apa saja—yang bisa memberinya petunjuk ke mana Arafah pergi.Tapi tidak ada.Lemari kosong. Meja rapi. Rak sepatu tanpa jejak.Arafah pergi tanpa meninggalkan satu pun tanda, tanpa satu pun pesan. Bima merasa seperti tubuhnya dilempar ke jurang tanpa dasar. Dada sesak, napasnya pendek, pikirannya kalut."Arafah .…" Suara itu keluar dari bibirnya, pelan, hampir seperti bisikan putus asa. "Ya Allah tolong, tolong jangan lagi. Jangan biarkan hamba–Mu ini tertimpa musibah lebih dari ini."Pikiran Bima masih denial. Di otaknya hanya tertanam satu kalimat—tidak mungkin Arafah pergi begitu saja, tidak mungkin Arafah meninggalkannya.Bima gegas berlari keluar. Berdiri di depan rumah dengan matanya terus menyapu sekeliling, berharap menemukan sosok Arafah di antara bayang-bayang malam. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang istri.Langkah Bima mulai gontai, namun dia tak mau menyerah. Dengan napas berat, Bima me