Langit sore terlihat kelabu saat Arafah melangkah pulang dengan hati yang hancur. Jalanan yang biasa terasa hangat kini terasa dingin, seolah angin senja ikut menyerap segala kewarasan yang tersisa dalam dirinya.Setiap langkah kini terasa lebih berat. Kata-kata Aisyah—Ibu mertuanya—terus terngiang di kepala Arafah, berputar seperti jarum yang menusuk langsung ke dalam jantungnya."Aku akan bersedia menerimamu sebagai menantu asal kau mengizinkan Bima menikah kembali dengan Kirana."Arafah menelan ludah, berusaha mengusir perasaan nyeri yang menggumpal di dadanya.Dalam hati, Arafah menjerit pedih. Dia sudah mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya ujian, bahwa dia harus kuat. Tapi bagaimana dia bisa tetap kuat ketika yang menolaknya adalah ibu dari pria yang sangat dia cintai?Ketika akhirnya Arafah sampai di rumah, suasana begitu sepi.Bima belum pulang.Arafah melepas sepatunya dengan perlahan, melangkah masuk tanpa suara. Langkahnya gontai berjalan menuju kamar, mendudukka
"Dia mencintai Kirana?" ulang Arafah hampir tidak percaya. "Apa dia yang bilang ke Ibu kalau dia mencintai perempuan itu? Mas Bima yang bilang dia mencintainya?"Aisyah tersenyum tipis, lalu mengangguk yakin. "Bima dan Kirana sudah saling mengenal sejak lama. Mereka memiliki sejarah bersama. Aku yakin, jauh di dalam hatinya, dia tahu siapa yang terbaik untuknya."Arafah menggigit bibirnya semakin erat. Dia ingin mengatakan bahwa Bima–lah yang memilihnya. Bahwa Bima–lah yang datang kepadanya dan mengulurkan tangan saat dia tidak memiliki siapa-siapa.Namun, kata-kata itu tidak keluar.Arafah hanya bisa duduk di sana, menahan air matanya agar tidak jatuh.Aisyah menatapnya dengan tatapan penuh harapan."Arafah," katanya pelan, "Jika kau benar-benar mencintai Bima, kau pasti ingin yang terbaik untuknya, bukan?"Arafah mengepalkan tangannya di bawah meja. Suara Aisyah begitu lembut, tetapi kata-katanya terasa seperti belati yang menusuk hatinya berkali-kali.Setelah beberapa saat, Arafah
Aisyah duduk di ruang keluarga menggenggam ponselnya dengan erat. Panggilan telepon dari Kirana masih terngiang di kepalanya. Perempuan paruh baya itu memijat pelipis, merasakan kepalanya yang bertambah berat.Pikiran-pikiran berkecamuk. Di satu sisi, Aisyah merasa sulit menerima Arafah sebagai menantu. Di sisi lain, Kirana—gadis yang sejak lama dikenalnya dan sudah dijodohkan dengan Bima—memohon agar pernikahan itu tetap terjadi."Aku akan pikirkan caranya."Itu yang tadi Aisyah katakan kepada Kirana. Namun, bagaimana caranya? Haruskah dia benar-benar memisahkan Bima dan Arafah? Atau, haruskah dia merelakan impiannya tentang menantu idaman?Suara langkah kaki terdengar mendekat. Jihan, yang baru saja melewati ruang keluarga, melihat ekspresi ibunya yang tampak gelisah. Dahinya berkerut."Bu, ada apa?" tanya Jihan hati-hati.Aisyah terkejut sedikit, baru menyadari keberadaan putrinya sebab lama melamun. Dengan cepat menaruh ponsel di meja dan mencoba tersenyum. "Nggak ada apa-apa," ba
Bima melangkah keluar dari ruangan atasannya dengan ekspresi dingin dan hati yang masih dipenuhi amarah yang tertahan.Pembicaraan dengan sang Kolonel barusan benar-benar menguras kesabaran. Dia tidak menyangka perjodohan ini masih terus dibahas seolah-olah pernikahannya dengan Arafah tidak berarti apa-apa.Baru saja Bima menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, langkahnya terhenti ketika mendengar suara yang entah sejak kapan menjadi semakin familiar."Mas Bima?"Bima, yang disebut namanya, lantas menoleh. Di ujung lorong, berdiri seorang perempuan dengan postur anggun dan ekspresi tenang. Kirana.Perempuan itu tersenyum tipis, langkahnya ringan saat menghampiri Bima. Tidak ada sorot kemarahan, kekecewa, ataupun benci di matanya—tidak seperti yang Bima bayangkan."Kita jadi sering bertemu akhir–akhir ini," kata perempuan yang lebih muda dari Bima itu dengan santai. "Baru dari ruangan Paman, Mas?" sambung Kirana bertanya.Bima mengangguk, tidak banyak bereaksi. Sedang Kirana t
Bima mengetuk pintu ruang kerja atasannya dengan mantap, meski pikirannya dipenuhi berbagai dugaan tentang alasan pemanggilannya hari ini.Setelah mendengar suara dari dalam, Bima mendorong pintu dan masuk dengan sikap tegap.Di balik meja kayu besar, seorang pria paruh baya dengan seragam rapi duduk dengan ekspresi tenang. Paman Kirana, atasan Bima, Kolonel Darmawan adalah sosok yang cukup disegani di lingkungan militer. Selain karena pangkatnya, pria itu juga dikenal dengan cara berpikirnya yang strategis dan ambisius."Silakan duduk, Bima," ujar prajurit kebanggaan negara itu sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi.Bima mengangguk dan duduk dengan sikap tetap tegap. "Ada yang ingin Komandan bahas dengan saya?" tanyanya langsung. To the point.Kolonel Darmawan tersenyum kecil. "Tidak ada yang mendesak, hanya ingin berbincang. Lama juga kita nggak ngobrol santai."Bima hanya mengangguk. Dari cara Darmawan berbicara, jelas ada sesuatu yang ingin disampaikan olehnya."Bagaimana keadaan
Hening kembali menyelimuti ruangan.Jihan menggigit bibirnya, merasa perih melihat kakak iparnya harus melewati ini semua sendirian.Arafah menarik napas dalam, menenangkan hatinya. "Saya tidak tahu apakah suatu hari nanti saya bisa mendapatkan penerimaan kalian seutuhnya. Tapi saya harap, saya bisa mendapatkan sedikit kepercayaan kalian."Setelah mengatakan itu, Arafah membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Saya permisi dulu."Tanpa menunggu jawaban, perempuan berparas anggun itu berbalik dan berjalan menuju pintu.Jihan buru-buru menyusulnya. "Kak, tunggu! Aku telpon abang biar jemput kakak, ya?"Arafah menggeleng. "Aku baik-baik aja, Jihan."Jihan menggigit bibir, menahan emosinya. Adik perempuan Bima itu ingin sekali memeluk Arafah, ingin mengatakan bahwa tidak semua orang dalam keluarga ini menolak kehadirannya. Tapi dia tahu bahwa Arafah butuh waktu untuk sendiri.Jihan hanya bisa menatap kakak iparnya keluar rumah dengan langkah tegap, saat itu juga, Jihan merasa kecewa deng