“Kak Langitt….,” Cherry berteriak memanggil Langit di depan pintu kamar lelaki itu, Langit yang baru saja berhasil memejamkan mata terlonjak kaget mendengar teriakan adiknya.
“Kenapa?” tanya Langit panik, takut terjadi apa-apa pada Cherry.
“Hehe gak ada apa-apa,” jawab Cherry sambil terkekeh pelan.
“Ada apa?” tanya Langit lagi, ia yakin ada yang ingin disampaikan Cherry, kalau tidak mana mungkin ia berteriak.
“Hehe, Kak, Gue izin keluar ya.” Cherry mengatakannya dengan nada tidak enak, meskipun ia yakin Langit tidak akan mengizinkan, tapi tidak ada salahnya mencoba bukan?
“Gak.”
Benar saja dugaan Cherry, bahkan Langit langsung mengatakan tidak sebelum ia mengatakan alasannya izin keluar. Langit bersiap menutup pintu kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat ulah Cherry, melihat hal itu Cherry segera mengatakan tujuannya keluar rumah.
“Gue mau jemput Green, Kak, dia mau nginep di sini, plis boleh yaa?” Cherry memohon pada Langit agar diizinkan keluar untuk menjemput Green di tempat kerja.
“Green?”
“Iya Green, dia masih di tempat kerja.”
Setelah kemarin melihat Green mengajari anak-anak jalanan, Langit menemukan fakta baru tentang Green yang ternyata kuliah sambil bekerja, Langit semakin dibuat kagum pada sosok itu.
“Kak..,” Cherry mengguncang lengan Langit, menunggu laki-laki itu membuat keputusan.
“Kamu di rumah aja, biar Kakak yang jemput Green.”
“Tapi Kak…”
“Gak ada tapi-tapian Cherry, ini sudah malam!” titah Langit tak ingin dibantah.
Bahu Cherry meluruh, padahal ia sangat ingin menjemput Green, tapi apa daya ia tidak bisa melawan Langit, laki-laki itu bisa marah dan mengembalikannya pada Kalila dan Jerry jika ia membantah, Cherry tak ingin hal itu terjadi.
“Oke, tapi emang Green mau dijemput sama lo?”
“Mau, kirim alamatnya, Kakak jalan sekarang.”
Langit masuk ke kamarnya, mengambil kunci mobil dan mengganti piama tidurnya dengan hoodie berwarna navy dan celana jeans hitam.
***
Langit dan Green sudah duduk di kursi masing-masing, Langit mengemudi dengan tenang, disampingnya tampak Green yang tengah berusaha menahan kantuk, hal itu tak lepas dari penglihatan Langit. Langit tersenyum tipis menyaksikan hal tersebut, ia segera memberikan bantal leher milik Cherry pada Green.
“Pake ini, supaya lehernya gak sakit.”
Green menoleh sejenak, tak langsung mengambil bantal leher tersebut. “Pake, kamu ngantuk, kan?” Langit menyodorkan benda itu agar Green menerimanya. Lagi-lagi Green hanya diam, dalam kondisi seperti ini pun ia masih memikirkan perasaan Alta dan curiga pada Langit.
“Jarak dari sini ke rumah saya sekitar 40 menit, kamu bisa tidur sebentar, kalau sudah sampai akan saya bangunkan.”
Mendengar penuturan itu, pandangan Green semakin menyelidik. Tangan yang semula ingin mengambil bantal tersebut ia tarik kembali, kecurigaannya pada Langit semakin menjadi, “Saya gak akan macam-macam, Green, kamu tenang aja.”
Langit mengubah gaya bahasanya menjadi lebih santai, ia berharap dengan begitu Green pun bisa bersikap santai padanya, tak selalu curiga dan berpikir buruk.
“Saya gak ngantuk,” tutur Green sambil menguap.
“Kamu tuh ya, jelas-jelas gesture sama ucapan gak sinkron.”
Langit memasangkan bantal tersebut pada leher Green, seketika tatapan Green berubah menjadi tajam. “Udah saya bilang─”
“Saya gak nyentuh kamu Green.”
“Dasar modus!” ujar Green sambil membuang muka, menatap ke arah jendela.
Langit memilih tak menanggapi, ia kembali fokus pada kemudi. Belum sampai lima menit sejak kejadian tadi, Langit dapat mendengar suara dengkuran halus yang bersumber dari sosok disampingnya. Sosok itu bersandar ke sebelah kiri, menggunakan bantal leher yang dipasangkan Langit.
“Green, Green, katanya gak ngantuk,” ujar Langit menatap Green sambil tersenyum.
Perjalanan menuju rumah Langit memakan waktu 40 menit, seperti yang dikatakan lelaki itu pada Green tadi, namun sebuah kecelakaan lalu lintas membuat perjalanan mereka menjadi lebih lambat. Dengan sabar, Langit menunggu sambil sesekali memperhatikan Green.
“Maaf ya, Green, saya sentuh kamu. Posisi kamu harus dibenerin, kalau enggak pas bangun nanti leher kamu sakit.” Langit berbicara seolah Green membuka mata, padahal yang diajak bicara sudah terlelap atau mungkin sudah sampai ke alam mimpi. Langit membenarkan posisi Green agar tidak terlalu miring ke sebelah kiri.
Tampak mobil polisi dan ambulance beriring-iringan mengevakuasi korban kecelakaan yang sepertinya berjumlah lebih dari satu. Green masih memejamkan mata, sama sekali tak terganggu dengan suara sirene yang memekakan telinga.
“Green, saya salut sama kamu,” tutur Langit sambil menatap Green yang tengah memejamkan mata.
“Semoga dengan berteman sama kamu, adik saya bisa lebih menghargai hidup.” Langit terus berbicara, hingga perlahan lalu lintas kembali normal.
***
Saat tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul 23.15 wib. Langit menatap Green, memanggil-manggil namanya sambil menepuk-nepuk pipi Green secara perlahan, berharap Green membuka mata dan terjaga dari tidurnya.
“Green, kita sudah sampai.” Langit berbisik tepat di telinga wanita itu, namun tak ada respon, Green masih memejamkan mata. Sampai percobaan ke lima, Green tak kunjung memberi respon, bahkan tak ada tanda-tanda wanita itu akan membuka mata, matanya terpejam sempurna.
“Kalau gue gendong, nanti dia marah, kalau gue tinggal pasti lebih marah,” tutur Langit pada dirinya sendiri. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Langit menggendong Green, membawa wanita itu menuju kamar Cherry.
“Cher..,” panggil Langit saat berada di depan pintu kamar adiknya.
“Masuk, Kak,” jawab Cherry dari dalam dengan suara serak, sepertinya Cherry pun telah terlelap.
Langit masuk ke dalam kamar bernuansa kuning sambil menggendong Green yang tak terusik sedikitpun. “Green udah tidur?” tanya Cherry sambil mengucek-ucek matanya.
“Udah, dari tadi.”
Langit merebahkan Green di sebelah Cherry dengan hati-hati. “Tolong sepatunya Green dilepas, Cher,” ujar Langit setelah meletakkan Green.
“Lo aja, gue ngantuk banget.”
Mau tidak mau Langit melakukan hal tersebut, ia melepas sepatu Green beserta kaus kaki pink yang digunakan wanita itu, setelahnya meletakkan tas ransel yang juga berwarna pink di meja belajar Cherry.
“Kalau keluar, lampunya tolong dimatiin, Kak. ” pinta Cherry.
Sebelum benar-benar keluar, Langit mengamati wajah polos Green yang tengah tertidur sekali lagi, wajah lelahnya sangat kentara, Langit memberanikan diri mengelus pipi Green dengan lembut. “Selamat tidur.”
Cherry yang belum memejamkan mata dengan sempurna melihat hal tidak biasa yang dilakukan Langit, sebenarnya ia sangat ingin menggoda Langit namun rasa kantuk mengalahkan niatnya.
Langit bergegas keluar dari kamar Cherry setelah mematikan lampu, saat hendak menutup pintu, Green mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. “Alta, jangan tinggalin aku.”
“Siapa sebenarnya Alta? Dan di mana laki-laki itu? mengapa Green selalu menyebut namanya?” Langit bertanya dalam hati, ingin sekali bertanya pada Green secara langsung, namun apakah Green akan memberikan jawaban? Sepertinya tidak, wanita itu sangat sulit didekati dan sepertinya juga sangat tertutup sekali, terlebih jika menyangkut urusan pribadi.
“Alta, jangan pergi…”
Nama itu lagi, Green menyebut nama itu lagi sebelum Langit benar-benar keluar dari kamar tersebut. Akhirnya ia berbalik, menghampiri Green yang telah berkeringat dalam keadaan mata terpejam, sepertinya wanita itu tengah bermimpi buruk, Langit menggenggam jemari Green dengan lembut. “Saya, di sini Green.”
“Jangan pergi.”
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n