Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya.
Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.
&n
“Kak Langit, kakak kok tega sih ngasih tugas sebanyak ini? Gak punya perasaan banget,” ucap Cherry sambil mengerucutkan bibirnya,Sosok bertubuh mungil dengan rambut panjang menjuntai itu adalah Cherry Alexandra, adik dari Langit Danendra Adyaksa, dosen muda di Unversitas tempat adiknya berkuliah sekaligus penulis terkenal. Lelaki berlesung pipi dengan tinggi 180 cm dan kulit bersih serta bibir merah muda itu hanya diam menerima kemarahan sang adik. Cherry yang berdiri di ambang pintu tengah memaki Langit, menurutnya Langit sangat keterlaluan dalam memberikan tugas. Sementara Langit yang menerima makian itu tak beraksi apa-apa, ia lebih senang menatap monitor daripada meladeni Cherry yang menilai dirinya sebagai dosen tak berperasaan.“Kak.., kakak denger aku gak, sih?” Cherry masuk dan menghampiri sang kakak dengan wajah kesalnya.“Hmmmmm…,” jawab Langit tanpa mengalihkan pandangannya.“Cherry gak mau ngerjain tugas dari kakak!” ujar Cherry tanpa basa-basi sambil cemberut. Ia lebih s
Sejak pukul 02.00 dini hari tadi Green tak lagi memejamkan mata hingga pagi menjelang. Suara ayam berkokok menandakan malam telah berganti. Green memutuskan bangkit dari tempat tidur untuk membersihkan diri dan bersiap melaksanakan ibadah salat subuh. Pagi ini ia akan mencoba menghubungi Alta kembali, setelahnya akan bekerja seperti biasa kemudian mengerjakan tugas kuliah bersama Cherry.“Gue yakin, Alta setia sama gue, dia gak akan macem-macem.” gumamnya pada diri sendiri.Selepas membereskan tempat tidur, Green segera pergi ke kamar mandi. Ia mengawali hari dengan segala pikiran positif agar harinya berjalan baik. Green berada di kamar mandi selama beberapa menit, setelah itu ia melaksanakan ibadah salat subuh.Tepat setelah Green menyelesaikan ibadahnya, ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk. Dengan cepat Green menyambar ponselnya, ia yakin pesan tersebut pasti dari Alta. Helaan napas terdengar dari bibirnya setelah melihat ternyata pesan yang ia terima bukanlah pesan dari
Green berjalan sambil melamun, Alta tak kunjung menghubunginya, entah kemana perginya lelaki itu sampai tak membalas pesannya. Kesibukan apa yang tengah dilakukannya sampai membalas pesan yang hanya dua detik saja tak sempat dilakukan. Merasa lelah dengan penantian menunggu kabar, Green mengalihkan pikirannya agar tak selalu tertuju pada hal tersebut. Green diam sejenak, ingatannya kembali pada kejadian tadi, ia seperti mengenal lelaki yang beberapa menit lalu menolongnya, wajahnya tidak asing, tapi ia tak ingat pernah bertemu lelaki itu dimana. “Sekilas gue kayak pernah liat, tapi dimana ya?” tanya Green pada diri sediri.Novel yang sejak tadi berada ditangannya belum sempat ia buka, Green tersenyum membaca quotes yang terdapat dalam sampul depan novel tersebut. “Untuk kamu yang pernah terluka di masa lalu,” begitulah bunyi kutipan itu. Sejak pandangan pertama, novel tersebut telah menarik minatnya. Green menertawai dirinya sendiri, masa lalunya memang tidak indah, ia memiliki banya
Green menarik tangannya dari genggaman Langit sesegera mungkin, ia tak ingin bersentuhan dengan lelaki lain lebih dari 5 detik karena menurutnya itu bukan sesuatu yang baik. Cherry yang menyadari ketidaknyamanan Green segera mengusir Langit. “Udah sana Kak, gue sama Green mau ngerjain tugas dari lo!”Langit tersenyum simpul. “Oke, semangat,” ujarnya menatap ke arah Green.Cherry dan Green tak menanggapi ucapan semangat yang dilontarkan Langit, mengucapkannya memang mudah namun praktiknya tidak semudah itu. Sebelum Langit benar-benar pergi, Cherry memanggil sang kakak, “Kak Langit…”“Iya?” Langit menoleh menatap sang adik untuk meminta penjelasan.“Gue minjem novel lo yang Kilas Balik dong, Green sama gue mau analisis novel itu,” ujar Cherry mengutarakan maksudnya.“Ambil aja di perpus.”“Oke, makasih, Kak.”Langit mengacak-acak rambut Cherry. “Pilihan yang bagus,” tuturnya sambil tersenyum kemudian berbalik meninggalkan Cherry.“Pilihan yang bagus apaan, nyiksa yang ada.” Cherry mengg
“Ayo Green, saya antar pulang. Rumah kamu dimana?”Green masih diam, bingung harus merespon bagaimana. Apakah menerima tawaran dosen sekaligus kakak temannya atau menolak niat baik itu. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Green memilih opsi kedua, ia memilih untuk pulang sendiri, lagipula Green telah berjanji pada Alta untuk tak dekat dengan lelaki mana pun.“Gue pulang sendiri aja Cher, makasih Pak atas tawarannya,” tolak Green dengan nada sopan.“Udah sore Green, di luar juga mendung. Lo mau naik apa emang?” tanya Cherry, matanya mengarah pada langit yang tiba-tiba berubah gelap.Mata Green mengikuti arah pandang Cherry, memang benar apa yang dikatakan Cherry, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, namun Green tetap bersikeras untuk pulang sendiri.“Gue bisa naik ojek online, Cher.”“Udah ada yang gratis kenapa milih yang bayar sih, Green?” tanya Cherry tak paham dengan pemikiran Green.“Cher, please gue gak enak sama Pak Langit,” ujar Green dengan suara berbisik agar Langit t
Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Bahkan wanita itu tak menyadari bahwa saat ini dirinya tengah bersama Langit di mobil lelaki itu. Terlalu asik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa bahwa ada manusia lain di sampingnya.“Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.“Tidak apa-apa, Green.” Langit menanggapinya dengan santai.Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu,” ucap Langit membuka obrolan.Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuannya. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat na
Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat
Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.