Di luar apartemen, di kejauhan, sosok seorang wanita berlari tanpa arah. Napasnya terengah, tangannya memegang perutnya yang membesar.Yolanda.Jantungnya berdetak kencang. Mereka datang lebih cepat dari yang ia duga.Ia terus berlari, menyusuri jalan-jalan sepi di tengah malam. Kakinya terasa berat, tubuhnya lelah, tapi ia tak bisa berhenti. Tidak sekarang.Ia akhirnya sampai di sebuah gang sempit. Dengan napas tersengal, ia bersembunyi di balik tumpukan sampah, berusaha menenangkan diri."Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapku," gumamnya dengan penuh kebencian.Napas Yolanda tersengal, tubuhnya hampir roboh setelah berlari melewati gang-gang sempit. Jantungnya berdentum kencang, seakan ingin meledak dari dadanya. Suara sirene polisi semakin jauh, memudar di kejauhan. Ia berhasil lolos untuk saat ini.Dengan sisa tenaga yang ada, Yolanda menyeret langkahnya menuju sebuah gudang tua di dekat pelabuhan. Bangunan itu tampak terlantar, kusam, dan hampir hancur dimakan waktu. Tak ad
Wajah Aurora terlihat pucat, tubuhnya masih terbaring tak bergerak dengan berbagai alat medis menempel di sekitarnya. Florien menggenggam tangannya erat, berharap ada sedikit respons. "Aurora, kumohon, bangunlah!" Florien menunduk, menahan sesak yang menggumpal di dadanya. Ia tak bisa membayangkan jika seandainya Aurora tak ditemukan tepat waktu. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk dan berkata, "Nona Florien, ada seorang detektif yang ingin berbicara dengan Anda di luar." Florien mengangkat kepalanya dengan bingung. Ia berdiri dan keluar dari ruangan, menemukan Vernon yang sudah lebih dulu berada di sana. Namun bukan hanya Vernon, di sana juga ada William, berdiri bersama seorang pria asing yang terlihat tegas—Detektif Haris. Florien melirik Vernon dengan penuh tanya, lalu kembali menatap detektif itu. "Ada apa, Detektif?" tanyanya dengan cemas. Detektif Haris melirik William sekilas sebelum akhirnya berkata, "Kami menemukan beberapa petunjuk baru terkait ke
"Jangan pergi, Henry!" pinta Yolanda, suaranya berubah menjadi lebih lembut, penuh permohonan. "Aku masih mencintaimu." Henry mengeraskan rahangnya, berusaha menarik tangannya. "Lepaskan aku, Yolanda!" bentaknya, kesabarannya habis. Namun, bukannya melepaskan, Yolanda justru menggenggamnya semakin erat. Matanya berkilat dengan obsesi yang mengerikan. "Tidak akan! Kau tidak bisa begitu saja meninggalkanku, Henry!" Sebelum Henry sempat menanggapi, suara pintu mobil terbuka mengalihkan perhatiannya. Dua pria bertubuh tegap keluar dari dalam mobil Yolanda, mata mereka penuh ancaman. "Buka pintunya!" perintah Yolanda dingin. Henry melirik ke kaca spion, tubuhnya menegang. Ia tahu ini tidak akan berakhir baik. Namun, sebelum ia bisa bereaksi, salah satu pria itu dengan kasar membuka pintu mobilnya dengan paksa dengan memecahkan kaca mobil dan mencengkeram lengannya kuat-kuat. "Lepaskan aku!" Henry berontak sekuat tenaga, tapi pria itu lebih kuat. Dalam sekejap, tubuhnya terseret kelua
Florien menoleh cepat. William baru saja masuk, handuk kecil tersampir di lehernya, keringat masih membasahi pelipisnya setelah joging pagi. Ia tampak segar, namun ekspresi Florien yang penuh kecemasan langsung membuatnya mengernyit. "Kau sudah bangun?" sapanya lembut, mengecup kening adik sepupunya seperti biasa. "Iya, tapi Vernon sudah tidak ada di kamar." Suara Florien terdengar lebih putus asa dari yang ia harapkan. William menatapnya lebih serius. "Vernon? Mungkin dia di halaman belakang?" Florien menggeleng cepat. "Aku sudah mencari ke seluruh penjuru rumah. Dia tidak ada." Rasa tidak enak mulai menjalar di dada William. Ia meraih ponselnya dan menekan nomor Vernon. Nada sambung terdengar, satu kali, dua kali, lalu berlanjut tanpa jawaban. Sekali lagi. Tidak ada jawaban. William menurunkan ponselnya, ekspresinya mulai berubah. "Mungkin dia ada urusan mendadak di luar," ujarnya, berusaha terdengar tenang. Florien menggeleng. Suasana di ruangan semakin mencekam. Florie
"Dia baik-baik saja?" Vernon hampir tak bisa mengeluarkan suaranya. Dadanya terasa sesak, seolah paru-parunya lupa bagaimana cara bekerja. "Luka-lukanya cukup serius, tapi dokter mengatakan kondisinya stabil. Dia masih belum sadar." Sejenak, Vernon merasakan sesuatu yang berat terangkat dari dadanya, seperti beban yang selama ini menyesakkan akhirnya sedikit mereda. Aurora masih hidup. Tanpa pikir panjang, Vernon meraih mantel dan berlari keluar rumah. Ia bahkan tidak sempat memberi tahu Florien atau siapa pun. Yang ada di kepalanya hanya satu hal, menemui Aurora. Sesampainya di rumah sakit, Vernon bergegas menuju ruang ICU. Namun, sebelum ia bisa masuk, langkahnya terhenti saat melihat dua orang asing berdiri di luar ruangan, wajah mereka penuh kecemasan. Di dekat mereka, seorang pria berseragam menghampirinya. "Selamat pagi, Tuan Stockwell!" sapa pria itu dengan nada formal. "Saya Detektif Haris. Saya ingin memperkenalkan dua orang yang sangat berjasa dalam menyelamatkan nyaw
Jantung George seakan berhenti berdetak. Darahnya berdesir, tubuhnya menegang. Wajah itu. Wajah yang baru saja ia lihat kemarin. Seakan dunia berputar lebih lambat, suaranya mendengung di telinganya. Mata Aurora dalam foto itu seolah menatapnya langsung, penuh kehidupan, penuh harapan. Tidak mungkin. Tangan George mencengkeram lengan kursi, dadanya naik turun dalam kepanikan yang merayap perlahan. "George, kenapa?" suara Martha terdengar khawatir, melihat perubahan drastis di wajah suaminya. Tapi George tak bisa menjawab. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa menatap layar. "Tidak mungkin," gumam Martha, tubuhnya menegang, matanya tak lepas dari layar televisi. George merasakan napasnya tercekat. Tangannya meraih tangan istrinya, meremasnya erat seakan itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap berpijak di bumi. "Itu wanita itu!" seru Martha, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan. Mereka terus menyaksikan berita itu, meski rasanya dada mereka s