Saking gugupnya, Indah merasa bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Gemetar di tangannya semakin kentara dengan selembar kertas yang bagian ujungnya mulai basah karena keringat. “A-ku belum selesai. Sedikit lagi ini ….” Indah meratakan satu set dokumen terakhir yang akan distaples. Sudut matanya melihat proses penyalinan data tersisa satu persen lagi. “Ayo, cepat … please …,” bisik Indah. Di bawah meja, kaki Indah sudah bergoyang tak henti sejak tadi. Seumur hidup, itu adalah saat paling menggugupkan buat dia. Suara Mika yang semakin mendekat membuat tangannya yang gemetar menyentuh mouse komputer dan menyentak-nyentaknya. “Via, mana Via?” jerit Mika. Bersamaan dengan suara Mika yang semakin memggelegar dan munculnya wanita itu di pintu, Indah melepas flashdisk dan menggenggamnya dengan tangan kiri. Genggamannya sangat erat sampai ia merasa kelima kuku menekan telapak tangannya hingga sakit. “Mana Via?” tanya Mika yang memandang pegawai pria di depannya. “Via menyerahkan peker
Peristiwa pagi di PT. Pelita Sentosa sebenarnya tidak lama. Namun Indah merasa dirinya sudah menghabiskan seharian penuh di perusahaan itu. Walau tampilannya sangat tenang dan dandannya rapi seperti tidak terjadi apa-apa, Indah harus menenangkan dirinya di toilet lantai dasar. Duduk di closet yang tertutup, Indah mengatur napas seraya mencoba menghubungi Arsya. “Halo, Abang?” “Indah di mana? Sudah selesai? Galih masih menunggu. Kamu keluar dan tunggu di teras semenit. Galih pasti segera muncul.” Indah menarik napas lega karena ternyata ia tak butuh waktu lama menghubungi Arsya. Dan ternyata apa yang disampaikan pria itu benar, Galih sang ajudan yang merangkap supir muncul sebegitu Indah keluar gedung. “Tidak ada terjadi apa-apa, Bu? Bu Indah baik-baik aja?” Galih langsung bertanya saat Indah baru saja menghempaskan tubuh di jok belakang. “Kenapa nanyanya gitu, Pak Galih? Memangnya Pak Arsya ada ngomong apa?” Indah melihat raut waspada di wajah Galih. “Kayaknya Pak Galih udah
Perintah Arsya barusan malah membuat Indah semakin tegang dan berkurang rasa percaya dirinya. “Aku nggak tahu apa yang kusampaikan ini bakal penting atau enggak. Tapi mengingat apa yang dilakukan Mika dengan stroller bayi Laras, aku jadi mulai menghubung-hubungkan meski nggak tahu....” “Kamu gugup. Indah duduk ke sini,” ajak Arsya, menggandeng tangan Indah ke salah satu sofa sementara Sarah mendekati pintu dan menguncinya. “Kita bisa bicara?” kata Sarah, duduk di seberang Indah dengan sikap tubuh condong. “Saya yakin apa pun yang Bu Indah sampaikan akan sama pentingnya.” Sarah mengulas senyum menenangkan. Indah menarik napas. “Abang, sekali lagi aku nggak tahu ini bakal berguna atau enggak. Aku juga nggak tahu kalau … maksudnya bisa aja aku salah dengar. Bisa aja ini semua nggak seperti yang aku pikirkan. Aku takut kalau hal yang aku sampaikan malah membuat Abang gegabah atau semacamnya.” Arsya menggenggam tangan Indah dan menyelipkan segumpal rambut ke belakang telinga istr
“Ngapain ke rumah sakit jiwa?” Indah melepaskan pegangan tangannya.“Abang mau lihat perkembangan Riri secara langsung. Memang bukan suatu keharusan tapi Abang harus memastikan semuanya sebagai bentuk tanggung jawab. Abang nggak sendirian ke sana. Sama Mas Dean, kok. Kamu nggak usah khawatir.” Walau tersenyum, Arsya sempat melirik Sarah yang menggulir tabletnya sedikit tergesa. Ia tahu kalau sekretaris profesionalnya itu segera mengecek beberapa hal terkait smelter mereka.“Ngapain ke sana? Bukannya semua udah beres? Udah selesai, kan? Apa ada masalah lagi?” Indah masih menahan tangan Arsya seakan pria itu bisa meninggalkannya sewaktu-waktu.Arsya menggeleng. “Hari ini Abang ke sana untuk memastikan bahwa semuanya sudah selesai. Selama ini Abang hanya menerima laporan dari pegawai Mas Dean tanpa melihat langsung. Tingkat halusinasi Riri lebih parah dari sebelumnya, tapi di sisi lain Riri menjadi lebih tenang.”“Kalau gitu aku ikut,” ucap Indah, menyambar tas tangannya.“Kamu tahu ruma
Arsya kembali menggenggam tangan Indah dan mengecupnya. Ia mengabaikan seorang pria yang tengah menatapnya dengan wajah cemberut.“Maaf harus membuat Mas Dean menunggu,” ucap Arsya lalu tergelak. “Enggak apa-apa. Pulang ke rumah jam segini cuma untuk nyubit pipi istriku, mungkin aku bakal disambit tongkat mamaku. Bu Amalia paling gelisah kalau lihat anaknya di rumah tanpa alasan jelas di hari Senin sampai Jumat. Katanya aku nggak boleh malas-malasan. Anakku banyak,” ujar Dean meringis. Arsya ikut meringis dengan sepasang lesung pipinya. “Mamanya Mas Dean nggak salah.” Kedua pria itu kemudian tertawa tertahan di depan pintu ruang rawat.“Aku masuk sekarang, Sa. Istri kamu nggak perlu takut, santai aja. Kalian masuk sepuluh menit lagi.” Dean mengangguk kemudian mendorong pintu.Arsya masih menggenggam tangan Indah, ia berdiri rapat ke pintu untuk mendengar percakapan dari dalam yang pasti akan disengaja Dean agar ia ikut mendengar.“Yang pertama terima kasih untuk Pak Dokter dan tim y
Riri terkesiap. “Aku cuma perlu bicara dengan Arsya,” ulang Riri dengan suara lemah. Setengah kekuatannya sudah hilang karena ditatap tajam pria bermata sipit di depannya. “Aku nggak tertarik dengan penawaran itu.”“Penawaran ini tidak akan saya ulangi lagi sebegitu kaki saya melangkah keluar ruangan ini. Anda belum sembuh, Saudari Riri. Pak Arsya meminta saya menawarkan banyak kebaikan buat Anda yang harusnya Anda syukuri. Andai kamu ketemunya laki-laki seperti saya, mungkin kamu sudah saya jebloskan ke penjara tidak peduli kamu sakit jiwa atau tidak. Saya akan memastikan kamu minimal sepuluh tahun di penjara dan keluar sewaktu kamu menjadi wanita tua. Bagaimana? Mau mendengar saya?” Dean meletakkan amplop di ranjang. Mata Riri tak lepas menatap amplop itu.Pelan-pelan Riri mau mendekati ranjang dan tangannya terulur mengambil amplop.“Apa kamu tidak mau hidup normal seperti Indah? Kalau bukan Arsya, kamu pasti bisa menemukan pria lain yang lebih baik. Tetap di sini sampai kamu benar
Arsya tak pernah menganggap bahwa bermesraan dengan pasangan lebih penting dari urusan menyangkut perusahaannya. Bertahun-tahun dipilih memimpin SB Industrial Energy serta di tahun berjalan itu pula menjalin hubungan dengan Fanny, tak pernah sekali pun ia mendahulukan wanita itu jika menyangkut urusan perusahaan.Sekali pun ia dan Fanny tengah bermesraan intens, satu pesan pendek yang masuk ke ponselnya dan meminta untuk hadir segera, maka soal Fanny harus dilupakan. Arsya memejamkan mata kembali mengecup bahu Indah yang lebih hangat dibanding telapak tangannya karena sejak tadi tertutup blazer. Arsya mengusap bahu itu dan telunjuknya terselip untuk mengait tali tipis dalaman blazer yang terbuat dari sutera halus. Ia mengusap bahu halus seputih susu dengan telapak tangannya. Aroma parfum Indah sudah memenuhi hidungnya sejak tadi.Pernikahan itu ternyata amat berbeda dari yang ia bayangkan. Saat Fanny menodongnya dengan pernikahan, bayangan bermacam hal rumit datang menyerbu pikiranny
Siapa yang masih membandingkannya dengan sosok Indah yang dulu? Tentu saja sudah sangat berbeda. Dulu ia memang sangat manja dan cengeng. Kenapa ia begitu, mungkin karena terlahir sebagai anak tunggal dan sangat dekat dengan ayahnya. Hingga saat ia menikah dengan pria yang dikaguminya cukup lama, ia menumpukan harapan akan memperoleh keistimewaan itu dari suaminya. Nyatanya, menjadi istri Panca tidak seindah angannya.Indah tidak memejamkan mata. Ia harus melihat bagian tubuh Arsya yang luar biasa, yang sedang berada dalam genggamannya. Ia mengangkat kepala untuk melihat bagian puncak benda itu menekan dan mendorong masuk hingga menimbulkan gelenyar memabukkan. Saat hal itu terjadi, ia dan Arsya nyaris mendesah lega bersamaan. Arsya mulai memulai gerakan yang akan menuju permainan sebenarnya. Belum lagi malam, tapi Indah sudah merentangkan kakinya lebar-lebar agar kenikmatan bisa mencapainya lebih dalam. Mereka yang tadi berpakaian sama rapinya, kini bergunulan tanpa batas sehelai b